Sumber pinterpolitik.com yang hadir saat jamuan di Istana Merdeka menyebutkan bahwa Presiden Jokowi terkesan ‘mengabaikan’ Megawati dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan SBY. Jokowi terlihat begitu kegirangan dengan hadirnya SBY, sementara bahasa tubuh Megawati menunjukkan ketidaknyamanan selama acara berlangsung.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]eredarnya foto bersama presiden, wakil presiden dan mantan presiden Indonesia beserta pasangannya menjadi penghias halaman-halaman media cetak dan online pasca perayaan HUT Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, 17 Agustus 2017 lalu. Hampir semua pemberitaan berisi pujian untuk keberhasilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertemukan dua tokoh politik utama yang selama lebih dari satu dekade terakhir punya hubungan yang kurang baik: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri.
Namun, faktanya, banyak pihak melupakan bagaimana kondisi psikologis pertemuan itu: apakah menyenangkan untuk semua pihak, atau hanya menjadi simbol politik lain yang dipakai oleh Jokowi – mengingat Jokowi adalah pemimpin yang suka menggunakan simbol politik. Selain itu, banyak pula yang melupakan implikasi politik acara tersebut.
Sumber pinterpolitik.com yang hadir di istana – termasuk di area yang tidak bisa dimasuki wartawan – menyebutkan bahwa selama pertemuan berlangsung, Jokowi begitu menikmati obrolannya dengan SBY. Sementara, Megawati terlihat ‘cemberut’ dan kurang nyaman. Jokowi juga disebut terkesan ‘mengabaikan’ Megawati.
Kemesraan ini…..
Janganlah cepat berlalu… pic.twitter.com/lsiKWYj2Gi— FAHRI HAMZAH (@Fahrihamzah) August 18, 2017
Jika foto bersama para presiden itu diperhatikan dengan lebih seksama, tampak raut wajah Megawati masih menyimpan kekesalan. Konsultan psikologi yang dihubungi oleh pinterpolitik.com menyebut wajah Megawati memang sedikit tersenyum, namun dengan guratan kecemberutan dan ketidaknyamanan yang terlihat jelas. Selain itu, foto bersama tersebut juga dianggap tidak lazim. Kok bisa?
Perasaan Politik dan Perasaan Pribadi
Keputusan Jokowi mengundang SBY dalam acara peringatan HUT Kemerdekaan RI kali ini tentu menimbulkan tanda tanya: apakah Jokowi mengabaikan perasaan Megawati yang begitu mendendam terhadap SBY?
Jika dirunut ke belakang, ada rentetan peristiwa penting yang menjadi pintu masuk kehadiran SBY di Istana Merdeka pada peringatan HUT Kemerdekaan RI kali ini. Pasca Pilkada Jakarta, SBY sempat menemui Jokowi di Istana Negara dan menandai penurunan tensi politik – apalagi pasca ‘cuap-cuap’ Antasari Azhar sehari sebelum Pilkada Jakarta putaran pertama.
Beberapa waktu kemudian, putra pertama SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga datang menemui Jokowi untuk memohon restu bagi peresmian The Yudhoyono Institute (TYI) – think tank yang menjadi wadah kontribusi SBY pasca tidak lagi menjabat. Pertemuan AHY dan Jokowi serta putera Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi babak baru hubungan Jokowi dengan SBY yang seolah kembali menemukan ‘perasaan politik’ – istilah untuk ikatan ‘rasa’ dalam politik – di antara keduanya.
Apalagi, pasca disahkannya Undang-Undang Pemilu, muncul indikasi di partai pengusung utama Jokowi, PDIP yang ingin mencari calon presiden lain, sementara SBY sedang mencari cara untuk menaikan elektabilitas Partai Demokrat dan juga puteranya, AHY. Oleh karena itu, tidak heran SBY akhirnya hadir dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI kali ini.
Sebaliknya, Jokowi seolah tidak lagi begitu mementingkan ‘perasaan politik’ dirinya dengan Megawati. Jokowi mungkin masih memperhatikan ‘perasaan pribadi’ Megawati dan SBY – bisa dilihat dari posisi Megawati yang ada di tengah-tengah foto. Walaupun tidak ada aturan baku, lazimnya dalam sesi foto resmi, presiden dan mantan presiden berjejer berdasarkan tahun berkuasa, mulai dari yang paling duluan berkuasa, hingga yang sekarang sedang menjabat. Hal ini bisa diperhatikan dalam foto-foto resmi presiden-presiden Amerika Serikat.
Artinya, Megawati seharusnya berdiri di samping SBY dalam foto kenegaraan presiden dan mantan presiden. Namun, karena memperhitungkan perasaan pribadi Megawati, ia ditempatkan di tengah barisan.
Jokowi – dan dalam hal ini – bersama SBY mempertontonkan public display babak baru hubungan antara keduanya. Pertanyaannya: untuk apa?
Politik di Balik Foto?
Selama beberapa bulan terakhir, ada pergeseran besar dalam peta politik nasional, khususnya pasca pengesahan UU Pemilu yang didalamnya ada aturan presidential threshold 20 persen. UU Pemilu itu pula yang bisa mempertemukan dua orang elit dari kalangan militer – SBY dan Prabowo Subianto – yang sebelum-sebelumnya tidak pernah berkoalisi secara politik.
Jika dikaitkan dengan UU tersebut, hubungan saling menguntungkan akan sangat mungkin terjadi antara SBY dan Jokowi. Tentu banyak yang akan mempertanyakan argumentasi ini. “Mana mungkin Jokowi yang dari PDIP diijinkan berkoalisi dengan SBY yang adalah ‘musuh’ Megawati?” Demikianlah pertanyaan yang umumnya muncul di media sosial.
Memang benar Jokowi diusung oleh PDIP, tetapi dalam konteks politik, Jokowi tidak lebihnya seorang ‘petugas partai’. Jika melihat sikap politik Jokowi yang beberapa kali berseberangan dengan PDIP – misalnya kasus Menteri BUMN, Rini Soemarno yang didesak mundur oleh PDIP, namun tidak digubris Jokowi, atau soal kengototan PDIP dalam hak angket KPK – jelas terlihat Jokowi mulai sedikit mbalelo atau susah diatur.
Maka, tidak heran muncul isu PDIP ingin mencari calon presiden lain pasca disahkannya UU Pemilu. (Baca: PDIP: Good Bye Jokowi?)
Sebagai seorang politisi, Jokowi tentu akan melihat SBY sebagai kutub politik alternatif yang paling masuk akal jika relasi ‘petugas partai’ dengan Megawati harus berakhir. Selain itu, kedekatan Jokowi dengan SBY akan menjadi cara Jokowi memberikan sinyal pada Megawati dan PDIP: jika tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden, maka akan ada kemungkinan Jokowi menyeberang ke kubu SBY. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat Partai Demokrat pun sedang mengalami krisis ketokohan – terlihat jelas pada pemilu 2014 lalu – sementara, tokoh muda Demokrat seperti AHY belum punya pengalaman politik yang mumpuni untuk menjadi seorang presiden.
Pada titik inilah Jokowi cerdas memainkan posisi politiknya. Jokowi bertransformasi dari sosok presiden terlemah sepanjang sejarah Indonesia – seperti kata Jeffrey A. Winters – menjadi politisi yang punya semua ‘kartu’ di tangannya. Jangan heran jika istilah ‘diktator’ pun mulai bermunculan – bukan karena Jokowi keras dan kejam layaknya diktator, tetapi karena ia punya semua ‘kartu politik’ di tangannya. Sebagai tokoh politik, tidak ada yang bisa menyaingi tingkat keterpilihan Jokowi dengan semua kartu yang ada di tangannya.
Di sisi lain, kehadiran SBY di Istana Merdeka adalah sebuah langkah yang sangat jenius. SBY jeli membaca peluang agar Partai Demokrat tidak lagi menjadi ‘penunggu’ pada Pilpres 2019 nanti. Pertemuan dengan Prabowo sudah dijajaki – walau kelihatan tanpa hasil yang berarti. Melihat gejolak yang bermunculan di tubuh PDIP pasca sahnya UU Pemilu, SBY mengambil langkah jitu mendekati Jokowi.
Ketidaknyamanan Megawati pada perayaan HUT Kemerdekaan RI – termasuk dalam foto bersama – bukan hanya karena perasaan pribadinya terhadap SBY, tetapi juga karena fakta perasaan politik: ada tokoh politik yang mulai ‘menggoda petugas partainya’. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa Megawati ‘terpaksa’ hadir pada acara ini. Jika situasi ini terjadi di masa lalu dan tidak ada perasaan takut ‘kehilangan petugas partai’, sulit membayangkan Megawati mau bertemu dengan SBY. Bukan rahasia lagi jika ada acara yang sama dan keduanya harus hadir pada acara tersebut, seringkali diatur agar keduanya tidak bertemu.
Inilah yang disebut ‘politik di balik foto’. Jokowi sangat cerdas memainkan situasi politik ini – terlihat dari senyumnya pada foto dan perasaan kegirangan karena bertemu SBY. Sementara SBY, secara jenius memainkan strategi politik dan mencoba menarik Jokowi ke kubunya lepas dari genggaman Megawati.
Bagi Megawati, peristiwa ini akan membuat putri Soekarno tersebut menghitung ulang langkah politiknya dan PDIP. Jika salah langkah, akan berakibat fatal bagi dirinya dan partai banteng moncong putih. Saat ini, SBY – sebagai lawan politik Megawati – telah mengambil langkah jitu mendekati Jokowi dan mencoba merebut Jokowi dari Mega. Megawati juga tidak bisa lagi menganggap remeh kekuatan politik Jokowi karena mantan walikota Solo ini adalah calon presiden terkuat saat ini. Sementara, Mega juga harus berhitung karena saat mereka merayakan HUT Kemerdekaan di Istana Merdeka, di Universitas Bung Karno ada Prabowo dan trah Soekarno lain bersama barisannya telah bersiap-siap juga. So, what’s your next move, Bu Mega? (S13)