“Indonesia membutuhkan pemimpin yang visioner untuk keluar dari keterpurukan ekonomi,” ~Yoseph Umarhadi
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ada bulan Oktober 2018 nanti, Bali akan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan negara-negara anggota IMF dan Bank Dunia. Indonesiakemudian berusaha mempersiapkan acara itu dengan matang. Pemerintah diperkirakan mengeluarkan anggaran hingga 800 Miliar untuk menyelenggarakan pertemuan tahunan lembaga keuangan internasional tersebut.
Fenomena tersebut dapat menjadi indikasi menguatnya hubungan pemerintahan Jokowi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kedekatan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Bank Dunia diperkirakan jadi salah satu faktor terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Annual Meeting IMF-World Bank Oktober nanti.
Sejak tahun 1968, Indonesia sudah lebih dulu membuka diri terhadap perekonomian dunia. Hubungan mesra antara pemerintah dengan IMF sendiri sudah terjalin sejak tahun 1997 ketika Soeharto meminjam dana dari IMF sebesar 40 miliar US Dollar untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia.
IMF tak memberikan pinjaman secara gratis. Pinjaman itu diberikan dengan catatan pemerintah Indonesia bersedia melaksanakan kebijakan yang direkomendasikan oleh IMF, yakni privatisasi, pengurangan subsidi pemerintah, liberalisasi keuangan dan reformasi perbankan. Namun, bukannya bangkit dari keterpurukan ekonomi, Indonesia malah semakin terpuruk pasca menjalankan resep dari IMF.
Di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin wajah kemiskinan itu bisa terlihat karena negara-negara itu sering jadi korban dari penerapan ekonomi liberal yang ditawarkan oleh Amerika Serikat dan lembaga keuangan internasional di belakangnya.
Menyambut pertemuan tahunan IMF-World Bank di Indonesia, Jokowi harus belajar dari Tiongkok Share on XKarena keterpurukan itu, beberapa negara coba mencari jalan keluar untuk membenahi perekonomian mereka. Venezuela menawarkan sistem ekonomi sosialis sebagai alternatif sekaligus secara tegas menolak gagasan ekonomi neoliberal bentukan Amerika Serikat. Sementara di Asia, Tiongkok coba memanfaatkan peluang dari neoliberalisme ekonomi yang sedang berkembang dengan reformasi ekonomi secara bertahap. Lantas Indonesia ikut cara yang mana?
Ekonomi Alternatif “Bolivarianisme”
Pasca terpilih sebagai Presiden Venezuela pada tahun 1998, Hugo Chavez dengan tegas menyatakan bahwa alternatif bagi masa depan kemanusiaan di dunia adalah sosialisme (yang menurut istilahnya adalah Sosialisme Abad ke-21). Lewat pidato-pidatonya, Hugo Chavez kerap kali mengkritik Amerika Serikat dan lembaga seperti IMF dan World Bank karena dianggap sebagai akar dari kemiksinan di banyak negara.
Sosialisme ekonomi paling fenomenal adalah ketika Chavez menasionalisasi total seluruh perusahaan-perusahaan minyak Venezuela yang dikuasai oleh korporasi internasional untuk didistribusikan secara menyeluruh demi kesejahteraan rakyat. Kebijakan populis ini pun mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Venezuela.
Untuk kebijakan luar negeri, Chavez menolak bekerjasama dengan Amerika Serikat, IMF, World Bank hingga WTO. Bersama Presiden Kuba Fidel Castro dan Presiden Bolivia Evo Moralez Chavez membentuk lembaga kerjasama internasional alternatif bernama ALBA (Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika) sebagai tandingan dari sistem pasar bebas FTAA (Free Trade Area of the Americas) yang dibentuk oleh Amerika.
Dengan semangat Bolivarianisme, Chavez mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis yang mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Sekaligus menawarkan alternatif baru untuk membenahi ekonomi negara dari keteruerukan yang disebabkan oleh rekomendasi IMF dan Bank Dunia.
Reformasi Ekonomi Bertahap Tiongkok
Tiongkok memilih jalan berbeda dari Venezuela. Pada tahun 1978, Deng Xiaoping menggagas reformasi ekonomi Tiongkok bernama Gaige Kaifang (reformasi dan keterbukaan) dengan sistem pasar-sosialis. Terdapat empat pilar modernisasi Tiongkok yang berfokus pada pertanian, industri, teknologi, dan pertahanan.
Reformasi ini menjungkirbalikan kebijakan ekonomi sosialis ala Mao Zedong yang dianggap oleh Deng Xiaoping sebagai sumber dari kemiskinan negara. Bagi Deng Xiaoping sosialisme itu bukan kemiskinan, melainkan kesejahteraan. Reformasi ekonomi Deng Xiaoping disebut olehnya sebagai “sosialisme ala Tiongkok.” Reformasi ekonomi ke arah neoliberal tetap ditopang oleh kebijakan publik yang efektif untuk mendatangkan kesejahteraan.
Sistem ekonomi pasar-sosialis ala Deng Xiaoping dimulai dengan berfokus pada pembangunan kawasan pedesaan. Sebagai permulaan Deng Xiaoping membidik sektor pertanian untuk menanggulangi bencana kelaparan di Tiongkok. Dia mengembalikan tanah-tanah pemerintah kepada rakyat untuk dikelola secara mandiri.
Restrukturisasi ekonomi itu mampu menanggulangi masalah ini sebab produktivitas petani di Tiongkok meningkat. Peternakan pun berkembang sehingga bahan pangan mudah didapat—bahkan untuk daging babi, daging angsa, dan komoditas-komoditas lainnya.
Mulai saat itu Tiongkok mengeluarkan serangkaian kebijakan seperti reformasi fiskal, undang-undang yang mengatur bank sentral dan bank komersial. Semua aturan itu dibuat untuk mempermudah penanaman modal dan mendatangkan kesejahteraan publik.
Joseph Stiglitz mengatakan bahwa kemajuan ekonomi Tiongkok merupakan hasil dari langkah serius Tiongkok dalam berinvestasi di bidang pendidikan dan pembangunan industri. Program terpenting Deng adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK merupakan model produksi terpusat di sebuah area dengan menyasar dunia internasional sebagai pangsa pasarnya.
Deng Xiaoping membangun KEK di kawasan pedesaan yang sebagian besar penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Lambat laun pemodal asing datang sebagai investor maupun distributor. Ekonomi pedesaan bertumbuh pesat. Pemerintah lokal meraup untung dari pajak dan biaya administrasi.
Meski investor asing menjadi mayoritas pemilik pabrik, lapangan pekerjaan terbuka untuk orang-orang lokal. Tak hanya mengisi posisi sebagai buruh kasar, namun juga manajer, dan beberapa di antaranya ada yang berhasil membangun perusahaannya sendiri. Salah satu daerah yang terkenal di awal program KEK diluncurkan adalah Shenzen, lalu mengenspansi wilayah pedesaan lainnya.
Setiap desa dengan KEK itu memiliki produk industri berbeda-beda. Mulai dari industri yang fokus pada pengembangan bahan mentah, bahan setengah jadi, sampai bahan jadi seperti industri elektronik dan otomotif. KEK membuat berbagai infrastruktur seperti jalan raya, listrik, dan pelabuhan di bangun di wilayah-wilayah pedesaan itu.
Sosialisme menurut Deng Xiaoping ialah harus mendatangkan kesejahteraan, bukan justru kemiskinan. Reformasi ekonomi pasar-sosialis Deng Xiaoping adalah “sosialisme ala Tiongok” yang mengkombinasikan sosialisme dengan kebijakan ekonomi terbuka terhadap investasi asing serta aktif dalam perdagangan global.
Hasil dari reformasi ekonomi itu adalah Tiongkok yang bisa kita lihat sekarang ini. Deng Xiaoping mampu mengentaskan kemiskinan di Tiongkok. Manuver Deng selama berkuasa telah mencatatkan prestasi yang dinarasikan Caryl sebagai “program penurunan angka kemiskinan terbesar dalam sejarah umat manusia”.
Agak sulit untuk menemukan indikasi bahwa Tiongkok tetap mempertahankan sosialisme ekonomi dalam pembangunannya. Karena pola pembangunan Deng Xiaoping lebih mengarah kepada gagasan neoliberal.
Boleh jadi, ekonomi pasar-sosialis ala Deng Xiaoping ini hanya sekadar nama. Beberapa pengamat kerap menyebut bahwa ekonomi di Tiongkok cenderung mengarah kepada kapitalisme negara.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Jokowi mampu memanfaatkan peluang dari keterlibatan Indonesia di komunitas internasional?
Jokowi Menginduk Kemana?
Yoseph Umarhadi dalam buku Jebakan Liberalisasi mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang visioner untuk keluar dari keterpurukan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa baik Tiongkok ataupun Venezuela bergantung pada kecakapan pemimpin seperti Deng Xiaoping dan Hugo Chavez yang coba memperbaiki perekonomian negara melalui caranya masing-masing.
Dari penjabaran di atas, metode Jokowi dalam membangun perekonomian cenderung lebih dekat dengan reformasi ekonomi Deng Xiaoping di Tiongkok. Hal ini karena Jokowi tak sepenuhnya menolak gagasan neoliberalisme ekonomi. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia dapat menjadi bukti bahwa pemerintah Jokowi saat ini sedikit banyak mengadopsi paham ekonomi neoliberal.
Selama menjabat, Jokowi memusatkan pembangunan infrastruktur di luar pulau Jawa. Pembangunan itu didasari pada fakta bahwa pemusatan ekonomi masih terpusat di kota-kota besar di pulau Jawa.
Kebijakan populer pada era Jokowi adalah pembangunan jalan Trans Papua dari Sorong ke Merauke. Tujuan pembangunan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui pertumbuhan ekonomi. Trans Papua berguna untuk menghubungkan daerah-daerah terisolasi dengan pusat kegiatan ekonomi di Papua.
Untuk melakukan pembangunan infrastruktur itu, Jokowi membutuhkan modal yang tak sedikit. Karena itu Jokowi berusaha menarik investasi asing untuk melakukan pembangunan besar-besaran. Sejalan dengan cita-cita itu, maka pertemuan tahunan IMF-World Bank nanti adalah momentum penting bagi Jokowi untuk mempromosikan kondisi ekonomi Indonesia dan menarik minat investor untuk berinvestasi.
Jokowi juga sudah lebih dulu menunjuk mantan petinggi Bank Dunia Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dengan harapan mampu mengundang investor asing agar tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Kerap kali Jokowi juga mengarahkan para Gubernur dan Bupati agar tak mempersulit penanaman modal asing di daerah.
Selain itu, Jokowi telah membangun industri nasional di kawasan-kawasan luar pulau Jawa. Kebijakan ini mirip seperti KEK dalam program reformasi ekonomi Tiongkok. Dimana pemerintah coba mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang lewat pembangunan industri. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan sejak tahun 2015 hingga 2017, pemerintah telah membangun 10 kawasan industri di Indonesia.
Indonesia jadi Pasien Malpraktik IMF. Jangan terulang lagi — hati2 dgn SPG IMF ?? https://t.co/NNopFfoKt3
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) May 18, 2018
Kedatangan IMF-World Bank di Bali nanti tak bisa dianggap sepele. Karena dua lembaga internasional itu kerap kali punya rekam jejak buruk dalam penanganan krisis ekonomi di banyak negara. Jokowi harus menjadikan Deng Xiaoping sebagai contoh presiden yang mampu mengembangkan ekonomi pasar tanpa mengesampingkan fokus pada kesejahteraan sosial.
Apalagi pemerintahan Jokowi juga dikenal sangat dekat dengan Tiongkok dengan bukti jumlah investasi Tiongkok meningkat ke Indonesia hampir 3 kali lipat di tahun 2016 dengan nilai 2,6 miliar US Dollar.
Maka bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan ekonomi Jokowi ke depannya akan terpengaruh dari gagasan ekonomi negeri tirai bambu itu. Pertanyaannya, mampukah Jokowi memanfaatkan momentum pertemuan negara anggota IMF dan Bank Dunia untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi sosial? Atau justru malah membuat Indonesia semakin terpuruk karena terjebak pada ekonomi neoliberal? (D38)