Cukup mengejutkan, dr Tirta yang selama ini vokal menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19 dari pemerintah justru berbalik mengkritik keras kebijakan pemerintah saat ini. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari juru bicara Satgas Covid-19 hingga Menteri Kesehatan Terawan turut disinggungnya. Lantas, mengapa perubahan tersebut terjadi?
“The symmetry of skin in the game is a simple rule that’s necessary for fairness and justice” – Nassim Nicholas Taleb dalam Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life
Tanpa kehadiran pandemi Covid-19, dr Tirta Mandira Hudhi mungkin tidak akan pernah setenar saat ini. Karena vokal menyuarakan perihal pandemi, pada 24 Maret lalu, dokter bertato ini bahkan diundang berbicara di Indonesia Lawyers Club (ILC). Saat itu, Ia lantang untuk menyarankan agar para influencer mengikuti jejak Reza Arab, Rachel Venya, dan Atta Halilintar yang membantu penanganan pandemi Covid-19.
Namun saat ini, suara lantang sang dokter untuk menyuarakan protokol kesehatan justru berbalik menjadi suara lantang untuk mengkritik pemerintah. Dalam podcast Deddy Corbuzier pada 29 dan 30 September, dr Tirta bahkan tanpa ragu memberikan kritik keras terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan bahkan secara satire menyarankan agar Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan untuk mundur dari jabatannya.
Terlebih lagi, sang dokter bahkan berani mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah menuju herd immunity. Dugaan semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru. Dengan pemerintah yang terlihat menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serba tanggung, sudah banyak pihak yang menyebutkan bahwa herd immunity tengah berusaha dilakukan.
Kemudian, yang jauh lebih menarik adalah, berbeda dengan tudingan berbagai pihak yang menyebutkan konspirasi Covid-19 dipercaya karena tingkat literasi masyarakat yang rendah, dr Tirta justru menyebutkan bahwa masyarakat percaya konspirasi karena kebijakan pemerintah yang membingungkan sehingga menimbulkan rasa curiga yang sulit dihindarkan.
Itu misalnya terlihat dari diterapkannya rapid test sebagai syarat administrasi, padahal jenis tes tersebut memiliki tingkat akurasi yang sangat rendah. Kemudian, peraturan masker berstandar SNI baru-baru ini juga mengundang tanda tanya. Pasalnya, bagaimana mungkin aturannya baru ada, tetapi penjual masker SNI sudah ada di pasaran. Tidak mengherankan kemudian apabila masyarakat menilainya sebagai suatu hal yang sudah direncanakan.
Selain kebijakan yang mengundang tanya, percaya pada teori konspirasi juga disebut dr Tirta sebagai pelarian masyarakat karena tengah stres dalam menghadapi pandemi. Pernyataan tersebut dapat kita temukan justifikasinya dari teori psikologi yang disebut dengan coping mechanism. Ini strategi psikologi untuk mengendalikan stres agar tidak menjadi suatu hal yang destruktif.
Dengan kata lain, daripada masyarakat stres karena Covid-19, mereka memilih mengurangi tingkat stres dengan percaya bahwa Covid-19 hanyalah konspirasi, bahkan menyebut virus ini sebenarnya tidak ada.
Sekarang pertanyaannya, mengapa dr Tirta seperti mengubah arah suara dengan lantang mengkritik pemerintah?
Sudah Letih?
Dalam wawancaranya dengan Deddy Corbuzier, dr Tirta sebenarnya telah menjelaskan dengan gamblang terkait alasannya sekarang mengkritik kebijakan penanganan pandemi pemerintah. Tegasnya, sebagai relawan yang turun ke lapangan, Ia lelah dijadikan tameng kebijakan pejabat pusat yang tidak mengetahui realita lapangan. Berbagai sarannya, khususnya perihal edukasi tidak berhasil karena masalah ekonomi juga direspons seadanya oleh Satgas Covid-19.
Akan tetapi, kendati berulang kali mengaku hopeless, dr Tirta tetap berharap ada keajaiban kebijakan sehingga nantinya masyarakat dapat makan dan pandemi berhasil diakhiri. Sedikit tidaknya, kasus yang dialami oleh dr Tirta sepertinya juga dirasakan oleh dosen senior dari Universitas Stanford, Francis Fukuyama.
Fukuyama diakui pemikirannya setelah menulis buku The End of History and the Last Man pada tahun 1992. Di sana ditegaskan bahwa sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Fukuyama melihat terdapat konsensus luar biasa berkenaan dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah muncul di seluruh dunia, setelah sistem ini mengalahkan ideologi-ideologi pesaingnya, seperti monarki, fasisme, dan komunisme.
Akan tetapi, sejak memasuki abad 21, Fukuyama mulai mempertanyakan tesisnya atas demokrasi liberal. Dalam tulisannya di America in Decay: The Sources of Political Dysfunction (2014), misalnya, Fukuyama memperkenalkan istilah vetocracy (vetokrasi), yakni terjadinya disfungsi tata kelola pemerintahan di Amerika Serikat (AS) yang membuat lembaga politik yang ada tidak dapat membuat kebijakan secara efektif dan didominasi oleh keinginan kelompok-kelompok kaya.
Meskipun dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), Fukuyama kembali menyinggung sulitnya mewujudkan negara demokrasi liberal modern seperti yang dibayangkannya, sama seperti dr Trita, Fukuyama tetap memiliki harapan bahwa di akhir sejarah, demokrasi liberal tetap menjadi pemenang.
Terjadi Vetokrasi?
Merujuk pada pernyataan dr Tirta bahwa Satgas Covid-19 tidak memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan terkait pandemi, penjelasan Fukuyama perihal vetokrasi di AS tampaknya juga terjadi di Indonesia, khususnya di tengah penanganan pandemi saat ini.
Menurut Fukuyama, vetokrasi di AS telah membuat kelompok kepentingan yang terorganisir dengan baik dan kaya dapat memblokir inisiatif yang tidak mereka sukai. Atau kasarnya, kebijakan diatur oleh kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh yang besar.
Di Indonesia, apabila kita merujuk pada kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), badan ini sebenarnya memiliki kewenangan yang begitu besar karena mampu mengkoordinasi lembaga-lembaga lainnya dalam penanganan bencana. Oleh karenanya, dengan Satgas Covid-19 yang jelas di bawah BNPB, pernyataan dr Tirta bahwa Satgas Covid-19 tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan menjadi pertanyaan tersendiri.
Jangan-jangan, seperti yang terjadi di AS, pengambil keputusan justru berada di kelompok-kelompok berpengaruh yang kaya. Pasalnya, tidak sedikit pihak yang curiga bahwa ragunya pemerintah dalam menerapkan lockdown sejak awal karena terlalu banyak kepentingan bisnis yang dipertaruhkan.
Skin in the Game
Tidak hanya pernyataan seputar Satgas Covid-19 yang tidak memiliki kewenangan membuat kebijakan, kritik dr Tirta seputar pernyataan dan kebijakan pejabat yang tidak tepat, namun tidak mendapatkan sanksi juga perlu disoroti serius.
Kritik dr Tirta tersebut dapat kita pahami lebih dalam melalui konsep skin in the game yang diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life. Menurut Taleb, skin in the game adalah pilar utama yang menopang berfungsinya sistem, baik di sistem manusia maupun di alam, agar suatu sistem tetap berjalan dengan baik.
Skin in the game adalah hubungan simetris yang mengatur keseimbangan antara insentif dan disinsentif. Ini adalah mekanisme atau sistem kolektif yang mengatur hal positif akan mendapatkan isentif (keuntungan), dan hal negatif akan mendapatkan disinsentif (kerugian).
Penggunaan kata skin merujuk pada setiap aktor yang terlibat dalam suatu sistem yang disebut sebagai game. Pada prinsipnya, game yang baik akan terjadi apabila setiap aktor (skin) yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk menerima risiko dari game yang terjadi. Misalnya, jika Naruto melakukan investasi, maka Naruto dapat menerima dampak investasi, baik mendapatkan keuntungan ataupun mendapatkan kerugian.
Akan tetapi, menurut Taleb sering kali skin in the game tidak terjadi karena terdapat aktor-aktor yang justru tidak mendapatkan risiko dari game yang dimainkan. Taleb misalnya mencontohkan seorang pengajar teori evolusi yang mendidik muridnya agar memahami dan percaya pada teori tersebut. Akan tetapi, sang pengajar justru tidak percaya pada teori evolusi yang diajarkannya.
Skin in the game seharusnya menjadi prinsip yang harus ditekankan, khususnya pada pembuatan kebijakan publik agar sang pembuat kebijakan tidak membuat kebijakan yang keliru. Pasalnya, dalam kenyataannya, karena pembuat kebijakan merasa tidak dirugikan oleh kebijakan yang dibuatnya, kebijakan yang merugikan masyarakat kemudian terlahirkan.
Pada konteks pandemi Covid-19, seperti yang disebutkan oleh dr Tirta, para pemangku kebijakan publik yang tidak mengetahui realita di lapangan sering kali membuat kebijakan yang tidak tepat karena apa pun yang terjadi status quo mereka terlindungi.
Misalnya, pada kasus kafe dibuka, namun gym justru ditutup. Pejabat atas yang memiliki kekayaan berlimpah, mungkin tidak akan terpengaruh dengan kebijakan tersebut. Namun, para pemilik gym akan mendapatkan dampak ekonomi yang besar karena usahanya tidak berjalan. Padahal menurut dr Tirta, berbeda dengan kafe yang ditujukan sebagai sarana hiburan, gym dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh yang sangat berguna untuk melawan Covid-19.
Tidak hanya pada konteks kebijakan, skin in the game juga tidak terjadi karena pejabat seolah memiliki imunitas hukum, tidak seperti rakyat biasa. Misalnya, dalam kasus penyanyi Anji yang dilaporkan menyebarkan informasi palsu tentang obat Covid-19, pejabat yang melakukan hal serupa, seperti memperkenalkan kalung anti-Corona justru tidak menerima konsekuensi hukum.
Pada akhirnya, tumpah ruah kekesalan dr Tirta yang terlihat jelas dalam podcast Deddy Corbuzier ataupun di akun Instagram pribadinya tampaknya berakar dari persoalan skin in the game yang dijelaskan oleh Taleb. Sang dokter merasa ada ketidakadilan, khususnya bagi rakyat kecil. Ia bahkan tanpa segan menyebut hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. (R53)