Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Aliansi Cek Fakta

Kedua kubu saat Debat Pilpres perdana. (Foto: Antara)

Aliansi Cek Fakta dilahirkan oleh media-media jurnalistik untuk mengawal Pilpres 2019. Kehadirannya disebut bisa memverifikasi dan menguji klaim data yang sering diungkap oleh para kandidat. Apakah hal itu efektif untuk membantu referensi publik dan menciptakan Pilpres yang lebih berkualitas?


PinterPolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]ada tahun 1943, George Orwell menuliskan reportase perang sipil di Spanyol antara kelompok Nasionalis dan kelompok Republik.  Dalam salah satu esainya berjudul Looking Back on the Spanish War, Orwell menulis: “Sejarah berhenti pada tahun 1936”.

Kata-kata itu ditulisnya sebab selama pengalamannya di sana, Orwell tidak menemukan berita-berita di koran yang berpijak pada fakta, terutama terkait dengan berita perang.

Kalimat itu setidaknya menggambarkan bagaimana situasi di Spanyol dihiasi oleh berita hoaks sebagai sarapan tiap hari, sehingga menyebabkan seolah tidak ada harapan lagi untuk masa depan.

Kisah Orwell itu memang menunjukkan bahwa hoaks memang mengiringi tiap peradaban dan zaman. Kemunculannya selalu terkait dengan kepentingan politik tertentu, termasuk kekuasaan. Oleh karena itu, diperlukan jurnalisme yang tidak terjebak dalam pemberitaan misinformasi atau bahkan hoaks.

Inisatif dan kerja lebih keras dari berbagai pihak untuk menangkal hoaks memang diperlukan, salah satunya dari para pembuat berita (media jurnalistik). Hal itulah yang dilakukan oleh 22 media di Indonesia untuk membuat platform yang memverifikasi pemberitaan dan fakta yang beredar.

Berbagai media jurnalistik ini membentuk Aliansi Cek Fakta untuk menyaring berita yang beredar. Lebih spesifik, aliansi tersebut bekerja untuk mengawal proses Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dengan memeriksa kembali data-data yang seringkali diklaim oleh kedua kubu, baik Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dengan langkah ini, diharapkan klaim data yang kerap digunakan oleh capres-cawapres akan diuji, sehingga bisa dibuktikan kebenarannya dan terverifikasi. Hal ini juga dianggap baik bagi paslon itu sendiri karena akan meningkatkan awareness dan menyiapkan bahan secara lebih komprehensif.

Pertanyaannya adalah apakah media-media ini mampu mengawal proses Pilpres 2019 dan melepaskan diri dari kepentingan bisnis para pemiliknya, sehingga mampu membantu masyarakat untuk menentukan pilihan melalui pemberitaan yang terverifikasi?

Kinerja Aliansi Cek Fakta menarik ditunggu. Share on X

Watchdog Demokrasi

Pada era digital seperti sekarang ini memang telah terjadi banjir informasi yang tidak terverifikasi kebenarannya. Sayangnya hal itu tidak jarang diteruskan juga oleh media jurnalistik dalam memproduksi berita. Tidak sedikit media-media itu memuat agenda setting dalam upaya membangun opini publik terkait kepentingan pemiliknya, baik melalui pendekatan framing – penempatan bingkai kerangka pesan – maupun priming – mengarahkan fokus.

Berdasarkan jajak pendapat Reuters Institute, ditemukan sebanyak 59 persen penduduk dunia yang percaya bahwa misinformasi berita sengaja diproduksi sebagai fakta dan diputar atau dipelintir untuk agenda tertentu.

Meskipun begitu, saat ini sudah ada kesadaran dari perusahan media itu sendiri untuk melakukan otokritik dan menghasilkan berita-berita yang lebih terpercaya. Aliansi Cek Fakta adalah salah satunya.

Pernyataan menarik dari aliansi ini adalah bahwa sebagai motor jurnalistik, mereka memiliki kesadaran bersama dan tanggung jawab untuk menyortir dan memeriksa fakta dan karenanya menjadi lebih efektif dikerjakan bersama-sama.

Dalam konteks Pilpres, Aliansi Cek Fakta dapat menjadi watchdog atau anjing penjaga untuk mengawal proses pemilihan tersebut dan membantu publik mendapatkan “referensi” yang obyektif.

Regina Lawrence dalam Six Ways the Media Influence Election menyebutkan bahwa media jurnalistik memiliki pengaruh dalam kontestasi elektoral seperti Pilpres. Mereka bisa membentuk opini publik dengan salah satunya lewat fact checking atau cek fakta terkait konten kampanye kandidat. Lawrence menyebut media-media bisa mempertanyakan dan menguji pernyataan dari politikus dengan catatan yang dimiliki.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa media jurnalistik memiliki kekuatan dalam politik elektoral. Media jurnalistik juga memiliki peran untuk menjadikan informasi itu sumber pengetahuan yang tidak menyesatkan.

Tentu saja pada akhirnya hal itu akan menguntungkan bagi publik sebab mereka disuguhkan data yang teruji dan terverifikasi. Cek fakta bisa membantu publik melihat kualitas calon pemimpinnya dengan lebih baik.

Dalam konteks Pilpres, adanya Aliansi Cek Fakta bisa meluruskan banjir informasi yang disampaikan oleh dua kubu dan bisa membantu publik mengambil keputusan berdasarkan pemikiran yang rasional, bukan berdasarkan klaim-klaim belaka.

Sementara itu, bagi kandidat yang bertarung, hal ini akan membuat kontestasi menjadi lebih kompetitif sebab bisa menjadi pengingat bahwa publik tidak bisa dibohongi dengan data-data yang sering diungkap secara sembarangan.

Hal ini salah satunya juga akan terjadi saat debat kedua nanti. Seperti diketahui, debat menjadi salah satu ajang penting untuk menentukan pilihan. Maka, sudah seharusnya dalam forum tersebut, masing-masing kandidat tidak akan mengeluarkan pernyataan dan data yang sembarangan.

Di sisi lain, kedua kubu justru akan mempersiapkan argumen mereka dengan lebih baik dan data yang lebih komprehensif. Perdebatan antarkandidat akan lebih bernas dan berkualitas. Dengan sendirinya kualitas Pilpres secara keseluruhan pun akan meningkat.

Pertanyaannya adalah seberapa efektifkah aliansi tersebut?

Akankah Efektif?

Jika ditelusuri, Politifact adalah organisasi non partisan di Amerika Serikat (AS) yang menjadi salah satu pionir dari lahirnya budaya fact checking journalism atau jurnalisme berbasis pada pengecekan fakta. Secara khusus Politifact dibuat untuk mengawal proses kampanye Pilpres AS di tahun 2008.

Setahun berikutnya, Politifact mendapatkan penghargaan Pulitzer dalam kategori “National Reporting”. Kehadiran Politifact seolah menjadi angin segar bagi jurnalisme di negeri Paman Sam.

Namun, kemenangan Trump tahun 2016 mengindikasikan langkah mundur dunia jurnalistik di negara tersebut, bahkan cenderung menjadi kegagalan media jurnalistik untuk mengawal proses demokrasi. Fenomena Trump disebut sebagai zaman matinya kebenaran dan kejayaan kebohongan.

Trump senang membolak-balikkan kebohongan dan melahirkan apa yang ia sebut sebagai alternative fact. Di saat yang bersamaan, kemunculan Trump ini membuat polarisasi politik di AS semakin meruncing. Hal ini berkorelasi pada media jurnalistik dan pemberitaannya. Regina Lawrence menyebut kegagalan ini disebabkan oleh polarisasi politik dan ketidakpercayaan terhadap media.

Survei Gallup juga menyimpulkan bahwa hanya 32 persen masyarakat AS yang percaya terhadap media masa. Tingkat kepercayaan publik ini berkaitan dengan polarisasi politik warga AS.

Banyak di antaranya yang menganggap media-media nasional mewakili kepentingan kelompok tertentu dan memiliki inklinasi terhadap Partai Demokrat dan Partai Republik.

Hal ini tentu saja berimplikasi terhadap pemberitaan yang berdasarkan pada fakta. Dengan adanya ketidakpercayaan terhadap media jurnalistik, sulit untuk memengaruhi opini publik. Buktinya misalnya bisa dilihat dalam pemberitaan The Washington Post tentang Trump.

Meski media milik Jeff Bezos – pendiri Amazon – tersebut terhitung sudah melakukan cek fakta terhadap Trump sebanyak 1.500 kali, namun karena ada konflik kepentingan antara Bezos dan Trump, maka cek fakta yang diberitakan oleh The Wasington Post dianggap tidak begitu berpengaruh terhadap persepsi publik AS. Contoh tersebut juga mewakili relasi berbagai media dengan politikus di AS secara umum.

Dalam konteks Indonesia, jurnalisme dengan berbasis pengecekan fakta terhitung menjadi barang baru. Cekfakta.com sebagai pelopor jurnalisme jenis ini baru dirilis pada Mei 2018. Meski begitu, hal ini menjadi nada positif bagi peran media jurnaslistik di Indonesia. Berbeda dengan AS, tingkat kepercayaan publik terhadap media di Indonesia cukup baik.

Hal ini dibuktikan dalam laporan Edelman Trust Barometer Global 2018 yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia berada di urutan kedua setelah Tiongkok, dalam hal tingkat kepercayaan mereka terhadap media. Polarisasi kepercayaan juga ada pada angka positif (9) dibandingkan dengan AS di level negatif (-37). Pada saat yang sama, hampir 80 persen masyarakat Indonesia dilaporkan khawatir tentang berita palsu yang digunakan sebagai senjata.

Melalui gejala ini, bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia masih bisa menyerap pemberitaan dari media-media jurnalistik.

terhadap berita yang terverifikasi juga pada akhirnya menjadi lebih besar. Tantangannya adalah membersihkan citra partisan yang seringkali dialamatkan pada media tertentu.

Pasalnya pada 2014 lalu, media-media seperti Metro TV dan TVOne dikecam karena diangggap mendukung kandidat tertentu. Konteks ini tentu saja akan mempengaruhi persepsi publik, mengingat Medcom.id yang berafiliasi dengan Metro TV dan Viva.co.id yang berafiliasi dengan TVOne ada dalam aliansi tersebut.

Meskipun demikian, setidaknya publik bisa menyambut dengan lebih positif seraya berharap lebih banyak media lain yang menerapkan cara serupa. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A37)

Exit mobile version