Usai memutuskan menahan diri untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini tengah sibuk menyusun komposisi Dewan Pengawas yang nantinya akan mengawasi kinerja KPK berdasarkan UU No. 19 Tahun 2019.
PinterPolitik.com
“My influence run deep like the ocean” – Dr. Dre, penyanyi rap dan produser hip-hop asal Amerika Serikat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya sungkan untuk mendahului Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, meski Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atas UU No. 19 Tahun 2019 telah ditunggu-tunggu oleh banyak pihak, presiden memilih untuk menunggu proses uji materi di lembaga yudikatif tersebut.
Akibatnya, suara kekecewaan atas tetap berlakunya UU yang mengatur perubahan kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini pun meluap. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, misalnya, menyebut Jokowi kini telah berpihak pada partai-partai politik yang dianggapnya memiliki kepentingan untuk melemahkan lembaga anti-rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mungkin, suara kekecewaan ini tak terlalu memengaruhi Jokowi. Pasalnya, kini pihak Istana dikabarkan tengah sibuk menyusun siapa-siapa saja yang dianggap pantas untuk menduduki kursi-kursi Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Dewas yang nantinya berisikan lima anggota ini akan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, menentukan pemberian izin penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan, penyusunan dan penetapan kode etik, menindaklanjuti dan memeriksa laporan pelanggaran terhadap kode etik, serta evaluasi terhadap kinerja KPK.
Jokowi said he wouldn't issue a Perppu for the new KPK Law until judicial reviews at the MK were complete, citing "manners" as his reason. experts said he wasn't making any sense. my piece:https://t.co/wp0aHLdcB3
— Ardila Syakriah (@arsdila) November 3, 2019
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menjelaskan bahwa dewas tersebut rencananya akan banyak diisi oleh ahli-ahli hukum. Sejalan dengan rencana tersebut, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang juga berharap bahwa dewas yang terpilih nantinya perlu memiliki pemahaman yang mendalam mengenai proses-proses hukum dalam lembaga anti-rasuah.
Jokowi sendiri tampak terus melangkah untuk menjalankan peraturan-peraturan baru yang telah disahkan dalam UU No. 19/2019. Presiden pun berusaha untuk meyakinkan publik bahwa orang-orang pilihannya nanti merupakan figur-figur yang memiliki kredibilitas.
Tentunya, langkah Jokowi yang ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa sang presiden terlihat semakin mantap untuk menjalankan UU yang baru tersebut? Apa dampak politik yang dapat ditimbulkan dari pembentukan Dewas ini?
Peningkatan Kontrol?
Tidak bergemingnya Jokowi untuk terus menjalankan amanat UU No. 19/2019 bisa saja turut menggambarkan posisi politik sang presiden terkait Perppu KPK. Pasalnya, beberapa tokoh pendukung Perppu KPK menilai revisi UU KPK malah dapat menguntungkan posisi mantan Wali Kota Solo tersebut.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati setidaknya menjelaskan bahwa UU KPK yang baru dapat memberikan celah pada Jokowi untuk menguasai lembaga anti-rasuah tersebut. Selain presiden, siapa-siapa saja yang memiliki kedekatan dengan presiden juga dianggap dapat diuntungkan.
Boleh jadi, penguasaan ini dapat meningkatkan kontrol presiden terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Bukan tidak mungkin dengan kontrol yang meningkat ini, Jokowi dapat lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Peningkatan kontrol melalui lembaga anti-rasuah seperti ini setidaknya terjadi di Tiongkok. Pemimpin negara Tirai Bambu – Presiden Xi Jinping – merupakan salah satu presiden yang secara aktif mengampanyekan upaya pemberantasan korupsi di negaranya.
Ling Li dalam tulisannya yang berjudul Politics of Anticorruption in China menjelaskan bahwa kampanye pemberantasan korupsi yang digaungkan Xi pada periode pertamanya (2012-2017) merupakan bagian dari upaya untuk mendisiplinkan bawahan-bawahannya di Partai Komunis Tiongkok. Secara tidak langsung, kampanye pendisiplinan – melalui lembaga partai yang bernama Central Commission for Discipline Inspection (CCDI) – ini turut memperkuat kekuatan politik Xi di partai tunggal itu.
Keberadaan CCDI ini dinilai dapat meningkatkan kesetiaan dan kepatuhan politik anggota-anggota partai tunggal Tiongkok terhadap Xi. Meski begitu, rezim otoriter Tiongkok ini tidak begitu saja menghilangkan perbedaan kepentingan yang terjadi di tingkat pemerintah daerah. Beberapa komisi disiplin di tingkat daerah juga kerap tidak berjalan searah.
Guna mengontrol perbedaan-perbedaan kepentingan ini, pemerintah Tiongkok menerapkan peraturan-peraturan kedisiplinan baru yang dapat menghukum pejabat-pejabat yang tak menerjemahkan visi pembangunan Xi ke dalam kebijakan-kebijakan yang nyata.
Boleh jadi, penguasaan ini dapat meningkatkan kontrol presiden terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Share on XSelain itu, Xi memutuskan untuk menggabungkan berbagai lembaga kedisplinan di Tiongkok dalam satu lembaga utama, yakni National Supervisory Commission (NSC). Lembaga ini nantinya dapat bergerak di luar lingkup internal partai.
Jika Xi dapat memperkuat kontrolnya terhadap pejabat-pejabat di bawahnya melalui lembaga-lembaga kedisiplinan dan anti-rasuah, bagaimana dengan Jokowi? Apakah mantan Wali Kota Solo ini juga dapat menggunakan kontrolnya terhadap KPK?
Jokowi sendiri menyebutkan bahwa periode keduanya akan diisi dengan berbagai kebijakan ekonomi. Agar visi ekonominya dapat menjadi nyata, presiden disebut-sebut perlu memperkuat konsolidasi dan kontrol atas kebijakan-kebijakannya.
Apalagi, persoalan akuntabilitas politik dianggap turut menghambat kecepatan kerja para menteri. Rumitnya birokrasi penganggaran disebut oleh ahli kebijaan publik Aichiro Suryo Prabowo sebagai salah satu tantangan para menteri yang baru.
Di sisi lain, beberapa upaya – seperti pemberian hak veto terhadap menteri-menteri koordinator – disebut-sebut dilakukan oleh Jokowi untuk memusatkan kekuatan yang dimilikinya. Pertanyannya, apakah revisi UU KPK turut dapat memusatkan kekuatan Jokowi?
Kekuatan Presiden
Adanya dewas di tubuh KPK yang dipilih secara langsung oleh presiden bisa jadi merupakan perpanjangan tangan Jokowi untuk mengontrol arah penegakan hukum terhadap aktivitas rasuah. Namun, Jokowi bisa saja menghadapi tantangan tertentu.
Berbeda dengan Jokowi, Xi di Tiongkok memiliki pengaruh yang sangat luas. Bila mengacu kepada konsep kekuatan presidensial milik Richard Neustadt, pengaruhnya yang luas inilah yang menjadi kekuatan utama seorang presiden.
George C. Edwards III dalam tulisannya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency menjelaskan bahwa kunci utama kekuatan presiden tidak terletak pada otoritas legal yang dimilikinya, melainkan pada kemampuannya untuk memengaruhi banyak pihak. Pasalnya, dalam perspektif Neustadt, seorang presiden berjalan di dalam lingkungan yang pluralistis – di mana terdapat banyak aktor yang memiliki basis kekuatan dan perspektif yang berbeda dengan presiden.
Oleh sebab itu, presiden perlu memiliki pengaruh terhadap aktor-aktor tersebut. Edwards III menyebutkan bahwa perspektif Neustadt ini dapat diamati melalui relasi yang dimiliki oleh seorang presiden.
Guna menjalankan arah politik yang diinginkan, presiden perlu menjalankan pengaruhnya terhadap berbagai pihak di berbagai arena, seperti lembaga legislatif, birokrasi, staf kepresidenan, publik, media, hingga kelompok-kelompok kepentingan.
Boleh jadi, inilah yang dilakukan Xi. Dalam kampanye dan upaya pemberantasan korupsi yang digalakkan pemerintahannya, presiden Tiongkok dinilai mengandalkan figur-figur yang dekat dengannya.
Sekretaris CCDI Zhao Leji misalnya, merupakan sosok yang disebut-sebut loyal kepada Xi. Selain Zhao, terdapat juga Yang Xiadou – salah satu figur yang dekat dengan Xi – yang baru diangkat tahun lalu sebagai pemimpin NSC.
Melalui orang-orang loyal kepadanya, Xi bisa jadi tengah menjalankan kekuatan presidensial ala Neustadt miliknya. Bukan tidak mungkin, kekuatan itu dapat membantunya untuk mengkontrol kebijakan dan kesetian pejabat-pejabat di tingkat bawah.
Lalu, bagaimana dengan Jokowi? Apakah Jokowi mampu meluaskan pengaruh presidensialnya dalam KPK?
Mengacu pada konsep kekuatan ala Neustadt, Jokowi bisa jadi telah berupaya untuk menggunakan pengaruhnya yang persuasif. Sang presiden disebut-sebut telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan politik dengan para elite dan oligarki politik agar kebijakan-kebijakan ekonominya dapat berjalan.
Namun, kembali pada asumsi dasar Neustadt, lingkungan politik Jokowi tetaplah tidak seragam. Berbeda dengan Xi, Jokowi harus dihadapkan pada beberapa tantangan, seperti banyaknya aktor-aktor politik yang memiliki kekuatan besar dan lemahnya Jokowi sebagai political outsider.
Setidaknya, Jokowi dapat menyalurkan pengaruhnya dalam pemilihan pimpinan dan Dewas KPK. Namun, hingga kini, pimpinan dan dewas KPK yang baru nanti belum tentu akan berjalan di bawah pengaruh presidensial Jokowi.
Kesempatan Jokowi berikutnya adalah untuk menempatkan sosok-sosok yang dapat dipercayanya di kursi-kursi Dewas KPK – mengingat posisi pimpinan yang baru telah ditentukan. Nama-nama seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kini ramai diusulkan oleh sebagian warganet bisa saja menjadi peluang kontrol Jokowi di lembaga anti-rasuah yang baru.
Namun, kemungkinan itu juga masih belum pasti dapat terjadi. Semua kembali lagi pada bagaimana sang presiden memanfaatkan kemampuan dan pengaruhnya untuk mengajak aktor-aktor lain untuk bersama menjalankan kapal visi Jokowi.
Mungkin, seperti lirik rapper dan produser musik Dr. Dre di awal tulisan, presiden ingin pengaruhnya dapat menyebar secara mendalam, entah telah sedalam apa di dalam perarian samudera. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.