Fahri Hamzah menyoroti persoalan persepsi tentang netralitas KPU yang timbul akibat kinerja lembaga penyelenggara Pemilu tersebut yang dianggap tidak tegas dan cenderung kompromistis. Kritikan keras Fahri ini membuka perdebatan tentang hubungan integritas penyelenggara Pemilu dengan legitimasi proses demokrasi secara keseluruhan. Bahkan, ada ancaman kecurangan atau electoral fraud yang mungkin timbul jika netralitas lembaga yang disebut juga Electoral Management Body ini tidak dijaga.
PinterPolitik.com
“The people who cast the votes don’t decide an election, the people who count the votes do.”
:: Joseph Stalin ::
[dropcap]H[/dropcap]angat-hangat pisang goreng, makin mantap kalau dimakan selagi panas. Mungkin itulah gambaran makin mantapnya perdebatan politik jelang hari pemungutan suara pada April mendatang karena makin panasnya isu yang bergulir. Kali ini, topik perdebatan politik tersebut datang dari kritikan keras Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.
Salah satu penggagas Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu melontarkan kritikan keras kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait kinerja lembaga penyelenggara Pemilu tersebut beberapa waktu terakhir ini. Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) beberapa hari lalu, Fahri menyebutkan bahwa KPU terlihat memposisikan diri pada titik yang membuat lembaga itu terlihat tidak netral.
EMB yang didanai oleh pemerintah, justru berpeluang mendapatkan banyak masalah integritas. Share on XIa mencontohkan kasus kotak suara yang terbuat dari kardus, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diduga bermasalah, hingga isu kisi-kisi debat Pilpres yang semuanya tidak dijelaskan secara tuntas ke hadapan publik. Akibatnya publik tidak mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persoalan-persoalan tersebut.
Selain itu, menurut Fahri, KPU cenderung menjalankan aturan-aturan dan kewenangannya secara negotiable atau dapat dinegosiasikan dengan kandidat-kandidat yang bertarung. Banyak aturan kampanye dan debat yang cenderung dikompromikan, sehingga bisa menguntungkan pihak tertentu.
Dalam konteks debat Pilpres misalnya, adanya kisi-kisi yang diberikan membuat publik tak bisa lagi menilai calon secara utuh. KPU beralasan hal tersebut dibuat agar menghindari pasangan calon dipermalukan di hadapan publik dengan pertanyaan-pertanyaan teknis. Namun, menurut Fahri hal itu justru mereduksi demokrasi karena calon tidak bisa lagi ditampilkan secara terbuka di hadapan publik, dan berpotensi akan dituntun oleh konsultan-konsultan politiknya.
Fahri juga secara tegas menyoroti isu hoaks 7 kontainer surat suara. Menurutnya, dengan berbagai ketidakjelasan persoalan Pemilu, KPU malah muncul seperti jagoan ketika isu hoaks 7 kontainer itu mengemuka.
Memang, konteks kritikan-kritikan Fahri tersebut tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai bagian dari oposisi. Pada akhirnya memang terlihat ada bias jika posisinya tersebut dijadikan acuan.
Namun, setidaknya konteks netralitas dan integritas penyelenggara Pemilu yang diketengahkan Fahri adalah hal yang sangat penting. Pasalnya, ada bahaya yang sangat besar terhadap legitimasi Pemilu dan memperbesar celah electoral fraud atau kecurangan. Konteks legitimasi tersebut juga akan berdampak pada legitimasi pemerintahan baru yang dibentuk.
Pertanyaannya adalah apakah level netralitas KPU sebagai Electoral Management Body (EMB) telah sampai pada tahap yang berbahaya terhadap demokrasi seperti yang disampaikan oleh Fahri?
Marwah Netralitas Electoral Management Body
Posisi KPU sebagai EMB memang menjadi salah satu pertaruhan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. EMB memang menjadi hal yang sangat vital di banyak negara yang menjalankan demokrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kredibilitas dan legitimasi Pemilu.
ACE Electoral Knowledge Network – sebuah jaringan informasi Pemilu yang didirikan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) dan PBB – menyebutkan bahwa kredibilitas dan integritas sebuah Pemilu sangat dipengaruhi oleh profesionalitas, netralitas, imparsialitas, dan akuntabilitas dari penyelenggara Pemilu.
Artinya, ukuran integritas KPU adalah salah satu faktor penentu kualitas dari Pemilu di Indonesia. Hal ini juga diperkuat dengan fakta bahwa Indonesia masuk dalam kelompok negara dengan sistem EMB yang tersentralisasi, di mana KPU menjadi lembaga nasional utama yang mengatur semua kontestasi elektoral dari pusat hingga ke daerah – sekalipun dalam konteks lokal tanggung jawab tersebut dilakukan oleh cabang-cabang di daerah, dalam hal ini KPUD.
Konteks ini yang membedakan manajemen Pemilu di Indonesia dengan negara lain, katakanlah misalnya di Amerika Serikat (AS), di mana EMB nasional dan di negara-negara bagian adalah struktur yang berbeda.
Sentralisasi penyelenggaran Pemilu di Indonesia membuat konteks netralitas KPU menjadi roh dari demokrasi secara keseluruhan di negara ini. Jika KPU tidak netral dan punya pertautan kepentingan dengan kandidat tertentu, maka peluang terjadinya kecurangan Pemilu atau electoral fraud menjadi sangat besar.
Konteks netralitas dan EMB ini bisa dilihat pada kasus Pemilu Sela yang terjadi di AS pada November 2018 lalu. Negara bagian Ohio, Kansas, dan Georgia memiliki kandidat senat yang menjabat sebagai Secretary of State atau Sekretaris Negara Bagian. Padahal di AS, Sekretaris Negara Bagian adalah pejabat yang umumnya bertugas menjadi penyelenggara dan pengawas Pemilu di negara-negara bagian.
Akibatnya, beberapa protes dan demonstrasi terjadi karena publik mempertanyakan integritas Pemilu di wilayah mereka sebagai akibat dari tumpang tindih jabatan dan kontestasi politik para pejabat publik tersebut.
Sementara di Indonesia, apa yang terjadi memang belum sampai pada tahap yang demikian. Netralitas KPU masih dipertanyakan pada tataran persepsi yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam bahasa Fahri Hamzah, mungkin KPU cenderung “berada” di kubu petahana – sekalipun tuduhan Fahri tersebut perlu dibuktikan terlebih dahulu.
Kebijakan KPU terkait kisi-kisi debat misalnya, cenderung akan menguntungkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, mengingat nama terakhir oleh banyak pihak dianggap tidak sebaik kandidat lain dalam hal beretorika. Ma’ruf adalah seorang ulama dan ia pun belum pernah menduduki jabatan di pemerintahan. Kisi-kisi debat tentu saja akan mencegah Ma’ruf “dijebak” oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lewat hal-hal yang cenderung teknis.
Persoalannya, pendapat seperti yang disampaikan oleh Fahri cenderung subyektif dan masih perlu ditelusuri secara lebih dalam lagi. Namun, Fahri seratus persen tepat soal integritas lembaga penyelenggara Pemilu.
Pertaruhan Integritas, Bahaya Electoral Fraud
Di banyak negara demokrasi, netralitas EMB adalah ukuran legitimasi Pemilu. Jika EMB tidak netral, maka potensi kecurangan dalam Pemilu akan sangat besar terjadi.
Hal ini disinggung oleh Carolien Van Ham dan Staffan Lindberg dalam tulisannya yang membahas desain EMB. Keduanya menyebutkan bahwa kehilangan integritas yang terjadi pada EMB akan meningkatkan peluang electoral fraud, terutama jika ada kepentingan pihak-pihak yang bertarung di dalamnya.
KPU dikasih kuliah 3 SKS oleh bang Fahri, mantap pic.twitter.com/7T4mIvRwbc
— Imam Sujarwo ✌️ (@ImamSoejarwo) January 8, 2019
Keduanya juga menyinggung konteks desain EMB, salah satunya dalam hal pendanaan. Persoalan pendanaan ini menjadi salah satu potensi masalah yang berhubungan dengan integritas lembaga penyelenggara Pemilu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Van Ham dan Lindberg, ditemukan bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan integritas EMB – juga electoral fraud – sangat jarang terjadi di negara yang penyelenggara Pemilunya didanai secara independen.
Sementara EMB yang didanai oleh pemerintah, justru berpeluang mendapatkan banyak masalah integritas. Hal ini juga disinggung oleh Jonathan Hartlyn, Jennifer McCoy dan Thomas M. Mustillo yang menyebutkan bahwa EMB dengan pendanaan independen akan berpotensi mencegah dan mengurangi kasus-kasus kecurangan Pemilu.
Di Indonesia, anggaran KPU masih ditentukan lewat mekanisme APBN yang pengajuannya akan mendapatkan persetujuan dari pemerintah dan DPR. Artinya, peran pemerintah cukup besar dalam hal penganggaran tersebut. Persoalannya adalah jika pemerintah – dalam hal ini Jokowi sebagai petahana – ikut bersaing dalam kontestasi politik. Politik anggaran – jika ingin disebut demikian – sangat mungkin mempengaruhi integritas KPU.
Pada akhirnya, memang akan ada bahya electoral fraud yang sangat mungkin terjadi jika lembaga penyelenggara Pemilu tidak mampu menjaga marwah dan peranannya sebagai penengah dari pihak-pihak yang bersaing. Fahri Hamzah telah membawa perdebatan tersebut ke hadapan publik.
Yang jelas, seperti kata diktator Uni Soviet, Joseph Stalin di awal tulisan ini, hasil akhir Pemilu seringkali ditentukan oleh orang-orang yang menghitung suaranya. (S13)