Baru-baru ini, pendiri Microsoft Bill Gates kembali menegaskan bahwa vaksin adalah solusi terbaik untuk mengakhiri pandemi. Menariknya, Gates juga memprediksi pandemi Covid-19 akan berakhir pada akhir 2022 mendatang. Lantas, dengan kemajuan teknologi saat ini, mengapa lama berakhirnya pandemi Covid-19 sama dengan pandemi Flu Spanyol seratus tahun silam?
PinterPolitik.com
“I think the biggest danger is not the virus itself. The really big problem is our own inner demons, our own hatred, greed and ignorance” – Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens dan Homo Deus
Siapa yang tidak ingin pandemi Covid-19 berakhir? Rasa-rasanya semua orang pasti berharap pandemi ini secepat mungkin berlalu. Atas ini pula, banyak dari kita berharap pada kemajuan teknologi, khususnya di bidang kesehatan.
Sebagaimana diketahui, tidak seperti pandemi sebelumnya, misalnya pandemi Flu Spanyol, ilmu kesehatan saat ini telah jauh berkembang. Akan tetapi, bagaimana apabila harapan umat manusia tersebut ternyata tidak membuahkan hasil yang diinginkan?
Baru baru ini, pendiri Microsoft Bill Gates yang kita tahu telah berinvestasi di berbagai bidang teknologi, mulai dari komputer, rekayasa genetika organisme (GMO), hingga vaksin justru menyatakan bahwa bagi negara kaya, pandemi kemungkinan baru berakhir pada akhir 2021. Sedangkan secara keseluruhan, baru berakhir pada akhir 2022.
Pada kesempatan ini, Gates kembali menegaskan bahwa vaksin adalah solusi terbaik untuk mengakhiri pandemi karena kekebalan alami terhadap Covid-19 baru akan terbentuk setelah lima tahun. Tanggapan senada juga diungkapkan oleh epidemiolog Universitas Harvard, Marc Lipsitch yang menyebutkan bahwa penularan Covid-19 kemungkinan akan berlangsung sampai 2025.
Jawaban tersebut tentunya begitu tidak kita harapkan. Pasalnya, dengan membandingkan dengan pandemi Flu Spanyol yang kala itu dihadapi umat manusia dengan penuh keterbatasan, nyatanya pandemi berakhir setelah dua tahun.
Bayangkan saja, kala itu pandemi Flu Spanyol terjadi di tengah gejolak Perang Dunia I, belum terjadi globalisasi, teknologi belum berkembang, informasi yang sangat terbatas, hingga berbagai pihak meresponnya sebagai flu biasa.
Sedangkan saat ini, kita mungkin telah mencapai titik perkembangan teknologi yang mungkin tidak pernah dibayangkan umat manusia dalam seratus tahun terakhir. Lantas, dengan kemajuan pesat teknologi saat ini, bagaimana mungkin umat manusia akan menghadapi rentang waktu yang sama?
Tidak Terbentuknya Solidaritas Global?
Pada April lalu, penulis buku Sapiens dan Homo Deus, Yuval Noah Harari sebenarnya telah memberikan pandangan pesimis terkait penanganan pandemi Covid-19, kendatipun umat manusia memiliki teknologi yang telah jauh berkembang.
Menurut Harari, umat manusia sebenarnya memiliki segala ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghadapi pandemi. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan memberikan dampak penyelesaian yang signifikan apabila solidaritas global tidak terbentuk.
Sebagaimana diketahui, alih-alih negara-negara di dunia bekerja sama, praktik-praktik egois, seperti tidak membuka semua informasi yang dilakukan oleh Tiongkok, mencari kambing hitam, hingga memanfaatkan pandemi sebagai ajang mencari keuntungan justru kita lihat sampai detik ini.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus juga telah menyinggung hal ini. Tandasnya, untuk menyelesaikan pandemi, dunia harus bekerja sama, karena di tengah globalisasi ekonomi, setiap negara saling terkait satu sama lain. Tedros juga menekankan agar praktik nasionalisasi vaksin tidak dilakukan demi memudahkan akses bagi setiap negara.
Harari dalam bukunya 21 Lesson for the 21st Century juga telah menyinggung hal ini. Tandasnya, di tengah kondisi dunia yang memasuki era globalisasi, nyatanya, praktik-praktik isolasi nasionalis, seperti yang dipertontonkan Amerika Serikat (AS) dan Rusia justru tetap berjalan.
Mengacu pada game theory, khususnya dalam prisoner’s dilemma (dilema narapida), dalam situasi hubungan internasional yang sebenarnya begitu rumit dan sukar ditebak, secara rasional tiap negara akan condong berpandangan realis dengan mengasumsikan negara lain akan mengambil tindakan yang hanya menguntungkan dirinya.
Menimbang pada rasa saling curiga tersebut, ini membentuk kondisi yang membuat kerja sama atau solidaritas menjadi begitu sulit untuk terjadi. Kendatipun kerja sama terjadi, pada dasarnya itu didirikan di atas praktik-praktik transaksional yang tidak ubahnya seperti bisnis semata.
Akan tetapi, di tengah praktik-praktik egois semacam itu, sekiranya kita sepakat bahwa umat manusia pasti tidak ingin menemui kehancuran akibat pandemi Covid-19. Seperti yang disinggung Tedros, ekonomi saat ini tengah begitu terkait satu sama lain. Artinya, bagaimana mungkin tiap negara atau pihak-pihak tertentu tetap berprilaku egois dengan tidak membangun solidaritas?
Kognisi Manusia yang Rapuh?
Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow dapat membantu kita menjawab keanehan tersebut. Mengutip hasil penelitian Daniel Kahneman, Harari berusaha menjelaskan perihal betapa rapuhnya kemampuan kognisi manusia.
Untuk mewujudkan solidaritas global atau kebaikan bersama (good will), manusia dituntut menjadi organisme rasional, sehingga dapat melakukan kalkulasi terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Akan tetapi, bagaimana jika rasionalitas yang selama ini diagungkan oleh umat manusia tersebut hanya ilusi?
Secara khusus, Harari menyoroti ketidakcukupan kemampuan manusia dalam mengolah pengalaman yang dijadikan acuan dalam memberi penilaian dan membuat putusan. Untuk membuat putusan rasional, manusia perlu untuk memahami seobjektif mungkin pengalamannya. Akan tetapi, dalam temuan Kahneman, kognisi manusia ternyata memiliki kecenderungan untuk mereduksi pengalaman hanya menjadi awal dan akhir.
Harari misalnya mencontohkan studi yang menemukan bahwa perempuan yang pernah mengalami persalinan, kendatipun proses tersebut mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa, ternyata 90 persen responden menyebut pengalaman tersebut positif, bahkan sangat positif.
Simpulan positif itu sendiri terjadi karena dua hal. Pertama, setelah melakukan persalinan, hormon cortisol dan beta-endorphin akan diproduksi, di mana ini mengurangi efek rasa sakit, menciptakan perasaan lega, hingga mengakibatkan kegembiraan. Kedua, lahirnya anak akan menumbuhkan rasa cinta bagi sang ibu, di mana ini akan diperkuat dengan dukungan dari sosial, seperti keluarga, kolega, hingga kepercayaan spiritual.
Singkatnya, kendatipun proses persalinan begitu menyakitkan, responden ternyata lebih mengingat akhir proses yang memberikan perasaan bahagia, sehingga menyimpulkannya sebagai pengalaman yang positif.
Kerapuhan kognisi tersebut dapat kita gunakan untuk menjawab mengapa pandemi yang justru dijadikan komoditi bisnis dapat terjadi di tengah kesulitan umat manusia.
Menimbang pada pandemi Flu Spanyol yang berakhir alami setelah dua tahun. Ini kemudian membuat pihak-pihak tertentu tidak akan terlalu mempertimbangkan dampak destruktif pandemi Flu Spanyol secara keseluruhan, melainkan berfokus pada hasil akhirnya yang memang berakhir secara alami.
Getirnya, simpulan tersebut tampaknya yang juga diadopsi pada pandemi Covid-19. Artinya, sedestruktif apapun pandemi Covid-19, virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok ini mestilah akan berakhir. Oleh karenanya, ini mendorong pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan pandemi demi keuntungan ekonomi, misalnya menjual vaksin.
Mengacu pada pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, pada kasus Indonesia saja, untuk menyuntikkan vaksin ke 160-190 juta penduduk, setidaknya dibutuhkan anggaran sebesar Rp 66 triliun.
Dengan kemampuan penularan Covid-19 yang luar biasa cepat dan sulit terdeteksi, mau tidak mau tiap negara mestilah melakukan vaksinasi untuk mencegah terjadinya penularan. Dengan pendudukan dunia yang berjumlah 7,5 miliar jiwa, tentu kita menyadari bahwa ini adalah bisnis yang begitu besar.
Gelagat bisnis ini sejak dini dapat kita lihat di pergerakan Tiongkok. Kendati belum menyelesaikan uji klinis vaksin, negeri Tirai Bambu nyatanya sudah berani menjanjikan pinjaman sebesar US$ 1 miliar atau sebesar Rp 14,6 triliun kepada negara-negara Amerika Latin dan Karibia agar dapat mengakses vaksin Covid-19. Suka atau tidak, ini tentunya mirip dengan skema bisnis Tiongkok selama ini yang memperkuat pengaruh politiknya dengan memberikan utang. Istilah diplomasi jebakan utang (debt-trap diplomacy) kemudian dilekatkan pada praktik ini.
Pada akhirnya, tentu harapan kita semua adalah solidaritas global dapat terbentuk agar pandemi Covid-19 segera berlalu. Dengan kemajuan pesat teknologi saat ini, akselerasi rentan waktu penyelesaian pandemi sudah seharusnya menjadi konsekuensi. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin umat manusia dapat berbangga dengan teknologi yang sudah dibangunnya.
Pun begitu dengan Bill Gates, bagaimana mungkin pendiri Microsoft tersebut dapat dengan santai menyebutkan bahwa pandemi akan berakhir pada akhir 2022 dengan segala investasi yang telah dilakukannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)