Presiden Jokowi membubarkan 18 lembaga negara. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan pembubaran terjadi karena lembaga-lembaga tersebut sudah tak efektif lagi menjalankan fungsinya. Namun, banyak yang menduga pemerintah tengah mengencangkan ikat pinggang dan melakukan penghematan anggaran dengan merapikan birokrasi. Kebijakan lain yang menarik disorot adalah penunjukkan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang juga melahirkan perdebatan. Apa yang bisa dilihat dari dua kebijakan ini?
PinterPolitik.com
“One reason why Asian governments are relieved that they kept their regulatory institutions strong and conservative relative to previously established Anglo‐Saxon norms is that they can see clearly how difficult it is to regain authority after it has been lost.”
::Kishore Mahbubani, Akademisi dan Mantan Diplomat Singapura::
Kata governance alias pemerintahan dan kemudian government alias pemerintah berakar dari kata kerja kubernaein dalam Bahasa Yunani yang berarti “mengarahkan”. Sepanjang sejarah ketika manusia mengenal negara atau konsep kekuasaan, semuanya memang akan kembali pada pemahaman dasar tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang yang disebut pemimpin, mengarahkan orang lain.
Pemahaman tentang intisari kubernaein ini penting untuk menilai apakah sebuah pemerintahan telah berjalan dengan baik atau tidak. Konteks inilah yang mungkin sedang menjadi perdebatan tanpa akhir terkait kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan Covid-19 beberapa waktu terakhir.
Pasalnya, kritikan keras memang telah datang sejak awal pandemi ini terjadi, di mana pemerintahan Jokowi dianggap tak mampu mengarahkan negara ini ke arah penyelesaian persoalan yang tepat. Mulai dari kebijakan-kebijakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang dianggap salah arah, hingga lelucon para menteri di kabinet Jokowi terkait Covid-19 yang membuat keseriusan para pembantu sang presiden dalam menangani masalah dipertanyakan.
Setelah rentetan kemarahan Jokowi pada para pembantunya terkait penanganan Covid-19 yang dinilai tak sesuai keinginannya, kini kebijakan sang presiden kembali disorot saat membubarkan 18 lembaga negara yang dinilai tak lagi efektif kinerjanya.
Lembaga-lembaga tersebut umumnya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh presiden-presiden terhulu, termasuk juga beberapa lembaga yang dibuat oleh Jokowi sendiri. Nama-nama macam Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, dan Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri adalah beberapa di antaranya.
Kebijakan ini juga diikuti dengan pembentukan Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan mengangkat Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana tim tersebut. Memang kemudian ada perdebatan mengenai apakah porsinya pas menempatkan Erick di posisi tersebut, mengingat jabatannya sekarang sebagai menteri cenderung spesifik pada perusahaan-perusahaan milik negara.
Ini juga beralasan mengingat Erick adalah sosok kepercayaan Jokowi sejak menjabat sebagai Ketua Pelaksana Asian Games 2018, pun kemudian Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin.
Namun, hal yang sesungguhnya patut disorot adalah apakah kebijakan-kebijakan ini sebetulnya menggambarkan bagaimana persepsi tentang pemerintahan atau governance. Akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa untuk menilai baik buruknya sebuah pemerintahan bergantung pada sudut pandang yang digunakan.
Lalu, seperti apa sudut pandang yang dimaksud, dan apakah pemerintahan Presiden Jokowi bisa dianggap “buruk” terkait kebijakan-kebijakan yang ada?
Debat Tentang Good Governance
Menurut Mahbubani, untuk waktu yang lama persepsi tentang pemerintahan terjebak dalam konklusi dan filosofi ekonomi-politik yang dibuat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Salah satunya dalam pernyataan yang berbunyi: “Government is not a solution to our problem, government is the problem”, yang pernah diungkapkan oleh Raegan.
Kurang lebih bisa diartikan bahwa pemerintah bukanlah solusi dari permasalahan yang dihadapi masyarakat, melainkan masalah itu sendiri. Artinya tak ada ujung akhir dari persoalan bernegara karena pemerintah itu sendiri adalah sebuah masalah.
Menurut Mahbubani, pandangan yang demikian ini mendatangkan masalah. Orang-orang yang berkualitas dan berintegritas pada akhirnya menjadi tak tertarik untuk jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan. Siapa yang ingin ada dalam masalah, bukan?
Pandangan ini menurut Mahbubani lazim terjadi di negara-negara Barat. Sementara di negara-negara Asia, pandangan bahwa pemerintah adalah solusi atas masalah masih kuat.
Raegan-Thatcherism ini pada akhirnya membuat penilaian terhadap baik atau buruk sebuah pemerintahan tergantung dari perspektif mana yang digunakan. Jika sedari awal orang sudah melihat bahwa pemerintah adalah persoalan itu sendiri, maka tak akan ada output dari kebijakannya yang akan dinilai positif. Sebaliknya, jika melihat pemerintah bisa menjadi solusi, maka probabilitas penilaiannya menjadi lebih seimbang.
Sementara, konteks good governance atau pemerintahan yang baik itu sendiri punya tafsiran yang sangat beragam. Umumnya banyak orang mengartikannya sebagai kondisi pemerintahan yang ada transparansi, akuntabilitas, efisiensi, inklusif, responsif, participatory, berbasis pada konsensus, serta taat hukum. Tak heran, good governance mengalami penyempitan makna dan sering diidentikkan dengan pemerintahan yang bersih tanpa korupsi.
Padahal, makna di balik istilah ini bukan itu saja. Francis Fukuyama dalam salah satu tulisannya setidaknya menyinggung tentang capacity atau kapasitas dan autonomy atau otonomi sebagai dua hal yang penting bagi sebuah pemerintahan yang baik.
Kapasitas adalah terkait kemampuan dari orang-orang yang dipercayakan untuk menjalankan tugas-tugasnya, dalam hal ini sebagai pelayan masyarakat. Sementara otonomi berkaitan dengan bagaimana kebijakan diambil murni secara obyektif dan tanpa dipengaruhi oleh variabel lain – misalnya dalam konteks politik. Lawan dari otonomi adalah subordinasi – istilah yang sebetulnya digunakan oleh Samuel P. Huntington untuk menggambarkan proses sistem politik yang tak terinstitusionalisasi.
Sementara Mahbubani sendiri melihat dua konteks pemikiran Fukuyama itu dan menyebutkan bahwa negara seperti Singapura bisa menjadi salah satu contoh negara dengan pemerintahan yang baik juga karena kultur pemerintahannya yang juga baik. Semangat yang tinggi untuk memperbaiki kehidupan diri sendiri dan masyarakat adalah salah satu yang menurut Mahbubani berperan besar dalam menentukan pemerintahan bisa berjalan baik atau tidak.
Dari dua penjelasan tersebut, yakni bahwa penilaian pada pemerintahan bergantung pada perspektif yang dipakai dan bahwa kapasitas dan otonomi – pun kultur pemerintahan yang baik – adalah kunci dari kualitas pemerintah, lalu apakah pemerintahan Presiden Jokowi bisa masuk dalam kategori ini?
Erick Thohir dan Tantangan Terbesar Jokowi
Harus diakui, faktor kapasitas dan otonomi adalah dua hal yang paling disoroti dari pemerintahan Presiden Jokowi. Pemilihan menteri misalnya, selalu jadi ajang tarik ulur antara apakah memilih seseorang yang berkualitas dan otonom, atau karena desakan partai dan elite politik nasional, seorang presiden mengorbankan keduanya.
Bukan tanpa alasan jika pada akhirnya banyak yang mengkritik Jokowi karena tak mampu menempatkan sosok yang punya kapasitas di sekelilingnya, dan bukan rahasia lagi bahwasanya pemerintahan Presiden Jokowi “kesulitan” untuk mendapatkan otonominya akibat kebijakan yang selalu tumpang tindih dengan kepentingan orang atau kelompok tertentu.
Pemilihan Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional adalah gambaran paling jelas dari konteks tersebut. Secara kapasitas, Erick memang tak diragukan kemampuannya. Sementara secara otonomi – jika membaca dari kebijakan-kebijakannya di Kementerian BUMN dan keberaniannya berseberangan dengan partai berkuasa seperti PDIP misalnya – sang menteri juga memilikinya.
Namun, adalah sebuah keterbatasan besar tak banyak orang seperti Erick ada di lingkaran pemerintahan Jokowi. Tekanan partai politik dan oligarki juga sangat kuat, sehingga sulit bagi Jokowi menempatkan tokoh-tokoh yang punya kapsitas dan otonomi.
Pada akhirnya, pembubaran lembaga-lembaga negara dan penunjukkan Erick Thohir akan menjadi momentum Jokowi untuk menunjukkan kapasitasnya membangun pemerintahan yang baik.
Memang, untuk para pengamat yang telah terjebak filosofi Raegan-Thatcherism, pemerintah akan tetap dilihat sebagai sumber masalah. Namun, tak ada salahnya menanti apa saja yang akan dilakukan oleh Erick Thohir di waktu-waktu yang akan datang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.