HomeNalar PolitikDi Balik Bukber NU-Tiongkok

Di Balik Bukber NU-Tiongkok

Baru-baru ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mengadakan buka puasa bersama dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian. Lantas, apakah mungkin terdapat intrik politik Tiongkok di balik kerja sama yang telah dijalinnya dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut?


PinterPolitik.com

Sudah sejak lama, entah karena kecemburuan sosial terhadap kelompok Tionghoa atau tidak, muncul sentimen anti-Tionghoa atau anti-Tiongkok yang seolah menjadi pandangan umum di tengah masyarakat Indonesia. Pada gelaran Pilpres 2019 misalnya, kedekatan hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan negara yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut menjadi sasaran kritik tersendiri yang terus diproduksi.

Berbeda nasib dengan Presiden Jokowi, organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) yang juga telah menjalin hubungan dekat dengan Tiongkok, nyatanya tidak mendapatkan sorotan berarti dari publik. Kedekatan tersebut misalnya terlihat dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang melaksanakan buka puasa bersama dengan Duta Besar (Dubes) Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian pada 4 Mei lalu. Tidak hanya pada bulan Ramadan tahun ini, kegiatan keakraban tersebut nyatanya telah dilakukan sebanyak lima kali.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam sambutannya juga turut menyinggung perihal berbagai kerja sama antara PBNU dengan Tiongkok yang telah terjalin, di antaranya seperti program beasiswa untuk para santri dan membangun fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) di berbagai pesantren di Jawa dan Banten. Tidak ketinggalan, negeri Tirai Bambu juga membantu PBNU menyiapkan 300 alat pelindung diri (APD), 1.920 alat rapid test, 16.000 masker, serta 1000 paket sembako guna menangani pandemi virus Corona (Covid-19).

Terkhusus beasiswa untuk santri, uniknya, kerja sama tersebut mendapatkan sorotan khusus dari berbagai pihak karena Tiongkok dinilai telah menerapkan strategi yang sama dengan Amerika Serikat (AS) guna memperbaiki citranya di dalam negeri. Benarkah demikian?

Relasi dengan NU Penting

Selaku organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan klaim massa sebesar 40 juta jiwa, tentu masuk akal untuk menyimpulkan apabila NU memiliki persepsi yang baik terhadap Tiongkok, maka persepsi tersebut dapat menyebar ke kelompok masyarakat lainnya, atau setidaknya di lingkungan NU itu sendiri.

Tidak hanya itu, atas besarnya klaim massa tersebut, tidak mengherankan apabila NU menjadi organisasi yang sangat diperhitungkan pengaruhnya secara politik. Bahkan di kontestasi Pilpres 2019, munculnya nama mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin disebut-sebut karena adanya desakan dari kelompok NU yang akan menarik dukungan kepada Presiden Jokowi apabila pasangannya tidak dari kalangan NU.

Atas itu pula, apabila Tiongkok membangun relasi yang baik dengan PBNU, boleh jadi itu akan menjadi semacam “garansi” agar proyek-proyek kerja sama Tiongkok dan Indonesia – khususnya infrastruktur – akan terus berlanjut dan mendapat dukungan.

Demi kepentingan tersebut, tentu mudah untuk menyimpulkan agar Tiongkok dapat terus menjalin hubungan baik dengan PBNU yang memiliki “posisi tawar yang tinggi”, maka negeri Tirai Bambu harus memberikan tawaran “menguntungkan” yang sulit untuk ditolak.

Selain bantuan ke berbagai pesantren, yang memang menjadi konsentrasi NU, tawaran menguntungkan tersebut jelas terlihat dari upaya Tiongkok untuk memberikan beasiswa kuliah sampai jenjang S3 kepada para santri NU. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, dengan latar belakang santri yang umumnya dari golongan menengah, beasiswa ke luar negeri semacam itu tentu saja merupakan tawaran yang sulit untuk ditolak.

Lebih lanjut, tawaran beasiswa Tiongkok tersebut dapat kita pahami melalui konsep soft power Joseph Nye dari Universitas Harvard. Soft power adalah pendekatan yang berkarakter inspirasional, yakni kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan emosional seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi visioner, serta pengaruh budaya, sehingga membuat orang lain terpengaruh.

Sue Enfield dalam tulisannya Evidence for Soft Power Created via Scholarship Schemes menyebutkan bahwa pemberian beasiswa pendidikan adalah alat yang biasa digunakan sebagai soft power. Program beasiswa dirancang sedemikian rupa untuk melayani kepentingan negara tuan rumah untuk memengaruhi negara yang diberikan beasiswa dalam jangka panjang.

Pemberian beasiswa semacam itu, tidak hanya untuk memengaruhi, melainkan juga sebagai sarana bertukar budaya, yang nantinya dapat memengaruhi persepsi penerima beasiswa terhadap negara tujuannya. Hal tersebut misalnya terlihat dari artikel yang dimuat NU Online yang berjudul Tak Sulit Menemukan Makanan Halal untuk Berbuka Puasa di China.

Artikel yang berisi testimoni dari alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sarah Hajar Mahmudah tersebut menyebutkan kemudahan dalam menemukan makanan halal di Tiongkok karena stok makanan yang melimpah, terdapat label halal, serta warga lokal yang kerap membantu dalam mencari barang yang dibutuhkan.

Suka atau tidak, artikel tersebut tentu dapat menjadi bantahan tersendiri atas persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya yang menyebutkan sulit menemukan makanan halal di Tiongkok. Kemudian, atas testimoni itu pula, kita dapat melihat bahwa terciptanya persepsi baik mengenai Tiongkok juga jelas terbentuk.

Pengaruh Politik di Masa Depan?

Selain dapat mengubah persepsi terhadap Tiongkok, pemberian beasiswa tersebut juga dapat menjadi strategi politik tersendiri. Kembali mengacu pada Enfield, menariknya disebutkan bahwa pemberian beasiswa juga merupakan semacam investasi untuk pemimpin masa depan.

Menurut Enfield, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa alumni penerima beasiswa memiliki ikatan yang kuat dengan negara tuan rumah. Dalam temuannya, program beasiswa pemerintah Tiongkok bahkan mendapatkan respons positif sampai 90 persen. Lanjutnya, jika hubungan baik tetap dijaga oleh negara tuan rumah, maka itu akan memberikan keuntungan pengaruh diplomatik apabila nantinya sang alumni penerima beasiswa menjadi pejabat publik.

Konteks yang disebutkan oleh Enfield misalnya dapat kita lihat dari keberhasilan lulusan AS yang kerap bertengger sebagai pejabat publik penting di Indonesia. Di era Orde Baru, lulusan AS yang dikenal sebagai Mafia Berkeley bahkan menempatkan dirinya di berbagai posisi strategis pemerintah. Kini, hal tersebut bisa saja masih berlanjut dengan adanya belasan lulusan AS di kabinet Presiden Jokowi.

Nama-nama tersebut seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga Mendikbud Nadiem Makarim.

Atas banyaknya lulusan AS yang berhasil menjadi pejabat publik strategis, kita dapat melihat bagaimana kuatnya pengaruh negeri Paman Sam di Indonesia. Kendati di kepemimpinan Presiden Jokowi hubungan dengan Tiongkok disebut intim terjadi, namun berbagai pihak menyebut hubungan tersebut hanyalah bersifat pragmatis karena mantan Wali Kota Solo tersebut membutuhkan investor untuk mendanai ambisi proyek infrastrukturnya. Ambisi itu sendiri juga seayun dengan proyek One Belt One Roal (OBOR) Tiongkok yang disebut-sebut akan menjadi Jalur Sutra modern.

Mengacu pada hal tersebut, dengan melihat politik PBNU, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – partai yang memiliki pertautan erat dengan NU – boleh jadi Tiongkok ingin mengulang keberhasilan yang sama seperti yang telah diraih oleh AS.

Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap menyebutkan dengan adanya PKB-isasi, partai yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut telah menjadi tempat utama warga NU untuk berpolitik.  Hal tersebut terjadi karena dengan berpindahnya tampu kepemimpinan partai dari Gus Dur ke Muhaimin Iskandar (Cak Imin), telah membuat NU – melalui PKB – menempatkan dirinya sebagai pemain aktif di gelaran politik nasional.

Dengan kata lain, jika Tiongkok mampu tetap membangun relasi dan membina alumni penerima beasiswanya yang notabene merupakan anggota PBNU untuk menjadi pejabat politik strategis, tentunya itu dapat menjadi “jaminan” tetap berlangsungnya hubungan diplomatik dengan Indonesia, khususnya terkait proyek investasi infrastruktur yang tengah digalakkan.

Walaupun demikian, benar tidaknya terdapat intrik politik Tiongkok di balik terjalinnya hubungan erat dengan PBNU tentunya tidak diketahui secara pasti. Di luar itu, kita tentu dapat melihat sisi positif dari kerja sama tersebut, seperti berbagai bantuan ke pesantren hingga program beasiswa yang tentunya menjadi “angin segar” tersendiri. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...