Site icon PinterPolitik.com

Demonstrasi Ungkap Rivalitas TNI-Polri?

Demonstrasi Ungkap Rivalitas TNI-Polri

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Foto: Detik)

Hampir di setiap aksi demonstrasi, kehadiran aparat TNI selalu punya warna tersendiri. Keberadaan tentara di tengah aksi justru tak jarang menjadi ‘pendingin’ emosi massa yang tengah terlibat kericuhan dengan aparat kepolisian. Lantas apa yang menyebabkan kehadiran TNI lebih bisa diterima massa ketimbang aparat Kepolisian?


PinterPolitik.com

Publik mungkin sudah tak asing lagi dengan jargon-jargon kekompakan TNI-Polri. Hampir di setiap momen-momen skala nasional, katakanlah Asian Games 2018 ataupun Pemilu Serentak 2019, spanduk-spanduk yang mengglorifikasikan ‘Soliditas TNI-Polri’ bertebaran di sudut-sudut kota. 

Selain spanduk, kekompakan tersebut juga kerap dipertontonkan oleh kepala institusi masing-masing. Foto-foto Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Idham Azis yang tengah berpose ‘salam komando’ juga tak akan terlalu sulit ditemukan di internet.

Getirnya, realita tidaklah semanis ekspektasi. Hubungan TNI-Polri, faktanya memang tidak seharmonis yang dipertontonkan ke publik.

Di level akar rumput, aparat TNI tak jarang terlibat perselisihan dengan polisi. Misalnya dalam kasus penyerangan Polsek Ciracas, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.

Dalam insiden itu, 66 oknum TNI AD ditetapkan sebagai tersangka. Motif penyerangan yang bisa dikatakan sepele, agaknya bisa dijadikan bukti betapa rapuhnya hubungan dua institusi tersebut.

Ketua SETARA Institute, Hendardi pernah menyebut bahwa soliditas TNI-Polri sejauh ini hanyalah sebatas kata-kata manis di spanduk-spanduk para elite. Di tingkat bawah, masalah tak penting sekalipun dapat menimbulkan gesekan antarprajurit TNI-Polri.

Baru-baru ini, hubungan TNI-Polri kembali mendapat sorotan. Hal ini berawal dari video viral yang diduga merekam anggota Marinir TNI membagi-bagikan tameng ke massa aksi menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (UU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) di Jakarta beberapa waktu lalu.

Meski tak terlibat perselisihan secara langsung, namun nyatanya video yang memperlihatan aparat TNI seolah tengah ‘membantu’ para demonstran dalam melawan aparat Kepolisian tersebut bahkan sampai mendapat perhatian Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Dalam klarifikasinya, Ia membantah pihaknya tengah mencari popularitas di tengah kericuhan. Sebaliknya, Ia menegaskan TNI mendukung penuh Polri dalam penanganan aksi tersebut.

Dugaan adanya disparitas posisi TNI dan Polri sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Dalam beberapa kesempatan aksi demonstrasi yang berujung ricuh, keberadaan aparat TNI nyatanya cenderung bisa diterima oleh massa dibanding keberadaan aparat kepolisian.

Lantas apa sebenarnya yang bisa dimaknai dari fenomena ini?

Interservice Rivalry

Rivalitas TNI-Polri sebenarnya telah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat. Meski kedua institusi tersebut kerap menutup-nutupinya dengan jargon-jargon soliditasnya, sejumlah insiden yang melibatkan aparat TNI-Polri nyatanya tak bisa menutupi perseteruan tersebut.

Jacqui Baker dalam tulisannya yang berjudul A Sibling Rivalry menyebut bahwa rivalitas antara TNI-Polri terjadi sejak Kepolisian dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Menurut Baker, matra-matra lain di dalam ABRI selama ini memandang Kepolisian sebagai ‘anak bungsu’ yang korup dengan kapasitas dan visi yang sempit.

Namun sejak berpisah dari ABRI, ‘anak bungsu’ tersebut mendadak memiliki wewenang yang besar untuk menangani ancaman-ancaman internal Indonesia di era kontemporer, seperti terorisme, kekerasan komunal dan konflik separatis.

Hal ini kemudian memunculkan kecemburuan di kalangan prajurit TNI terhadap aparat Kepolisian. Dengan kata lain, Baker ingin menyebut rivalitas tersebut terjadi karena adanya perebutan “lahan subur” di bidang keamanan melalui proxies yang dimilikinya di masyarakat sipil, birokrasi, dan parlemen.

Rivalitas tersebut sejalan dengan sebuah konsep bernama interservice rivalry atau interservice competition yang dikemukakan Samuel P Huntington.

Dalam tulisannya yang berjudul Interservice Competition and the Political Roles of the Armed Services, Huntington memaparkan rivalitas di tubuh militer Amerika Serikat (AS). Ia menyebut rivalitas tersebut seringkali berujung pada perselisihan mengenai alokasi anggaran terhadap setiap angkatan.

Tak jauh berbeda dengan di AS, dalam konteks TNI-Polri, persoalan anggaran dan kesejahteraan, tak dapat dipungkiri, memang kerap menjadi isu yang terus bergulir. Ketimpangan anggaran TNI-Polri bahkan sudah terlihat dari proses penganggaran itu sendiri.

Setelah berpisah dari ABRI, alokasi untuk Korps Bhayangkara dianggarkan langsung dari pemerintah kepada institusi. Sementara proses penganggaran TNI masih dilakukan melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Padahal, TNI masih harus membagi total anggaran yang dialokasikan oleh Kemenhan untuk tiga matra, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), serta Angkatan Udara (AU).

Ketimpangan tersebut juga sudah beberapa kali mendapat sorotan parlemen. Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta misalnya. Ia menilai kecemburuan kesejahteraan bisa menjadi salah satu faktor pemicu bentrokan. Hal ini karena seseorang yang berpangkat sama di institusi TNI dan Polri bisa saja memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda.

Lalu jika memang rivalitas TNI-Polri memang tak bisa dibantah, lantas apa korelasi permasalahan itu dengan persepsi publik terhadap kedua lembaga tersebut?

Polisi dan Kepercayaan Publik

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pasca-pemisahan Kepolisian dari ABRI, Korps Bhayangkara mendapatkan mandat yang cukup besar dalam konteks penegakan hukum. Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebut tugas utama Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Berbeda dengan TNI yang tupoksinya tak bersinggungan langsung dengan masyarakat, ranah penegakan hukum Polri berada di level sipil. Hal ini membuat kerja-kerja Kepolisian memang tak bisa dipisahkan dari konteks publik.

Andrew Goldsmith dalam tulisannya yang berjudul Police Reform and the Problem of Trust menganggap kepercayaan publik merupakan bagian integral dari institusi Kepolisian. Dia bahkan menilai kepercayaan publik berperan sangat penting dalam peningkatan efektivitas serta legitimasi tindakan-tindakan polisi. Selain itu, Ia juga menilai bahwa kepercayaan publik kepada Kepolisian tak bisa dipisahkan dari kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai sejak masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Polri kerap terseret dalam kepentingan pragmatis. Hal ini kemudian membuat institusi pimpinan Jenderal Idham Azis itu tidak bisa menjaga jarak dengan kepentingan sarat politik.

Keterlibatan polisi dalam kepentingan-kepentingan politik tersebut kemudian menjatuhkan citra Korps Bhayangkara di mata publik. Ini terjadi lantaran kepentingan politik dalam setiap langkah hukum yang diambil akan terlihat lebih menonjol dibanding penegakan hukum itu sendiri.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan sentimen terhadap UU Ciptaker yang semakin menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi sedikit banyak akan turut berimbas terhadap institusi Polri. Hal ini lantaran kepercayaan publik terhadap Kepolisian tak bisa dilepaskan dari kepercayaan publik terhadap pemerintah sebagaimana diungkapkan Goldsmith.   

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa defisit kepercayaan tersebut secara tak langsung akan menguntungkan TNI karena adanya faktor rivalitas TNI-Polri sebagaimana diulas sebelumnya. Selain itu, adanya ketimpangan kesejahteraan personel TNI-Polri, hingga kehadiran tokoh-tokoh TNI, khususnya kalangan purnawirawan yang vokal mengkritik pemerintah, seperti mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo hingga tokoh kontroversial seperti Kivlan Zen tentu akan menarik simpati publik terhadap TNI.

Faktor-faktor tersebutlah yang secara tak langsung menegaskan disparitas posisi TNI-Polri di mata publik.

Namun pada akhirnya sekelumit analisis-analisis tersebut hanyalah asumsi yang disandarkan pada argumen-argumen teoretis semata. Akan tetapi, setidaknya dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa kepercayaan publik merupakan bagian integral bagi aparat penegak hukum seperti Polri.

Untuk dapat meraih kepercayaan itu, sudah seharusnya institusi Kepolisian mampu memisahkan diri dari aspek-aspek politik.  Selain itu, ketimpangan kesejahteraan antara personil keamanan bersenjata merupakan persoalan yang perlu segera diatasi untuk menghentikan konflik antar aparat-aparat negara. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version