Sebuah “drama” saling menyalahkan terjadi antara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) dan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa terkait penanganan pandemi virus Corona (Covid-19) yang kini tengah disorot. Mengapa “carok” atau pertengkaran ini dapat terjadi?
PinterPolitik.com
“Let’s play the blame game for sure” – John Legend, penyanyi R&B asal Amerika Serikat (AS)
Mungkin, bagi penikmat seri drama, permusuhan antartokoh merupakan hal yang lumrah dijumpai dalam kisahnya. Dalam seri drama yang banyak dijumpai di Netflix misalnya, tak jarang muncul beberapa tokoh yang dapat mengancam jalan dan kelangsungan hidup tokoh lain.
Tokyo dan Berlin dalam seri yang berjudul La Casa de Papel atau Money Heist misalnya, sempat adu argumen karena adanya ancaman dari situasi yang tak pasti dalam upaya perampokan mereka. Saking tegangnya permusuhan mereka, Tokyo sampai harus ditendang keluar dari kelompok oleh Berlin.
Kisah-kisah drama seperti ini bukan tidak mungkin turut mencerminkan apa yang ada di dunia nyata. Perbedaan sikap dan kebijakan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan pandemi virus Corona(Covid-19) misalnya disebut-sebut kental dengan nuansa “drama” politis.
Bila Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai mendorong penanganan pandemi yang efektif – seperti dengan membuka transparansi data, pemerintah pusat malah dianggap terkesan menutupi agar tak membuat kepanikan di masyarakat. Hampir sama dengan drama-drama yang ada di layanan streaming daring pada umumnya, penontonnya pasti mudah sekali dibuat geram.
Namun, drama yang membuat geram ini ternyata tak hanya terbatas antara Anies dan pemerintah pusat. Kini, drama saling sindir seperti ini juga terjadi di lingkup provinsi lain, yakni Jawa Timur (Jatim).
Hal tersebut dikarenakan ketidak kuasaan kami. Dua mobil bantuan dari BNPB yg awalnya untuk Pemkot Surabaya mendadak tadi pagi dialihkan ke daerah lain.
Padahal, sebelumnya kami sudah mempersiapkan untuk warga surabaya dalam pelaksanaan tes tersebut.
— Humas Kota Surabaya (@BanggaSurabaya) May 29, 2020
Sorotan publik dan media terkait peningkatan kasus positif yang terjadi di Jatim – khususnya Surabaya – memunculkan “drama” baru yang trending. Tokoh-tokoh yang sepertinya saling bermusuhan kini adalah Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma).
Kisah drama ini sempat mencapai “titik klimaksnya” ketika sebuah video menjadi viral di media sosial beberapa waktu lalu. Video tersebut menggambarkan Risma yang tengah marah karena bantuan tes polymerase chain reaction (PCR) dari pemerintah pusat dialihkan ke kota/kabupaten lain, yakni Lamongan dan Tulungagung.
Dengan tersebarnya video tersebut, tak sedikit warga Surabaya menyalahkan kebijakan Pemerintan Provinsi (Pemprov) Jatim di bawah Khofifah yang dianggap secara sepihak mengalihkan bantuan dari pemerintah pusat. Khofifah sendiri beralasan bahwa pengalihan tersebut dilakukan karena tingginya angka pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal di Tulungagung.
Terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, drama saling sindir dan menyalahkan antara Khofifah dan Risma ini sebenarnya tak hanya sekali saja terjadi.
Lalu, mengapa Khofifah dan Risma terlibat dalam adu kesalahan seperti ini? Apakah ada latar belakang politis yang mendasarinya?
Penghindaran Kesalahan
Drama saling menyindir antara Risma dan Khofifah ini sebenarnya bisa dipahami sebagai upaya untuk menghindari kesalahan (blame). Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 yang merongrong Surabaya – dan Jatim, kedua pemimpin ini kini menjadi sorotan masyarakat.
Boleh jadi, video Risma yang viral beberapa waktu lalu berhubungan dengan mencuatnya kritik di media sosial atas penanganan pandemi yang dijalankan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Kabarnya, kritik tersebut diungkapkan oleh salah satu dokter yang berada di Kota Pahlawan tersebut.
Mengacu pada tulisan milik R. Kent Weaver dari Brookings Institution yang berjudul Politics of Blame Avoidance, politisi dan pejabat publik biasanya memiliki tendensi untuk menangkis dan menghindari kesalahan (blame) yang diarahkan pada mereka. Hal ini bertujuan agar bias negativitas (negativity bias) tidak melekat pada diri mereka.
Lagi pula, bias negativitas membawa dampak psikologis lebih besar pada konstituen. Bukan tidak mungkin, bias semacam ini muncul di masyarakat dengan meningkatnya jumlah kasus positif yang signifikan di daerah konstituennya, yakni Surabaya – dan Jatim.
Oleh sebab itu, upaya saling sindir ini dapat juga dipahami sebagai cara agar Risma dan Khofifah dapat terhindar dari bias semacam ini. Berdasarkan tulisan Weaver, terdapat beberapa taktik penghindaran kesalahan yang dapat dilakukan oleh politisi dan pejabat publik.
Risma misalnya bisa saja menggunakan strategi finding the scapegoat (mencari kambing hitam) dengan mengalihkan kesalahan ke pihak lain. Boleh jadi, dengan menunjukkan kemarahannya atas batalnya kedatangan bantuan dua mobil tes PCR dari pemerintah pusat tersebut justru dapat mengalihkan persepsi kesalahan ke Khofifah.
Hal ini terlihat dari banyaknya warganet berempati dengan permasalahan yang dialami oleh Risma dan cenderung menyalahkan Khofifah dan Pemprov Jatim. Bahkan, Wali Kota Surabaya itu sendiri menyebutkan beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa dirinya tak bersedia apabila dianggap tak dapat bekerja dengan baik dalam mengatasi persoalan pandemi.
Khofifah sendiri bisa juga menggunakan taktik penghindaran kesalahan yang berbeda. Boleh jadi, dengan mengalihkan bantuan ke kota/kabupaten lain, Gubernur Jatim itu menggunakan taktik yang disebut sebagai pass the buck.
Melalui keputusan tersebut, Risma akhirnya harus menjalankan pilihan dan kebijakan yang secara politik berbiaya tinggi. Akibatnya, Pemkot Surabaya harus mengurangi kuota tes PCR yang tentu saja dapat membuat warga Surabaya semakin kecewa.
Bila benar kedua pejabat daerah ini tengah memainkan strategi penghindaran kesalahan masing-masing, alasan politis tentu bisa mendasari tindakan mereka. Kira-kira, latar belakang politis apa yang mendasari blame game antara Risma dan Khofifah?
Babak Penyisihan Pilpres?
Sebenarnya, upaya saling menyalahkan yang terjadi antara Risma dan Khofifah ini bukanlah hanya sekali ini terjadi. Pada beberapa kesempatan sebelumnya, dua kepala daerah ini juga terlibat dalam narasi saling sindir.
Dalam pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Surabaya misalnya, Khofifah sempat menyindir Pemkot Surabaya yang dianggap tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Pemprov Jatim. Pasalnya, Gubernur Jatim tersebut menilai titik-titik masuk ke Surabaya yang sempat ditutup tersebut juga penting bagi daerah-daerah di sekitarnya.
Selain perbedaan pendapat tersebut, adu pendapat di antara dua pemerintah daerah (pemda) ini juga sempat terjadi. Bila Pemprov Jatim menganggap munculnya kluster penularan Covid-19 yang baru di dua mal Surabaya, Pemkot Surabaya justru menampik asumsi akan adanya kluster baru tersebut.
Dengan insiden saling sindir antara dua pemda yang terjadi lebih dari sekali, bukan tidak mungkin latar belakang politis turut mendasari peristiwa kemarahan Risma yang viral beberapa waktu lalu. Beberapa pihak menilai bahwa adu kesalahan antara keduanya terjadi akibat rivalitas politik yang membekas dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub Jatim) 2018 lalu – yang mana Risma dan Khofifah berada di dua kubu yang berbeda.
Selain itu, kedua kepala daerah ini sama-sama masuk dalam bursa calon presiden (capres) potensial dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti. Dalam sebuah survei yang dijalankan oleh Indo Barometer pada awal tahun 2020 lalu misalnya, Risma dan Khofifah sama-sama menjadi capres potensial.
Tentu, sekarang masih menjadi waktu yang terlalu awal untuk melihat kemungkinan capres di antara kedua kepala daerah tersebut. Namun, bukan tidak mungkin, kompetisi politik tetap terjadi di antara Risma dan Khofifah.
Lagi pula, Risma dan Khofifah boleh jadi masih membutuhkan kompetisi politik semacam ini guna menentukan langkah karier politik lanjutan mereka. Kaare Strom dalam tulisannya menjelaskan bahwa kompetisi politik merupakan komponen yang penting dalam sebuah demokrasi.
Dengan kompetisi politik yang demokratis, muncul upaya yang dilakukan di antara individu atau kelompok untuk menjalankan perjuangan kompetitif guna mendapatkan suara dari masyarakat. Seperti apa yang dijelaskan oleh Weaver dalam tulisannya sebelumnya, politisi dan pejabat publik dapat menggunakan strategi penghindaran kesalahan akibat motivasi elektoral.
Bisa jadi, upaya saling sindir antara Risma dan Khofifah ini turut didasari atas motivasi elektoral – mengingat keduanya dianggap sebagai capres potensial. Meski gambaran kemungkinan ini belum tentu pasti benar, situasi pandemi seperti ini dapat menjadi babak penentu karier politik bagi setiap pejabat publik, entah keluar sebagai “pemenang” atau malah gagal di kemudian hari. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.