Kolom komentar akun-akun luar negeri belakangan ini seolah jadi sasaran empuk komentar netizen Indonesia. Banyak yang menilai kalau tangan lincah ini terkait dengan patriotisme buta.
Belakangan ini, sepertinya tak ada yang aman dari jempol netizen Indonesia. Rasanya, sudah banyak akun media sosial yang harus merasakan militansi warganet asal negeri ini. Tak jarang, akun-akun tersebut harus mengunci atau bahkan menutup akun.
Tengok saja bagaimana tangan lincah netizen dalam mengomentari kasus catur online antara Dadang Subur dan Levy Rozman. Baru-baru ini, akun resmi All England dan peserta-peserta dari negara lain juga jadi bulan-bulanan.
Jika dirunut jauh, akun Instagram Microsoft juga sempat jadi sasaran bombardir komentar orang Indonesia. Mungkin, ada juga yang bakal mengungkit soal komentar pedas yang dialamatkan pada Dayana, seorang selebgram asal Kazakhstan.
Kalau diperhatikan, ada nuansa yang mirip di dalam jempol-jempol teramat rajin dalam komentar tersebut. Boleh jadi, ada api nasionalisme atau patriotisme yang membara saat mereka merambah kolom komentar milik akun-akun luar negeri.
Baca Juga: Jokowi dan Ancaman McCarthyism Joe Biden
Pasalnya, ada kesan “membela negara” saat melakukan serangan ke kolom-kolom komentar tersebut. Apalagi, akun yang diserang sendiri milik pihak-pihak luar negeri. Nuansa melawan pihak asing jadi makin kentara dari gerilya para netizen tersebut.
Kondisi tersebut mungkin membuat orang bertanya-tanya, mengapa netizen Indonesia bisa begitu terbakar semangatnya untuk urusan seperti ini. Memang, dalam beberapa kasus ada pihak Indonesia yang dirugikan.
Namun, mengapa reaksinya harus benar-benar membara, membabi-buta, bak sedang berperang dengan pihak asing? Adakah sisi lain yang bisa dari jempol bagai pedang netizen Indonesia ini?
Jempol yang Militan
Kejadian beberapa waktu terakhir ini seolah mengirim sebuah pesan yang cukup terang dan jelas. Jangan macam-macam dengan netizen Indonesia kalau tak mau akun media sosial jadi sasarannya. Pesan ini pun penerimanya cukup pasti, yaitu pihak-pihak asing.
Pembaca yang mengikuti tarung catur online di platform Chess.com antara Dadang Subur alias Dewa Kipas vs Levy Rozman alias Gotham Chess mungkin sudah menjadi saksi dari hal ini. Tentu, kronologi detailnya tak perlu dijelaskan terlalu jauh di tulisan ini.
Pada intinya, Rozman harus menjadi sasaran bulan-bulanan komentar pedas netizen Indonesia. Ia mengaku bahwa setelah terjadi drama di sekitar pemblokiran akun Chess.com, ia kerap menerima komentar dengan kata-kata kasar dari warganet Indonesia.
Pada akhirnya, baru-baru ini netizen Indonesia harus sedikit menahan amarahnya kepada Rozman dan juga Chess.com. Pasalnya, setelah takluk dari Grand Master Wanita Irene Sukandar, dugaan ketidakwajaran langkah Dadang selama bermain di Chess.com di mata beberapa orang semakin kuat.
Malah, kritik netizen kini mulai beralih ke netizen itu sendiri. Banyak yang bertanya, mengapa membela Dadang dan membenci Rozman sebelum kroscek lebih jauh? Mengapa tak kritis terhadap informasi ketika melihat sesuatu bernuansa orang Indonesia vs pihak asing?
Agaknya, hal serupa juga tergambar dari kisruh dipaksa mundurnya tim All England Indonesia akibat aturan COVID-19 di Inggris. Sebelum lebih jauh, tulisan ini juga kecewa kok jagoan bulutangkis kita gagal bawa gelar juara tanpa pembuktian di lapangan. Jadi, mohon izin netizen, tahan dulu jempolnya, ya!
Baca Juga: Diplomatic Game, Menlu Retno Butuh Biden?
Meski begitu, sepertinya netizen tak sempat menahan diri untuk bergerilya di akun-akun lain. Jempol-jempol lincah itu bahkan sempat membuat akun resmi All England hilang. Lebih parah lagi, akun milik induk bulutangkis dunia, BWF sempat menerima ancaman pembunuhan. Duh!
Masih ada lagi tingkah netizen ini kalau terkait dengan kisruh All England. Ternyata, akun pemain asal negara lain yang berlaga di All England juga jadi sasaran tembak. Sampai-sampai, jagoan bulutangkis kita, Jonatan Christie harus meminta maaf.
Masih mau ditelusuri lagi? Coba ingat ketika Microsoft sempat merilis survei tentang bagaimana Indonesia tergolong ke dalam netizen yang paling tidak sopan. Kala itu, raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) sampai harus menutup komentar. Penyebabnya? Tentu komentar negatif warga Indonesia yang tak terima dengan hasil survei tersebut.
Sikap Tak Kritis
Jika diperhatikan, ada semacam fenomena yang cukup tergambar dari tangan-tangan lincah netizen Indonesia di kolom komentar. Boleh jadi, ada nuansa cinta dan bela tanah air dalam serangan gencar para warganet ini.
Pasalnya, selama ini memang kesan yang tergambar adalah ada perasaan netizen Indonesia yang tersakiti oleh pihak asing. Objek sasaran amarah, dari Grozman hingga BWF memang bukanlah pihak asal Indonesia.
Dari situ, nasionalisme dan patriotisme warganet tanah air jadi isu yang diperbincangkan. Di atas kertas, hal ini tentu idealnya adalah hal yang baik. Punya warga yang cinta pada negerinya tentu saja hal yang baik, kan?
Sayangnya, patriotisme ini belakangan justru menjadi gambaran yang tak terlalu negatif. Hal ini berlaku baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Untuk urusan catur online misalnya, cinta buta pada negeri dan wakilnya seolah membuat warga Indonesia terlihat membela pemain dengan dugaan ketidakwajaran tanpa bersikap kritis pada informasi yang menyertainya.
Dalam perkara All England, pemain kebanggaan kita harus ikut tanggung jawab dan meminta maaf karena peserta lain jadi sasaran tembak. Di luar itu, berita soal ancaman pembunuhan tentu bukan berita baik untuk disiarkan secara luas.
Yang unik tentu adalah untuk urusan survei netizen Indonesia tidak sopan dari Microsoft. Mungkin, ada yang bertanya-tanya, komentar membabi buta netizen di akun Microsoft bukankah jadi gambaran ironis dari sikap tidak sopan itu?
Patriotisme Buta
Sikap-sikap nasionalisme yang sebenarnya berujung merugikan ini mungkin membuka pertanyaan banyak orang terkait dengan fanatisme buta. Dalam konteks ini, mungkin saja ada patriotisme buta dalam setiap kata-kata netizen Indonesia di akun-akun media sosial.
Nah, secara konsep sebenarnya ada banyak yang bisa menjelaskan mengenai fenomena patriotisme buta atau blind patriotism. Untuk konteks di tulisan ini, fenomena tersebut akan dibandingkan dengan konsep patriotisme lain.
Christopher S. Parker dalam Symbolic versus Blind Patriotism: Distinction without Difference? punya perbandingan antara patriotisme buta dan patriotisme simbolis.
Patriotisme simbolis digambarkan mewakili keterikatan abstrak dan afektif kepada negara dan nilai-nilai intinya. Sementara itu, patriotisme buta jauh lebih konkret digambarkan dengan dukungan tanpa kritik untuk praktik dan kebijakan nasional.
Dari penggambaran Parker tersebut, meski belum cukup jelas, terlihat memang nuansa patriotisme buta lebih kentara. Tentu, untuk urusan simbol seperti bendera dan lagu kebangsaan, netizen Indonesia juga pasti punya rasa cinta. Namun, Parker menyebutkan unsur lain yaitu core value atau nilai inti. Di tulisannya, ia memberikan contoh kebebasan, kesetaraan, hingga individualisme untuk core value di AS.
Nah, untuk kasus komentar netizen Indonesia, adakah unsur core value yang diusung? Boleh jadi, yang tergambar adalah dukungan tidak kritis seperti pada patriotisme buta. Hal ini cukup terlihat terutama dari sikap tidak kritis warganet saat menerima informasi tentang Dewa Kipas.
Baca Juga: Menelisik Ekuivalensi Jokowi dan Joe Biden
Lebih jauh, isu patriotisme buta ini dapat pula digambarkan melalui penelitian Robert T. Schautz dan kawan-kawan dalam On the Varieties of National Attachment: Blind Versus Constructive Patriotism. Mereka membandingkan antara patriotisme buta dengan patriotisme konstruktif.
Patriotisme buta digambarkan sebagai keterikatan pada negara digambarkan dengan penilaian positif tanpa bertanya-tanya, kesetiaan, dan tidak toleran pada kritik. Sementara itu, patriotisme simbolis digambarkan dengan pertanyaan dan kritik yang diniatkan untuk perubahan positif.
Yang unik, Schautz dan kawan-kawan menyebutkan kalau patriotisme buta dekat dengan political disengagement atau pelepasan politik. Sementara itu, patriotisme konstruktif terkait dengan keterlibatan politik termasuk efikasi, ketertarikan, pengetahuan, dan tingkah laku.
Dari situ, mungkin bisa dicari sedikit dari mana sumber cinta buta netizen Indonesia di berbagai kolom komentar. Boleh jadi, ada perasaan disengaged dari mereka untuk urusan politik. Mereka mungkin merasa tak terlibat untuk urusan negara sehingga kecintaannya tak bersifat konstruktif.
Merujuk pada kondisi tersebut, mungkin saja negara belum berhasil merangkul masyarakat sehingga timbul pengetahuan dan tingkah laku yang lebih kritis dan konstruktif. Boleh jadi, tak ada nilai-nilai lain yang bisa membuat bangga selain kecintaan semata.
Tentu, ini hanya faktor kecil. Boleh jadi, unsur political disengagement ini bisa mencakup hal yang lebih luas. Misalnya, ada yang mengaitkan literasi digital dengan akses pada pendidikan dan kekayaan. Dari hal itu, mungkin ada pelepasan dari negara untuk pemenuhan pendidikan dan kekayaan.
Pada akhirnya, hal ini masih perlu ditelusuri lebih jauh. Untuk sekarang, mungkin kita harus siap untuk terus jadi saksi militansi jempol netizen Indonesia. (H33)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.