Dalam beberapa waktu terakhir, pelancong asal Amerika Serikat (AS) Kristen Gray memantik polemik karena mengajak wisatawan-wisatawan asing untuk datang ke Bali di tengah pandemi Covid-19. Sontak cuitan Gray itu pun memantik kemarahan publik Indonesia. Apa yang bisa dimaknai dari fenomena ini?
Kristen Gray, seorang wisatawan asal Amerika Serikat (AS) mungkin tak pernah membayangkan bahwa kehidupan yang Ia damba-dambakan di Bali harus berujung pada keputusan deportasi. Ya, Kantor Wilayah (Kanwil) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menjatuhi sanksi terhadap Gray karena dianggap melanggar sejumlah aturan keimigrasian.
Polemik ini berawal dari rangkaian cuitan Gray di media sosial Twitter yang membanggakan keputusannya untuk tinggal dan menetap di Bali. Ia mengaku betah karena biaya hidup yang harus dikeluarkan untuk tinggal di Pulau Dewata cukup murah.
Contohnya Ia menyebut hanya mengeluarkan uang US$ 300 untuk keperluan tempat tinggal di Bali. Padahal di AS, dia bisa menghabiskan hingga US$ 1.300 hanya untuk menyewa apartemen.
Sambil bercuap soal gaya hidup mewahnya, Gray kemudian mengajak pengikut-pengikutnya untuk mengikuti jejaknya. Ia menilai Bali merupakan tempat yang sempurna untuk melakukan ‘penyembuhan’.
Sontak cuitan Gray ini pun mendapat sorotan tajam warganet Indonesia. Publik bereaksi keras dan menganggap apa yang dilakukan Gray tak bijak lantaran saat ini pemerintah tengah menutup akses keluar masuk warga negara asing (WNA) karena pandemi Covid-19.
Atas polemik yang terjadi, pihak Imigrasi memanggil dan memeriksa Kristen Gray dan kekasihnya. Pemeriksaan dilakukan di Kantor Imigrasi Denpasar.
Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata diketahui Kristen Gray melakukan aktivitas bisnis di Bali tanpa mengantongi visa bisnis. Ia disebut-sebut menjual e-book yang membahas kehidupan dan juga menawarkan jasa konsultasi terkait cara masuk ke Indonesia selama pandemi Covid-19.
Atas pelanggaran ini, pihak Imigrasi Indonesia pun memutuskan mendeportasi Gray dan pasangannya kembali ke negara asalnya.
Kendati begitu, Gray sendiri membantah semua tuduhan itu. Ia mengklaim bahwa dirinya dideportasi karena membuat pernyataan yang menyebut bahwa Bali merupakan tempat wisata yang ramah bagi kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Ia pun mengaku shock lantaran tak mengira cuitannya itu memantik begitu banyak protes dari masyarakat. Menyikapi hal tersebut, apa kiranya yang menyebabkan cuitan Kristian Grey ini menuai sentimen keras publik Indonesia?
Orientalisme di Bali
Adrian Vickers dalam bukunya yang berjudul Bali: A Paradise Created menyebut ketertarikan wisatawan asing terhadap Bali sebenarnya telah terjadi sejak era kolonialisme Belanda. Pada zaman kolonial, orang-orang Belanda yang ada di Indonesia saat itu sudah membangun citra Bali sebagai tempat eksotis yang memiliki unsur budaya dan seni yang kental, serta ritual-ritual keagamaan yang masih rutin dipraktikkan.
Sekilas konstruksi historis orang-orang Barat terhadap Bali yang indah dan eksotis tersebut bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan. Akan tetapi, entah disadari atau tidak, pandangan ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari orientalisme.
Konsep orientalisme sendiri dicetuskan oleh seorang akademisi AS keturunan Palestina, Edward Said. Dalam pemikirannya Ia menyebut bahwa orientalisme merupakan narasi yang berisi tentang perbedaan pandangan antara Barat dan Timur. Hal ini kemudian berujung pada kompleksitas oposisi biner antara pihak yang dianggap superior dan inferior.
Dalam konsep tersebut, Timur kerap digambarkan sebagai sebuah tempat yang penuh kedamaian, alami, liar, tidak beradab, dan eksotis, sedangkan Barat menjadi subjek yang ideal. Tokoh Timur direpresentasikan sebagai pihak yang ‘memuja’ Barat.
Selain karena pemikiran orientalisme tadi, ketertarikan bangsa Barat terhadap Bali agaknya juga disebabkan karena keramahan warga setempat.
M. Fazil Pamungkas dalam tulisannya yang berjudul Pasang-Surut Hubungan Bali dengan Bangsa Asing mengatakan bahwa pada abad ke-16 hingga ke-18 masyarakat Bali membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi para penjelajah Eropa membangun kehidupannya di Pulau Dewata.
Bahkan Ia menyebut masyarakat setempat memberikan jaminan perlindungan dan keamanan kepada orang-orang Belanda dan Inggris yang berkunjung ke sana. Namun sayangnya, keramahan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk melakukan penjajahan.
Kemudian Gisela Swaragita dalam tulisannya di JakartaPost mengatakan bahwa pariwisata yang selama ini lekat akan gambaran kebebasan, dan pencarian jati diri sebenarnya juga menyangkut tentang kekuatan, inklusi, eksklusi, dan identitas.
Mengutip pernyataan penulis dan akademisi Intan Paramaditha, Gisela menyebut traveling secara historis tak bisa dilepaskan dari periode sejarah eksplorasi yang dilakukan bangsa Eropa untuk mendukung ekspansi wilayah koloninya.
Memasuki abad ke-19, banyak ilmuwan, fotografer, dan pejabat-pejabat Eropa yang mengunjungi negeri-negeri jajahan untuk membuat laporan tentang budaya yang mereka temui di sana. Ia menyebut bahwa laporan-laporan yang ditulis oleh para ‘turis’ itu kerap dijadikan pembenaran terhadap tindakan kolonialisme yang dibungkus dengan narasi di mana penjajah memandang penduduk asli sebagai subjek yang harus mereka pelajari dan selamatkan.
Setelah memahami konteks sejarah tersebut, maka pertanyaannya apakah pemahaman orientalisme orang-orang Barat terhadap Bali ini lah yang menjadi latar belakang kemarahan publik Indonesia terhadap polemik Kristen Gray?
Privelese yang Terpelihara?
Intan Paramaditha mengatakan bahwa cuitan Gray tersebut sedikit banyak membuka kembali diskursus mengenai kekuatan negara pasca era kolonialisme. Ini berkaitan dengan persoalan kekayaan negara-negara Barat yang juga didapat dari ratusan tahun menjajah kawasan lain.
Ia menyebut bahwa kekayaan-kekayaan inilah yang kemudian menjadi alasan utama terciptanya hak istimewa kepada para pelancong-pelancong Barat, termasuk dalam konteks kuatnya paspor yang mereka miliki.
Mark B Salter dalam tulisannya yang berjudul Thing, Power, Politics: The Passport As an Object of Global Circulation menilai bahwa paspor bukan hanya sekadar tanda kewarganegaraan dan identitas yang dikeluarkan pemerintah. Paspor merupakan alat yang digunakan pemerintah dan individu untuk mengartikulasikan perlindungan dan klaim atas hak.
Kendati memainkan peran krusial dalam konteks mobilitas global, namun kekuatan paspor yang dimiliki sejumlah negara nyatanya tetaplah berbeda-beda. Beberapa negara memiliki kekuatan paspor yang lebih superior dibanding sebagian negara lain.
Dalam konteks hubungan AS-Indonesia, sudah jelas bahwa warga dari negeri Paman Sam memiliki keuntungan jika dibandingkan dengan warga negara Indonesia.
Per 2015, Indonesia telah memberlakukan kebijakan bebas visa kunjungan bagi WNA asal AS yang salah satunya bisa dinikmati di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai di Bali. Namun sayangnya, privilese serupa tak berlaku bagi WNI yang ingin berkunjung ke AS. Mereka tetaplah harus memiliki visa yang hanya bisa didapat setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang sangat rumit.
Intan Paramaditha kemudian menilai bahwa kesenjangan kekuatan paspor ini adalah sesuatu yang sengaja dipelihara oleh golongan pemilik modal. Menurutnya, Kristen Gray hanyalah satu dari sekian banyak pelancong Barat yang diuntungkan oleh ketidaksetaraan struktural yang dipertahankan demi mendukung pariwisata global.
Di sisi lain, bisa dimaklumi bahwa pemerintah menerapkan kebijakan bebas visa kunjungan untuk sejumlah negara adalah demi menggenjot pendapatan negara. Akan tetapi, kebijakan tersebut pada kenyataanya justru menimbulkan persoalan lain, yakni munculnya fenomena turis bermodal minim atau yang dikenal dengan adagium begpacker, sebuah istilah sindiran dari kata beg (mengemis) dan packer (pejalan) .
Kebanyakan mereka datang dari Amerika dan Eropa dan mudah ditemui di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan tentu saja Indonesia. Alhasil, bukannya mendapat insentif ekonomi, pemerintah justru disibukkan dengan turis-turis yang terjebak di negaranya karena kehabisan dana.
Fenomena munculnya begpecker ini pun kerap membuat jengah penduduk lokal. Di Thailand, fenomena begpacker ini bahkan sampai membuat pemerintah setempat memperketat izin masuk pelancong asing dengan mengharuskan mereka memiliki uang tunai sebesar 20.000 baht sebagai kepastian bahwa mereka tak akan menjadi pengemis di negara tujuan. Berkaca dari sini, mungkin sudah saatnya pemerintah Indonesia juga mengambil langkah yang sama dengan yang diambil oleh pemerintah Thailand.
Di titik ini setidaknya ada sejumlah kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik yang ditimbulkan Kristen Gray. Pertama, adanya orientalisme yang mengakar dalam pandangan orang-orang Barat terhadap Bali. Kedua, secara historis, pandangan orientalisme ini kemudian membentuk privilese wisatawan Barat yang berkontribusi terhadap terciptanya kesenjangan wisatawan asing dan penduduk lokal. Ketiga, negara ikut berperan dalam melestarikan privilese tersebut karena motif ekonomi.
Kendati demikian, segala ulasan tadi merupakan asumsi teoretis yang tentunya terbuka untuk diperdebatkan lebih lanjut. Akan tetapi, di titik ini setidaknya kita bisa menyepakati bahwa negara seharusnya mampu memberikan rasa keadilan bagi warga negaranya sendiri. Jangan sampai motif ekonomi membuat negara menjadi lengah dalam memenuhi tanggung jawab tersebut. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.