Euforia Sirkuit Mandalika sangat terasa. Setelah diresmikan Presiden Jokowi, berbagai pihak menaruh atensi dan ingin menonton olahraga balap motor di sirkuit yang dibangun di dekat pantai tersebut. Jika merenungkan, mengapa euforia ini terjadi?
“Just play. Have fun. Enjoy the game.” – Michael Jordan, pebasket Amerika Serikat
“Ngeng, ngeng” suara laju motor custom Kawasaki W175 Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menjajal Sirkuit Mandalika di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 12 November. Tidak hanya menjajal, momen itu juga digunakan Presiden Jokowi untuk meresmikan sirkuit yang dibangun di kawasan Pantai Mandalika tersebut.
Dengan letaknya di kawasan wisata, mengunjungi Sirkuit Mandalika tidak hanya diperuntukkan untuk menonton olahraga balap motor, melainkan juga berwisata di pantai pasir putih yang indah. Ini yang menjadi pemikiran Budi mengajak temannya, Anton ke Pulau Lombok. “Sekalian liburan di pantai Ton,” kata Budi girang.
Beruntungnya, Budi dan Anton termasuk dari mereka yang kebagian tiket. Pasalnya, baru tiga hari dijual, ribuan tiket World Superbike (WSBK) Mandalika 2021 sudah hampir ludes terjual. “Hanya dalam tempo tiga hari, sudah tercatat 1.500 pre-booking dari 2.000 kuota yang disalurkan IMI [Ikatan Motor Indonesia] dan Dyandra Promosindo,” ungkap Hendra Noor Saleh, Presiden Direktur Dyandra Promosindo pada 24 Oktober.
Baca Juga: MotoGP Mandalika: Pertaruhan Legacy Jokowi?
Sakin tingginya euforia yang ada, sejumlah hotel dan homestay di sekitar sirkuit dikabarkan telah di-booking penuh. Rumah-rumah warga di sekitar sirkuit bahkan menjadi tempat penginapan dadakan bagi para turis. “Informasinya menjelang WSBK ini banyak rumah warga yang disewa untuk dijadikan tempat penginapan,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lombok Tengah, Lendek Jayadi pada 18 November.
Selaku Homo Quaerens atau makhluk yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sekiranya menarik dipertanyakan, mengapa euforia menonton balap motor di Sirkuit Mandalika dapat terjadi? Lebih abstrak lagi, mengapa manusia sangat menyukai olahraga?
Perang, Ekonomi, dan Politik
Mary Bellis dalam tulisannya A Brief History of Sports: From Rocks and Spears to Laser Tag, menyebut olahraga setidaknya sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu. Pada awalnya olahraga adalah persiapan dalam menghadapi perang atau sebagai pelatihan berburu. Ini kemudian menjawab mengapa berbagai olahraga memainkan senjata, seperti tombak, pedang, dan panah.
Menurut Bellis, Olimpiade pertama terjadi pada tahun 776 SM. Olahraga yang diperlombakan berupa balap lari dan kereta, gulat, lompat, serta lempar cakram dan lembing. Ini adalah momen pertama orang Yunani Kuno memperkenalkan olahraga formal kepada dunia.
Seperti kata Bellis, pada awalnya olahraga dilakukan dengan mengacu pada utilitas. Keterampilan tersebut dibutuhkan untuk bertahan hidup (survival). Namun, konteks utilitas jelas tidak terlihat pada Olimpiade yang diselenggarakan orang-orang Yunani Kuno. Lalu, mengapa itu diadakan?
Eric Simons dalam tulisannya What science can tell sportswriters about why we love sports memberikan jawaban menarik. Mengutip psikolog Daniel Wann, Simons menyebut ada delapan motivasi kenapa manusia menyukai olahraga.
(1) Karena menilai mendapatkan harga diri dalam olahraga; (2) karena mendapatkan uang; (3) karena kekasih atau anggota keluarganya menyukai olahraga; (4) karena olahraga mengasyikkan; (5) karena menyenangkan secara estetika; (6) sebagai tempat ekspresi emosional; (7) membutuhkan pelarian dari masalah dalam kehidupan; dan (8) karena memberikan rasa memiliki atau koneksi ke dunia yang lebih luas.
Menurut Simons, meskipun ada usaha klasifikasi atau identifikasi terkait mengapa manusia menyukai olahraga, pada dasarnya tidak ada alasan tunggal. Salah satu penulis olahraga paling berpengaruh di Amerika Serikat (AS), Bill Simmons, misalnya, bahkan mengatakan ia tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan, “mengapa olahraga begitu bernilai baginya?”
Sama seperti yang dilakukan orang-orang Yunani Kuno, mereka mungkin mengadakan Olimpiade hanya karena itu menyenangkan dan menghibur. Ini bukan soal kalkulasi utilitas seperti kemunculan awal olahraga.
Baca Juga: Makna Bulu Tangkis Bagi Jokowi
Namun menariknya, olahraga modern tampaknya kembali menjadi pembuktian atas tesis filsuf Prancis Michel Foucault bahwa sejarah tidaklah linier, melainkan mengulang dirinya. Jika melihat olahraga modern, kita akan menjumpai alasan-alasan utilitas, khususnya persoalan ekonomi.
Saat ini berbagai pihak ingin menjadi atlet olahraga profesional, bukan karena ingin bermain-main, melainkan karena uangnya sangat berlimpah. Pemain sepak bola Paris Saint-Germain (PSG) Neymar, misalnya, memiliki gaji €30 juta atau sekitar Rp 481 miliar per tahun. Pembalap MotoGP asal Spanyol, Marc Marquez juga memiliki nilai kontrak yang fantastis. Pembalap Repsol Honda ini mendapatkan US$12 juta per tahun atau sekitar Rp 171,7 miliar.
Pembangunan Sirkuit Mandalika jelas menjadikan faktor ekonomi sebagai raison d’etre-nya. Seperti pernyataan Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Rudy Prawiradinata pada 20 Agustus, keberadaan sirkuit ini akan meningkatkan devisa dan pendapatan daerah, serta pendapatan masyarakat lokal.
Diadakannya balap motor di Sirkuit Mandalika sebenarnya sebagai pemicu untuk mendorong kegiatan ekonomi lokal, khususnya pariwisata. “Salah satunya juga meningkatkan penjualan cinderamata dan industri pengolahan makanan, di samping akan mendorong sektor jasa lainnya,” ungkap Rudy.
Bahkan tidak hanya ekonomi, olahraga modern juga menjadi komoditas politik mumpuni. Ketika Greysia Polii dan Apriyani Rahayu meraih medali emas bulu tangkis ganda putri pada Olimpiade Tokyo 2020, misalnya, langsung mencuat poster dari berbagai politisi. Menariknya, foto sang politisi tidak jarang lebih dominan daripada foto Greysia/Apriyani.
Terkhusus bulu tangkis, telah lama olahraga ini menjadi simbol nasional Indonesia. Presiden Jokowi juga pernah mengajak Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah untuk bertanding bulu tangkis ketika merundingkan perdagangan alat utama sistem senjata (alutsista) pada 2018.
Mengutip Stuart Murray dalam bukunya Sports Diplomacy: Origins, Theory, and Practice, apa yang dilakukan Presiden Jokowi adalah sebuah diplomasi olahraga atau sports diplomacy. Kita dapat menyebutnya diplomasi bulu tangkis.
Homo Ludens
Well, terlepas dari kembalinya kalkulasi utilitas di balik euforia olahraga, kita sebenarnya dapat menarik satu jawaban filosofis terkait mengapa olahraga begitu disukai. Pasalnya, sekalipun olahraga telah menjadi komoditas ekonomi dan politik, jika rasa suka atau ketertarikan terhadapnya tidak besar, olahraga tidak mungkin menjadi objek kapitalisasi. Oleh karenanya, ini sebenarnya bukan soal utilitas atau apa, melainkan kenapa manusia begitu tertarik pada olahraga?
Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture dapat digunakan sebagai jawaban. Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1938 ini, Huizinga mempopulerkan istilah Homo Ludens yang berarti manusia adalah pemain yang memainkan permainan. Selaku sejarawan dan ahli teori budaya, Huizinga menekankan betapa pentingnya unsur bermain dalam budaya, masyarakat, dan peradaban.
Tulis Huizinga, “permainan yang asli dan murni adalah salah satu basis utama peradaban.” Lanjutnya, “[peradaban] muncul di dalam dan sebagai permainan, dan tidak pernah meninggalkannya.”
Baca Juga: Cat Pesawat Presiden, Apa Salahnya?
Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday: Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional? juga memberikan penjelasan senada di salah satu bagian bukunya. Ketika mengunjungi suku Fore di Papua, Jared menemukan fenomena menarik ketika melihat betapa gemarnya orang-orang Fore bergosip atau membicarakan hal-hal remeh, seperti berapa ubi yang belum dimakan.
Pada awalnya Jared memandang peyoratif kebiasaan tersebut. Namun ketika kembali dan merenungkannya, ia menyadari bahwa orang-orang Fore tersebut sama dengan kita, yakni untuk menghilangkan rasa bosan. Bedanya, mereka tidak memiliki ponsel, komputer, atau majalah seperti masyarakat yang hidup di perkotaan.
Pada level tertentu, olahraga dapat dikatakan sama dengan bergosip. Kita melakukannya untuk membunuh rasa bosan.
Bertolak dari konsep Homo Ludens, kita kemudian dapat menjawab mengapa ada perasaan tidak mengenakkan ketika kita tidak ikut dalam suatu permainan. Pada kasus euforia Sirkuit Mandalika, misalnya, rasa-rasanya tidak semua memiliki ketertarikan khusus terhadap olahraga balap motor.
Kembali mengutip psikolog Daniel Wann, seseorang bahkan menyukai olahraga hanya karena ikut-ikutan. Ia tidak ingin ketinggalan dari kekasih, keluarga, atau temannya. Singkatnya, apa yang dinikmati sebenarnya adalah perasaan keterlibatan.
Psikologi itu sangat terasa apabila kita menonton langsung pertandingan olahraga, apa pun olahraganya. Entah bagaimana, kita seperti terbawa arus emosi, merinding, penuh gairah dan semangat, bahkan bisa meneteskan air mata.
Sebagai penutup, sekiranya dapat dikatakan konsep Homo Ludens yang diperkenalkan Johan Huizinga dapat menjadi jawaban mengapa euforia terhadap Sirkuit Mandalika dan olahraga secara umumnya dapat terjadi. (R53)