Kepulangan Habib Rizieq Shihab ke Indonesia benar-benar disambut meriah oleh pendukungnya. Tidak hanya memadati terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, massa juga telah bersiap menyambut sang Habib di kediamannya di Petamburan. Lantas, mungkinkah sambutan meriah tersebut menunjukkan masalah Great Disruption yang ditulis oleh Francis Fukuyama?
Kasus Basuki Thahaja Purnama (BTP) atau Ahok jelas merupakan preseden yang membuat nama Habib Rizieq Shihab melambung ke atas jajaran sosok paling berpengaruh di tanah air. Kemarin, dalam rangka menyambut kepulangannya ke Indonesia setelah menetap selama 3,5 tahun di Arab Saudi, ribuan massa terlihat memadati bandara internasional Soekarno-Hatta.
Gemuruh massa juga tidak ketinggalan menanti Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut di kediamannya di Petamburan, Jakarta Pusat. Suka atau tidak, disambutnya Habib Rizieq bak pahlawan jelas memperlihatkan bagaimana pemimpin Persaudaraan Alumni (PA) 212 ini begitu ditunggu-tunggu kepulangannya. Ia mungkin dinilai bak cahaya di lorong yang gelap gulita.
Pengamat politik Rocky Gerung memiliki komentar yang menarik dalam menanggapi kepulangan Habib Rizieq. Tegasnya, disambut megahnya sang Habib dengan keikhlasan adalah perwujudan harapan publik bahwa sang Imam Besar dapat membawa perubahan di tengah perputaran roda politik negeri ini. Lebih menarik lagi, mantan dosen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia (UI) ini juga menilai Habib Rizieq hendak mengubah cara berpolitik saat ini yang berbasis uang, menjadi politik berbasis akhlak dan legitimasi.
Mengacu pada asumsi tiada api tanpa asap, mungkinkah terdapat pertalian antara megahnya penyambutan kepulangan Habib Rizieq dengan laju pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini?
Kapitalisme dan Social Capital
Bertolak dari asumsi Rocky bahwa Habib Rizieq diharapkan sebagai pembawa perubahan, tampaknya begitu relevan bagi kita untuk melihat buku Francis Fukuyama yang berjudul The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonsiliasi Tatanan Sosial.
Istilah Great Disruption dimaksudkan Fukuyama untuk menjelaskan fenomena di mana pemerintah tengah mengalami defisit kepercayaan yang meluas di tengah masyarakat. Great Disruption bertolak dari kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengubah tatanan kehidupan sosial, khususnya dalam hal produksi kapital.
Menurut Fukuyama, kemajuan teknologi tersebut tidak hanya mengubah cara manusia berekonomi, melainkan juga turut berdampak pada perubahan sosial, seperti meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.
Di sini, Fukuyama memperkenalkan konsep penting, yakni social capital. Kendati tidak memberikan definisi yang rigid tentang apa itu social capital, konsep tersebut secara sederhana dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Singkatnya, social capital dapat kita samakan dengan trust atau kepercayaan di tengah masyarakat.
Idealnya, Fukuyama mengharapkan suatu kelompok masyarakat memiliki social capital yang besar karena itu tidak hanya dapat meningkatkan kerja sama, melainkan juga memangkas ongkos produksi. Pasalnya, dalam iklim kelompok masyarakat yang minim social capital atau trust, berbagai jenis kerja sama, khususnya kerja sama ekonomi, selalu dibebani oleh biaya transaksi tambahan guna sebagai pengganti dari minimnya trust.
Misalnya, dalam membuat suatu kerja sama ekonomi, karena A dan B tidak saling memercayai, keduanya harus diikat oleh kontrak yang rigid, atau harus memiliki jaminan agar tidak dikhianati. Kasusnya tentu akan berbeda apabila keduanya memang sedari awal saling memercayainya satu sama lain.
Dalam bab terakhir bukunya, Fukuyama memberikan pertanyaan penting, yakni “apakah kapitalisme menghancurkan social capital?”. Menurutnya, jawaban atas pertanyaan tersebut bisa “iya”, dan bisa juga “tidak”.
Bisa “iya”, karena dalam sejarahnya, ataupun dalam berbagai analisis, kapitalisme memang dinilai buruk bagi social capital. Apalagi, kapitalisme atau aktivitas ekonomi yang lebih mengedepankan kepentingan (kalkulasi untung-rugi) di atas kewajiban moral, telah berkonsekuensi atas hancurnya ikatan-ikatan sosial.
Fukuyama misalnya mencontohkan pada kasus di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1980-an dan 1990-an. Saat itu, sebagai respons atas pembukaan ekonomi AS terhadap persaingan domestik dan global yang lebih besar, banyaknya sektor ekonomi yang menjadi tunduk pada kekuatan kompetitif telah memberi efek negatif terhadap social capital.
Di sisi yang berbeda, Fukuyama menyebut jawabannya bisa jadi “tidak”. Tulisnya, kendati kapitalisme seringkali merupakan kekuatan destruktif, namun kapitalisme juga menciptakan norma-norma baru untuk menggantikan norma-norma yang telah dihancurkannya. Dengan kata lain, hendak ditegaskan bahwa kapitalisme sejatinya tidak pernah membiarkan dirinya tidak memiliki social capital.
Fukuyama misalnya mencontohkan agen ekonomi swasta yang menjalankan aktivitas ekonomi dengan menjunjung kejujuran, keterampilan, dan resiprositas. Dewasa ini, trust memang menjadi nilai jual tersendiri dalam transaksi ekonomi.
Mengharapkan Pemimpin Kuat?
Dengan mengacu pada meningkatnya demonstrasi dalam dua tahun terakhir, khususnya demonstrasi penolakan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan UU Cipta Kerja, suka atau tidak, itu adalah indikasi dari tengah meningkatnya distrust atau ketidakpercayaan di tengah masyarakat terhadap pemerintah.
Apalagi, pada kasus UU Cipta Kerja yang bertendensi melanggengkan kepentingan pemilik modal dan pengusaha, jelas memperlihatkan tingginya ambisi pemerintahan Jokowi terhadap perekonomian. James Guild dalam tulisannya Jokowinomics Gambles with Indonesia’s Democratisation menyebutkan bahwa Presiden Jokowi seperti menggadaikan politik demokrasi demi ambisinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Jika pernyataan Guild benar adanya, maka ini adalah jawaban “iya” dari Fukuyama bahwa kapitalisme berkonsekuensi pada kehancuran social capital. Pada konteks Indonesia, jamak diketahui bahwa masyarakat telah mengalami surplus kecurigaan terhadap kekuasaan karena mengalami rezim yang begitu diktator di bawah kepemimpinan Soeharto.
Oleh karenanya, segala bentuk pemerintahan yang dijalankan dengan tidak mengedepankan semangat demokrasi seperti yang dicita-citakan reformasi akan berkonsekuensi pada kehancuran sosial capital atau distrust di tengah masyarakat. Pada level yang ekstrem, ini akan mengakibabkan Great Disruption.
Jika benar distrust telah terjadi di tengah masyarakat akibat berbagai kebijakan non-populis pemerintahan Jokowi, ini tampaknya mengafirmasi pernyataan Rocky bahwa meriahnya penyambutan Habib Rizieq merupakan bentuk dari harapan atas perubahan.
Pasalnya, dengan koalisi raksasa pemerintah saat ini, bahkan disebut sebagai pemerintah terkuat sejak reformasi, itu membuat trias politika dan check and balance tidak berjalan semestinya karena lemahnya posisi oposisi. Bertolak dari keadaan ini, besar kemungkinan kehadiran Habib Rizieq yang terbukti memiliki karisma mumpuni untuk menghimpun massa sekiranya dinilai sebagai sosok yang akan menambah daya gedor oposisi.
Dalam tulisannya Checks and Balances, Fukuyama menyebutkan bahwa kuatnya kelompok kepentingan yang mengatur kebijakan di AS, telah melahirkan harapan di tengah warga AS agar pemimpin yang begitu kuat dapat lahir untuk mengatasi masalah tersebut.
Mengacu pada Fukuyama, jika masyarakat Indonesia saat ini begitu merasa telah terbelenggu oleh oligarki, seperti mulusnya pengesahan UU Cipta Kerja, boleh jadi membuat Habib Rizieq dinilai sebagai sosok pemimpin kuat yang dapat menantang dominasi para oligark tersebut.
Bagaimana pun, terlepas dari adanya kelompok yang tidak menyukai Habib Rizieq, gemuruh penyambutannya kemarin jelas menunjukkan bagaimana besarnya harapan masyarakat terhadap Imam Besar FPI tersebut.
Kita nantikan saja sejauh mana Habib Rizieq akan berperan dalam proses politik ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)