Pada 10 November 2019 lalu, eks elite PKS Fahri Hamzah dan Anis Matta mendeklarasikan partai politik baru bernama Partai Gelora. Menariknya, banyak dari kader PKS yang memilih untuk berpindah ke Partai Gelora. Lantas pertanyaannya, faktor apa yang membuat banyak kader PKS memilih untuk berpindah ke partai politik baru yang tentu belum memiliki kekuatan elektoral?
PinterPolitik.com
Fahri Hamzah dan Anis Matta, dua eks elite PKS baru-baru ini membentuk parpol baru bernama Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora). Berbeda dengan Partai Golkar yang banyak kadernya keluar kemudian membentuk partai politik (parpol) baru. Fenomena semacam itu adalah yang pertama dalam sejarah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kendati terdapat pula eks-eks PKS lain di tubuh Gelora, kedua nama tersebut terbilang yang paling menonjol menimbang pada pengaruh dan sepak terjangnya di laju perpolitikan nasional. Tidak hanya itu, keduanya juga diketahui telah lama mengalami konflik internal dengan PKS.
Di tengah euforia lahirnya Gelora, berbagai pihak menyoroti perihal banyaknya kader PKS yang memilih mengganti haluan dengan berlabuh ke Gelora. Secara terbuka, Fahri Hamzah memang telah mengakui bahwa terdapat banyak eks PKS yang berada di tubuh Gelora. Sebagian besar dari 99 orang yang mendirikan Gelora sendiri disebut-sebut merupakan “faksi sejahtera” yang merupakan faksi Fahri Hamzah dan Anis Matta.
Lalu, terdapat pernyataan Anis Matta selaku Ketua Umum Gelora yang menyebutkan akan memboyong sejumlah kader PKS yang loyal terhadap dirinya untuk masuk dan duduk di dalam jajaran pengurus Gelora. Pernyataan ini terbilang sangat menarik, pasalnya, secara tidak langsung Anis Matta secara terbuka menyebutkan bahwa dirinya memiliki pengaruh yang kuat di PKS.
Menimbang alasan “mendapatkan kekuatan” politik atau gain power tidak mungkin terjadi karena Gelora merupakan parpol baru yang belum memiliki pengaruh yang kuat. Sepertinya faktor pengaruh kuat Anis Matta inilah yang menyebabkan terjadinya perpindahan parpol atau party switching oleh kader-kader PKS. Benarkah demikian?
Party Switching
Pada dasarnya, praktik perpindahan parpol atau party switching adalah lumrah dalam dinamika politik. Melihat pada motivasinya, setidaknya terdapat tiga alasan utama kenapa party switching terjadi.
Pertama, karena adanya ethical obligation atau kewajiban etis, di mana politisi tidak lagi melihat keselarasan dengan parpolnya saat ini.
Kedua, untuk meraih kekuatan politik atau gain power dan pengaruh, di mana politisi melihat parpol lain akan memberikan keuntungan politik yang lebih baik daripada parpolnya saat ini.
Ketiga, sebagai strategi untuk memenangkan pemilihan umum (pemilu), di mana politisi melihat parpolnya saat ini tidak dapat memberi kemenangan pada saat pemilu.
Melihat pada ketiga motivasi party switching tersebut, rasa-rasanya tidak mungkin motivasi kedua dan ketiga menjadi alasan banyak kader PKS yang notabene merupakan parpol yang lebih besar memilih untuk berganti haluan ke Gelora yang merupakan parpol baru dan belum memiliki kekuatan politik.
Atas dasar ini, motivasi nomor satu adalah yang paling masuk akal untuk melandasi fenomena party switching tersebut. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Gelora, Fahri Hamzah bahwa banyak kader PKS merasa tidak ada perubahan atau stagnan di bawah kepemimpinan Presiden PKS saat ini.
Ahmad Jilul Qur’ani Farid dalam tulisannya di Tirto, menyebutkan bahwa PKS mengalami suatu masalah kaderisasi karena terjadi hierarki kepengurusan yang kental. Hal ini kemudian berakibat pada sukarnya terlahir kader-kader muda potensial. Padahal, dulunya PKS dikenal sebagai “partai anak muda yang mampu menggebrak parlemen”.
Mungkin kita dapat menebak bahwa faktor kusutnya kaderasi ini menjadi salah satu alasan dari stagnansi yang disebut oleh Fahri Hamzah.
Faktor Anis Matta?
Tidak hanya pada faktor stagnansi, perpindahan banyak kader PKS besar kemungkinan karena faktor kuatnya pengaruh Anis Matta. Hal ini misalnya terlihat dari survei yang menyasar responden yang akan memilih PKS di Pemilu 2014 bahwa Anis Matta memiliki angka elektabilitas terbesar, yaitu 27,12 persen, di mana angka ini mengungguli elektabilitas elite tersohor PKS lainnya macam Hidayat Nur Wahid dan Tifatul Sembiring.
Kemudian, Anis Matta yang pernah menjabat sebagai Presiden PKS, bahkan masuk dalam bursa calon presiden (capres) yang akan diusung oleh PKS. Tentunya itu menunjukkan pengaruh yang besar dalam tubuh PKS.
Di dalam PKS, sering disebut ada faksi keadilan. Sohibul Iman, Presiden PKS saat ini kerap disebut sebagai elite PKS yang tergabung dalam faksi keadilan. Faksi ini identik dengan senior-senior di PKS, di mana mereka menjunjung tinggi semangat PKS tetap seperti era Partai Keadilan dahulu. Faksi ini kemudian dikenal sangat kental akan hierarki dan senioritas.
Sebagai kontras, faksi sejahtera yang berisi para pengurus muda seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah kerap dianggap sebagai bagian PKS yang demokratis dan lebih cenderung moderat.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden PKS, dalam keterangan Fahri Hamzah, DPP PKS bahkan menyisir dan mengganti ketua pimpinan wilayah yang dianggap sebagai “orangnya” Anis Matta secara sepihak dan tanpa alasan yang jelas. Menurut Fahri Hamzah, ini adalah strategi untuk melumpuhkan kekuatan yang telah digalang oleh Anis Matta.
Jika memang benar pernyataan Fahri Hamzah tersebut, tentu saja ini menunjukkan bahwa elite-elite PKS yang berseberangan dengan Anis Matta, atau kita sebut saja dengan faksi keadilan melihat kekuatan politik Anis Matta adalah suatu ancaman besar.
Kekuatan Politik Gelora?
Sampai saat ini, nama-nama tersohor yang diketahui tergabung dalam Gelora, yaitu Anis Matta, Fahri Hamzah, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi, mantan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana, dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq dapat disebut sebagai tokoh-tokoh yang pada dasarnya tidak sekharismatik tokoh politik lainnya.
Dengan kata lain, hanya dengan mengandalkan ketokohan, Gelora sepertinya tidak dapat berbuat banyak.
Pun begitu dari segi pendanaan, sampai saat ini tidak diketahui sumber dana dari Gelora. Sosok macam Anis Matta ataupun Fahri Hamzah sendiri diketahui bukanlah sosok yang memiliki kekayaan kapital melimpah untuk membiayai operasional partai.
Lantas, apakah Gelora akan menerapkan kaderasi berbasis Tarbiyah yang mengandalkan jargon Sami’na Wa Atho’na atau “Kami Mendengar dan Kami Taat” seperti yang terjadi di PKS?
Melihat pada visi Anis Mata yang moderat dan lebih egaliter – seperti tidak adanya Dewan Syura yang memiliki otoritas keagamaan lebih dan keputusan yang cenderung mutlak – nampaknya membuat jargon tersebut sulit untuk bekerja.
Pasalnya, jargon Sami’na Wa Atho’na memang bekerja pada kondisi di mana senioritas dan hierarki dijungjung tinggi. Pada praktik moderat dan egaliter, di mana sekat-sekat senioritas ditumpulkan, jargon tersebut kehilangan kapabilitasnya untuk terimplementasi.
Atas hal ini, yang tersisa bagi Gelora untuk mendulang lebih banyak kader mungkin adalah dari massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ataupun dari Garbi yang telah dideklarasikan di berbagai daerah sebelumnya oleh Fahri Hamzah. Akan tetapi, sampai saat ini belum dapat diketahui seberapa besar Gelora dapat mendulang massa dari KAMMI, Garbi, ataupun kader PKS lainnya.
Tidak hanya itu, Gelora sepertinya juga akan mengalami masalah terkait dengan kapabilitasnya untuk menjaga loyalitas dari para kader, menimbang Gelora belum memiliki “nilai tawar” yang memadai ketimbang parpol lainnya.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan banyak kader PKS yang berlabuh ke Gelora kuat dipengaruhi oleh ketokohan Anis Matta ataupun karena kekecewaan para kader PKS yang merasakan stagnansi di dalam parpol yang mengenalkan kaidah Al Hizb Huwal Jamaah Wal Jama’ah Hiyal Hizb atau “Partai adalah Jamaah, dan Jamaah adalah Partai” tersebut. Menarik untuk dinantikan kiprah Gelora di kancah perpolitikan nasional. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanju