Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Dana Kelurahan Jokowi

Di Balik Dana Kelurahan Jokowi

Jokowi punya semua keunggulan untuk menang lagi di periode berikutnya. (Foto: Tagar.id)

Dana kelurahan yang rencananya akan dianggarkan Jokowi untuk tahun 2019 menuai kritik. Nyatanya, dana yang disebut-sebut diusulkan oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) ini akan menjadi alat yang cukup efektif untuk merebut basis pemilih Prabowo yang pada 2014 lalu berpusat di wilayah perkotaan dengan kelurahan-kelurahan sebagai basisnya. Apalagi, sekitar 53,3 persen penduduk Indonesia tinggal di kota.


PinterPolitik.com

“Giving money and power to government is like giving whiskey and car keys to teenage boys.”

:: P. J. O’Rourke, jurnalis dan satiris ::

[dropcap]B[/dropcap]utuh lebih dari sekedar modal politik bagi lawan-lawannya untuk mengalahkan seorang Julius Caesar pada puncak kekuasaannya. Gaius Cassius Longinus, Decimus Junius Brutus Albinus dan Marcus Junius Brutus bahkan harus menyusun rencana dan konspirasi sedemikian rupa untuk membunuh Caesar dan mengakhiri kekuasaannya.

Mungkin puncak kekuasaan Caesar itulah yang saat ini dinikmati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan Wali Kota Solo itu sedang menikmati semua keunggulan politik yang dimilikinya atas Prabowo Subianto – lawan politiknya yang akan bertarung pada Pilpres 2019 mendatang.

Tentu tidak dalam konteks seekstrem yang terjadi pada Caesar, tapi apakah itu berarti Prabowo butuh rencana yang lebih konspiratif untuk menaklukkan Jokowi? Tidak ada yang tahu pasti.

Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2014 lalu menyebut mayoritas pemilih Prabowo adalah masyarakat kota yang intrinsik dengan kelurahan. Share on X

Yang jelas, kekuasaan dan kekuatan politik Jokowi itu bisa terlihat misalnya lewat wacana dana kelurahan yang sedang digodok oleh pemerintahannya. Diberitakan sebelumnya bahwa Jokowi berencana menganggarkan sekitar Rp 3 triliun untuk dana kelurahan yang sedianya akan direalisasikan pada awal tahun 2019 mendatang.

Dana ini diharapkan akan menjadi bagian dari program pemerataan kesejahteraan di kelurahan-kelurahan yang umumnya menjadi bagian dari wilayah perkotaan.

Namun, ada bara, ada asap. Jelang Pilpres 2019 seperti sekarang ini, setiap ada usulan program pemerintah, pasti akan mendatangkan polemik dan tanggapan – tidak sedikit pula nyinyiran – dari oposisi atau pihak-pihak yang berseberangan.

Terkait program dana kelurahan ini tanggapan negatif pun datang dari cawapres Prabowo, Sandiaga Uno yang menyebut “ada udang di balik batu” dalam program dana bantuan untuk 8.485 di seluruh Indonesia itu.

Menurut Sandi, dengan timing penganggaran dana tersebut jelang Pilpres, tentu saja membuat masyarakat bisa menilai bahwa dana itu punya nuansa politis. Apalagi, program-program populis memang selalu punya dimensi yang menguntungkan bagi kandidat petahana yang maju lagi.

Apa yang dikatakan oleh Sandi ini diamini oleh politisi Partai Gerindra, Andre Rosiade yang menyebut program ini adalah cara Jokowi untuk menarik hati pemilih. Ia menyebutnya sebagai “modus” Jokowi untuk menang kembali dengan “membagi-bagikan uang ke rakyat”.

Bahkan kubu Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak menanggapi dengan agak keras dan menyebut program ini adalah “penghinaan presiden terhadap rakyat” dengan membagi-bagikan uang.

Kubu Jokowi membantah tuduhan tersebut dan menyebut usulan dana kelurahan adalah aspirasi dari masyarakat yang menyebut karena sudah ada dana desa, maka kelurahan pun seharusnya mendapatkan dana serupa. Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin bahkan menyebut jika “ada udang di balik batu, maka silakan menyelam untuk menangkap udang tersebut”.

Ngabalin jelas menangkap ada “kecemasan” dari oposisi bahwa jika program ini dijalankan, maka berdampak besar bagi kemenangan Jokowi di 2019. Tentu pertanyaannya adalah apakah benar demikian?

Jokowi Meraih Sophomore Surge

Asal usul program ini memang bukan dari Jokowi – setidaknya jika melihat pengakuan Wali Kota Bogor sekaligus kader salah satu partai oposisi, PAN, Bima Arya. Menurut Bima yang adalah wakil ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), usulan dana kelurahan itu muncul dari pihaknya saat bertemu dengan Jokowi pada Juli 2018 lalu.

Menurut Bima, kebutuhan daerah perkotaan soal bantuan dana terkait kewenangan pengelolaan SMA/SMK, pengangkatan guru honorer, evaluasi sistem zonasi penerimaan siswa, dan kewenangan pemeliharaan jalan membutuhkan dana bantuan dari pemerintah pusat.

Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia justru kini tinggal di wilayah kota. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memang menyebutkan pada tahun 2015 sekitar 53,3 persen dari total penduduk Indonesia tinggal di kota. Jumlah ini akan meningkat menjadi 56,7 persen pada tahun 2020 dan menjadi 66,6 persen pada tahun 2035.

Artinya memang kelurahan – sebagai wilayah kerja terkecil yang berada di bawah tanggung jawab langsung wali kota atau bupati (mengingat lurah dipilih langsung oleh wali kota atau bupati) – memang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. Setelah desa mendapatkan anggaran khusus lewat dana desa, memang membuat kelurahan-kelurahan merasa perlu untuk mendapatkan perhatian serupa.

Dengan melihat konteks usulan bahwa program ini disuarakan salah satunya oleh Bima Arya yang berasal dari partai oposisi, maka persoalan dana ini boleh jadi memang sesuai yang dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan di wilayah kota dan kabupaten.

Namun, tentu saja dalam konteks muatan politisnya dan akibat lanjutannya, oposisi patut khawatir. Pasalnya dengan total lebih dari separuh penduduk Indonesia, wilayah kelurahan yang identik dengan kota memang punya posisi penting.

Sekalipun masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan menurut peneliti Merapi Cultural Institute (MCI) Gendhotwukir, umumnya dianggap lebih individualis, namun ketika ada program pemerintah riil yang menjangkau mereka, tentu saja hal tersebut bisa mempengaruhi penilaian mereka terhadap Jokowi sebagai petahana.

Dengan dana yang dianggarkan dalam program ini, maka satu kelurahan diestimasikan akan mendapat Rp 353 juta. Dengan dana tersebut tentu saja akan ada banyak program yang bisa dilakukan di kelurahan.

Usulan dari kubu oposisi agar pencairan dana tersebut dilakukan setelah pemungutan suara Pilpres memang menunjukkan bahwa ada ketakutan dana kelurahan ini berdampak pada elektabilitas Jokowi. Tentu pertanyaannya adalah sebegitu “mengerikankah” dampak politik dana kelurahan jika dianggarkan sebelum Pilpres 2019 nanti?

Nyatanya, dengan segala keunggulan politik yang kini dimiliki oleh Jokowi, dana kelurahan ini menjadi bukti kekuatan politiknya sebagai petahana.

Sejarawan dari American University, Allan Lichtman menyebutkan bahwa seorang petahana memiliki beberapa keunggulan dibandingkan lawannya, mulai dari pengakuan atas nama (name recognition), perhatian publik nasional lewat pemberitaan media (national attention), keunggulan  pendanaan kampanye (fundraising), kontrol terhadap instrumen negara, pengalaman kampanye di Pilpres sebelumnya, dan pendukung yang inersia atau “malas” untuk memilih lawan yang dianggap belum terbukti.

Dana kelurahan tentu saja berhubungan dengan kontrol terhadap instrumen negara. Faktanya, di negara seperti Amerika Serikat (AS), tingkat keterpilihan calon petahana anggota kongres ada di atas 80 persen, sementara dari 10 Pilpres terakhir negara tersebut yang melibatkan kandidat petahana, 7 di antaranya dimenangkan oleh inkumben.

Adapun di Indonesia, untuk sistem demokrasi terbuka, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil memimpin dalam 2 periode adalah bukti kekuatan petahana tersebut. Sehingga, dana kelurahan sangat mungkin menjadi pembenaran pendapat tentang kekuatan politik petahana.

Dalam konteks terpilih kembali, Jokowi setidaknya berpeluang mendapatkan apa yang disebut sebagai sophomore surge – istilah yang diadopsi dari penyebutan tahun kedua dalam sistem pendidikan SMA atau kuliah di AS – yang bisa diartikan sebagai kondisi ketika seseorang politisi terpilih lagi di periode berikutnya.

Walaupun istilah ini umumnya berlaku pada anggota parlemen yang mampu memanfaatkan keunggulan 8-10 persen suara melalui kampanye pribadinya – bukan partai – hal ini juga bisa disematkan pada Jokowi dalam konteks keunggulan personal yang dimiliki sebagai petahana.

Pada titik sekarang ini, tanpa dukungan partai politik sekalipun, Jokowi memang sudah punya modal yang mumpuni untuk memenangkan pertarungan politik. Sophomore surge tentu saja berpeluang akan terjadi pada Jokowi jika berkaca dari semua instrumen politik yang ada, termasuk lewat dana kelurahan ini.

Dana Kelurahan, Penggembosan Prabowo?

Pada tahun 2008-2009, publik tentu diramaikan oleh program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dianggarkan oleh pemerintahan SBY, apalagi konteks program tersebut yang dilaksanakan jelang waktu Pemilu. Sama seperti dana kelurahan Jokowi saat ini, BLT SBY juga mendapatkan kritik keras dari oposisi saat itu yang menilai program tersebut sangat politis dan bertujuan untuk menarik simpati pemilih.

Hasilnya? SBY berhasil memenangkan pertarungan politik dengan perolehan suara mencapai 60,8 persen dalam satu kali putaran Pilpres. Dalam konteks serupa, anggaran-anggaran sosial dianggap akan berdampak pada Pilpres 2019 nanti.

Selain dana kelurahan, pada tahun 2017 dan 2018, Jokowi telah menganggarkan Rp 60 triliun setiap tahunnya untuk dana desa. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah di tahun 2019.

Sementara dalam konteks kelurahan yang identik dengan pemerintahan kota, sangat mungkin program dana kelurahan ini akan menjadi cara Jokowi untuk menarik semakin banyak pemilih Prabowo ke kubunya.

Hal ini bisa terjadi mengingat survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2014 lalu menyebut mayoritas pemilih Prabowo adalah masyarakat kota yang berpendidikan tinggi. Dana kelurahan tentu saja bisa menjadi alat perebut basis massa Prabowo tersebut. (Baca: Politik Loncat Katak, Jokowi Kepung Prabowo?)

Pada titik ini, dana kelurahan menjadi incumbency advantage atau keunggulan petahana yang oleh Navin Kartik dari Columbia University dan Richard Van Weelden dari University of Pittsburg dianggap sebagai faktor yang penting.

Menurut keduanya, ada kecenderungan bahwa kandidat inkumben biasanya akan mengambil kebijakan publik yang mempengaruhi pilihan politik para pemilihnya. Jelas dana kelurahan mewakili pandangan tersebut.

Lalu, apakah itu berarti posisi politik Prabowo memang semakin sulit untuk menang? Tidak ada yang tahu pasti. Caesar dalam segala kekuasaannya pun pada akhirnya berhasil jatuh.

Yang jelas, seperti kata O’Rourke di awal tulisan, memberikan kekuasaan dan uang kepada pemerintah itu seperti memberikan whiskey dan kunci mobil kepada seorang remaja. Pada akhirnya akan ada “kemabukan dan kecelakaan”. Mungkin, Prabowo bisa berharap pada hal itu. (S13)

Exit mobile version