Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Ambisi Mobil Listrik Jokowi

Di Balik Ambisi Mobil Listrik Jokowi

Presiden Jokowi (kiri) dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) saat melihat mobil listrik di pabrik Hyundai (Foto: RMOL)

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir beberapa waktu lalu menegaskan Indonesia harus mampu menjadi pemain utama di industri mobil listrik. Sekitar akhir tahun lalu juga, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui juga sempat merayu CEO Tesla, Elon Musk untuk berinvestasi di Indonesia terutama di sektor pengembangan mobil listrik. Mengapa pemerintahan Jokowi begitu gencar mempromosikan prospek tersebut?


PinterPolitik.com

Setelah menyadari akan keterbatasan jumlah pasokan bahan bakar fosil, berbagai negara di dunia sepertinya mulai melirik teknologi kendaraan bertenaga listrik. Kendaraan tersebut memang bisa dianggap sebagai solusi untuk melepaskan ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil. 

Tak hanya di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Tiongkok, pemerintah Indonesia pun agaknya telah melirik potensi pasar mobil listrik. Sejak Agustus 2019 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sudah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. 

Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia, pemerintah nyatanya tak begitu saja melupakan program mobil listrik. Baru-baru ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memamerkan kegiatannya saat mengecek kesiapan stasiun pengisian kendaraan listrik (charging station) di Bali.

Lewat cuitannya di akun media sosial Twitter, Erick mengatakan mobil listrik memiliki banyak manfaat ekonomi. Ia bahkan menyebut dengan mobil listrik, biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan dari Jakarta-Bali hanya berkisar Rp 200.000. Ini berbanding Rp 1,1 juta jika menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak. 

Kendati secara umum disambut positif oleh berbagai kalangan, pengamat otomotif Bebin Djuana menilai persiapan menuju era kendaraan listrik membutuhkan waktu yang sangat panjang. Salah satu tantangan utamanya saat ini adalah harga kendaraan yang relatif jauh lebih mahal. 

Selain itu, meski telah menerbitkan Perpres terkait percepatan implementasi kendaraan listrik, pemerintah Indonesia sendiri hingga kini belum memiliki rencana untuk  pelarangan penjualan mobil konvensional di tahun-tahun mendatang layaknya yang sudah dilakukan negara-negara maju seperti Inggris dan Jepang

Jika memang jalan bagi Indonesia untuk menuju era mobil listrik masih panjang, lantas mengapa pemerintahan Jokowi rajin menggembar-gemborkan prospek ini? Adakah dimensi lain di balik ambisi pengembangan mobil listrik Jokowi?

Mobil Listrik untuk Siapa? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu dipetakan dulu apa sebenarnya yang memotivasi pemerintah begitu bersemangat mempromosikan kendaraan listrik. 

Bradley W. Lane dan kawan-kawan dalam tulisan mereka yang berjudul Government Promotion of the Electric Car: Risk Management or Industrial Policy? menjabarkan dua kemungkinan mengapa suatu pemerintahan gencar mempromosikan mobil listrik. Pertama sebagai tindakan risk management yang berkaitan dengan lingkungan, sementara yang kedua sebagai tindakan kebijakan industri jangka panjang. 

Meski Erick Thohir sendiri sempat menyinggung soal manfaat lingkungan terkait implementasi mobil listrik, namun faktor tersebut agaknya bukan lah tujuan utama pemerintah. Sebab bisa dibilang mobil listrik tidak akan serta merta dapat menyelesaikan persoalan polusi dan lingkungan lantaran Indonesia sendiri belum sepenuhnya mengimplementasikan pemanfaatan energi baru terbarukan.

Nah, dengan mempertimbangkan faktor tersebut, maka dapat dikatakan pengembangan mobil listrik di Indonesia memang bukan lah sebuah upaya risk management untuk memperbaiki lingkungan, melainkan lebih mengarah pada kebijakan industri jangka panjang. 

Terkait hal itu, Bradley W. Lane menyebut bahwa promosi terhadap mobil listrik bisa dipandang sebagai intervensi pemerintah untuk menguntungkan klaster ekonomi atau industri tertentu, seperti perusahaan dan organisasi. 

Lalu siapa kira-kira yang hendak diuntungkan pemerintah dari prospek pengembangan mobil listrik ini?

Jokowi Rayu AS?

Desember 2020 lalu, Presiden Jokowi dikabarkan berkomunikasi langsung dengan CEO Tesla, Elon Musk untuk mengajaknya berinvestasi di Indonesia khususnya di sektor mobil listrik dan baterai kendaraan listrik. Tesla memang merupakan salah satu produsen mobil listrik paling terkemuka di dunia. Maka dari itu menjadi wajar jika Presiden mengincar Tesla untuk berinvestasi di Indonesia. 

Kendati demikian, jika ditarik ke dimensi politik, rayuan Jokowi kepada Tesla ini bisa juga dianggap sebagai upaya untuk mengamankan dukungan dari AS. Sebab jika proyek pengembangan mobil listrik Jokowi ini berjalan mulus, keterlibatan Tesla tentu akan sangat menguntungkan posisi Washington DC di pasar penjualan mobil Indonesia yang telah lama didominasi oleh Jepang. 

Selain memiliki pangsa pasar otomotif yang potensial, Indonesia juga memiliki keunggulan lain yang kiranya dapat membuat banyak negara tergiur, yakni cadangan nikel. 

Berdasarkan data US Geological Survey, cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai pemain utama nikel dunia. Jika sudah mampu mengolah nikel menjadi baterai, bukan tidak mungkin Indonesia bakal menjadi juragan baterai kendaraan listrik di dunia.

Kendati komoditas nikel Indonesia disebut-sebut dikuasai oleh investor-investor asal Tiongkok, namun hal tersebut tampaknya tak akan jadi persoalan serius, sebab, terlepas dari Perang Dagang antara AS-Tiongkok, Tesla sendiri memiliki hubungan yang cukup baik dengan Beijing. Ini setidaknya bisa dibaca dari pernyataan-pernyataan Elon Musk yang kerap memuji-muji negeri Tirai Bambu tersebut. 

Selain itu, laporan James Kygne untuk Nikei Asia juga menyoroti sikap Tiongkok yang rela membiarkan Tesla membuka pabriknya di Shanghai kendati langkah itu diprediksi dapat membunuh produsen mobil listrik lokal. Meski begitu, Kygne dalam kesimpulannya menilai bahwa keputusan itu diambil Tiongkok untuk kepentingan memajukan industri mobil listriknya sendiri. 

Jika mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka bukan tak mungkin dalam konteks politik, ambisi Jokowi melibatkan Tesla dalam prospek pengembangan mobil listrik adalah bertujuan untuk merangkul dukungan AS. Lantas pertanyaannya, untuk apa kira-kira dukungan tersebut?

Ikuti Jejak Soeharto?

Eve Warburton dalam tulisannya yang berjudul Jokowi and the New Developmentalism mengatakan bahwa gaya pembangunan Jokowi mengingatkan dirinya pada gaya pembangunan era Orde Baru di bawah kepemimpinan  Soeharto yang bersifat pragmatis dengan retorikanya untuk memodernisasi Indonesia. 

Selama era Orde Baru, Eve menyebut misi negara adalah demi mencapai ‘modernisasi’ yang kerap didefinisikan untuk menstabilkan harga, memperbaiki infrastruktur fisik, membuat pertanian lebih produktif, dan mendorong industri. 

Dalam pidato kenegaraannya pada tahun 1990, misalnya, Soeharto menjelaskan bahwa agar Indonesia dapat memperoleh distribusi kekayaan yang lebih merata, pemerintah harus fokus pada ‘deregulasi dan debirokratisasi’. Sangat identik dengan narasi-narasi reformasi birokrasi yang kerap digelorakan Jokowi. 

Lalu jika melihat dari konteks kemiripan visi pembangunan ini, maka menjadi sangat wajar jika Jokowi kini mengincar dukungan AS, mengingat hal tersebut adalah salah satu faktor yang membuat Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun lamanya. 

Singkatnya, bisa dikatakan jika semua rencana ini berhasil, bukan tidak mungkin pengaruh Jokowi masih akan membayangi pemerintahan yang terbentuk setelah masa kepemimpinannya berakhir pada 2024 nanti. Program mobil listrik, yang tentu merupakan proyek jangka panjang, akan menjadi pintu masuk bagi Jokowi untuk memasukkan pengaruhnya tersebut. 

Dugaan Jokowi tengah mempersiapkan oligarki baru setelah kepemimpinannya juga dapat dilihat dari kedekatan mantan Wali Kota Solo tersebut dengan Partai Golkar. 

Kemesraan Jokowi dengan tokoh-tokoh senior Partai Beringin seperti Luhut Binsar Pandjaitan hingga isu yang menyebut ada pengaruh Istana dalam terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar periode 2019-2024 sepertinya bisa menjawab kendaraan politik mana yang nantinya akan digunakan Jokowi di 2024. 

Made Supriatma dari ISEAS dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s new Cabinet and the political transformation of Joko Widodo juga melihat indikasi bahwa Jokowi tengah berusaha melanggengkan pengaruhnya. Ini setidaknya tergambar dari reshuffle kabinet yang dilakukannya akhir tahun lalu, di mana Ia menghimpun banyak tokoh-tokoh potensial yang akan maju di Pilpres 2024 mendatang. 

Dari enam menteri baru Jokowi, Made menaruh perhatian khusus pada sosok Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. Bagaimana tidak? Presiden sendiri sempat secara terang-terangan menyebut Sandi sebagai sosok yang cocok menggantikan dirinya.  

Bersama dua sahabatnya, yakni Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dan juga dikoordinatori oleh Airlangga sebagai Menko Perekonomian, keempat tokoh tersebut dinilai dapat membantu Jokowi menertibkan dunia usaha dan membantunya mewujudkan visi pembangunannya. 

Berangkat dari sini, bukan tidak mungkin sosok-sosok itu lah yang memang tengah dipersiapkan Presiden Jokowi untuk meneruskan estafet kepemimpinannya setelah turun tahta di 2024 mendatang.

Kendati demikian, segala ulasan ini bersifat interpretatif yang tentunya terbuka untuk diperdebatkan. Kiranya hanyalah waktu yang bisa menjawab apakah asumsi itu akan benar-benar terwujud atau tidak. Yang jelas, manuver apapun yang dilakukan aktor-aktor politik saat ini pastinya akan memiliki konsekuensi terhadap perubahan peta politik ke depannya, termasuk agenda politik elektoral di 2024. Menarik untuk disimak kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version