Demo besar mahasiswa berakar pada kekecewaan atas berbagai kebijakan publik yang dinilai berpotensi merugikan banyak pihak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif dinilai telah gagal menjalankan tugasnya dalam meramu kebijakan publik yang tepat. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak menggunakan Big Data untuk meramu kebijakan publik, mengingat cara ini telah berhasil diterapkan oleh Timses Jokowi pada Pilpres 2019?
PinterPolitik.com
Mosi tidak percaya yang dinyatakan mahasiswa kepada DPR ditengarai karena pengesahan Revisi Undang-Undang (UU) KPK dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU lain yang berpotensi merugikan banyak pihak. Dengan kata lain, DPR sebagai lembaga legislatif telah gagal dalam meramu kebijakan publik yang diharapkan oleh masyarakat.
Kegagalan DPR ini tidak hanya terjadi karena minimnya pelibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan, melainkan juga karena pemerintah belum menerapkan metode yang tepat dalam menghimpun dan menganalisis aspirasi masyarakat.
Alasan metodis ini sebenarnya sangat masuk akal. Anggota DPR merupakan pemenang di setiap daerah pemilihan yang kemudian secara normatif akan sebagai penyalur suara.
Persoalannya, secara normatif, para anggota DPR terpilih seharusnya mengetahui apa saja aspirasi dan merumuskan mana aspirasi yang harus diperjuangkan. Namun, dalam praktiknya, hal tersebut benar-benar tidak terjadi.
Imbasnya, kebijakan publik yang dibahas di rapat-rapat DPR hanya berkutat pada pandangan masing-masing anggota mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Terlebih lagi, para anggota DPR adalah kader-kader yang harus menyuarakan kepentingan partainya masing-masing.
Artinya, masalah yang dihadapi adalah persoalan metodis dan integritas dari para anggota DPR. Mengenai hal ini, jawabannya sederhana, yaitu menggunakan teknologi yang disebut dengan Big Data.
Di Indonesia, Big Data sebenarnya telah diterapkan dalam politik oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Menggunakan empat mesin Big Data, sentimen-sentimen positif dan negatif dalam masyarakat dikumpulkan dan dianalisis oleh algoritma. Efeknya, strategi kampanye yang tepat dapat dirumuskan. Hasilnya terbukti, Jokowi terpilih kembali sebagai presiden.
Pertanyaannya adalah, jika Big Data berhasil diterapkan dalam Pilpres 2019, mengapa tidak juga dalam merumuskan kebijakan publik, sehingga setiap aspirasi rakyat dapat diserap?
Mengenal Big Data
Untuk mempermudah memahami Big Data, bisakah kita membayangkan berapa tera byte data yang setiap hari berlalu lalang di internet? Atau, apakah kita dapat membayangkan berapa besar sistem penyimpanan untuk menampung data yang terus diproduksi setiap hari?
Tentu sangat banyak bukan. Lalu, apakah kita dapat membayangkan mengapa internet tidak error padahal diakses oleh seluruh orang di dunia ini?
Poinnya adalah, terdapat suatu hal yang menampung dan mengolah data yang sangat banyak itu untuk kita nikmati setiap hari, itulah yang disebut dengan Big Data.
Big Data dapat dirumuskan sebagai aset informasi bervolume tinggi (high-volume), berkecepatan tinggi (high-velocity), dan beraneka ragam (high-variety) yang menuntut bentuk pemrosesan informasi inovatif yang hemat biaya untuk peningkatan wawasan dan pengambilan keputusan.
Big Data inilah yang digunakan oleh berbagai media sosial ataupun industri untuk menyimpan dan mengolah data.
Pada perkembangannya, Big Data juga digunakan untuk kepentingan politik. Caranya dengan mengumpulkan like, shared, ataupun status yang kita update untuk melihat preferensi politik. Singkatnya, segala bentuk aktivitas kita di media sosial dikumpulukan dan dianalsisis untuk melihat preferensi politik kita.
Nantinya, itu digunakan sebagai referensi dalam membuat strategi kampanye. Strategi ini yang digunakan oleh Presiden Donald Trump di Amerika Serikat pada Pilpres 2016, dan keberhasilan Brexit di Inggris.
Tidak hanya untuk kepentingan politik, Big Data juga digunakan untuk merumuskan kebijakan publik. Untuk membuat kebijakan publik tentu memperhitungkan banyak variabel. Dengan adanya Big Data, variabel yang sangat banyak itu dapat dikumpulkan dan dianalisis dengan algoritma.
Penggunaan Big Data dalam Kebijakan Publik
Giovanni Azzone dalam tulisannya Big Data and Public Policies: Opportunities and Challenges (2018) memaparkan contoh keberhasilan Big Data dalam merumuskan kebijakan publik, yaitu proyek Casa Italia dan pembangunan infstruktur pengisian daya listrik untuk kendaraan listrik di Italia.
Proyek Casa Italia adalah kebijakan pencegahan risiko yang bertujuan mengurangi kerusakan bangunan jika terjadi gempa bumi di Italia.
Pada awalnya kebijakan penguatan bangunan di Italia didasarkan pada insentif pemerintah yang diberikan kepada masyarakat yang ingin memperkuat bangunan rumah mereka.
Akan tetapi, kebijakan ini justru membebani keuangan negara karena masyarakat banyak meminta insentif untuk penguatan rumah, dan harga material yang variatif di setiap daerah membuat insentif menjadi tidak merata.
Tidak hanya itu, masyarakat yang telah menguatkan bangunannya justru menjualnya dengan harga yang tinggi. Dengan kata lain, insentif dari pemerintah Italia hanya dijadikan sebagai modal ekonomi.
Big Data kemudian digunakan untuk menganalisis 18 juta bangunan di Italia. Hasilnya ternyata bangunan yang memiliki risiko kerusakan tinggi berjumlah 550.000. Berdasarkan data ini, pemerintah Italia dapat mendistribusikan anggaran mereka untuk bangunan yang memang benar-benar membutuhkan dan mengurangi beban anggaran.
Proyek berikutnya yang menggunakan teknologi ini adalah pembuatan infrastruktur pengisian daya listrik untuk kendaraan listrik.
Pada awalnya, proyek tersebut diperkirakan memakan biaya investasi sebesar € 1 juta atau sekitar Rp 15 miliar dalam kurs sekarang. Akan tetapi, perkiraan ini ditentang oleh para pengusaha swasta dengan alasan jumlah kendaraan listrik yang beredar tidak banyak. Di sisi lain, untuk menyukseskan penjualan kendaraan listrik, harus adanya tempat mengisi daya ketika kendaraan akan atau telah kehabisan daya.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Big Data digunakan untuk menganalisis 8.000 kota di Italia dan kebiasaan mobilisasi masyarakat. Hasilnya, ternyata anggaran yang dibutuhkan hanya sekitar 20 persen dari anggaran awal, yaitu € 200 ribu – sekitar Rp 3 miliar dalam kurs sekarang.
Butuh Big Data?
Pada proyek Casa Italia dan pembangunan infrastruktur pengisian daya listrik terlihat empat manfaat dari penggunaan Big Data dalam merumuskan kebijakan publik, yakni bersifat objektif atau tanpa kepentingan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi, menghasilkan perumusan kebijakan yang tepat, dan menghemat anggaran.
Keempat manfaat tersebut sebenarnya tidak hanya dirasakan dalam perumusan kebijakan publik, tapi juga dalam strategi politik.
Pengakuan Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir yang menyebutkan bahwa dengan Big Data mereka dapat mengetahui preferensi pemilih dan dapat menentukan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk merebut hati pemilih, adalah salah satu contoh bagaimana penggunaan metode ini bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
Hal ini karena sentimen-sentimen masyarakat dalam media sosial dapat terekam secara keseluruhan, yang kemudian dianalisis dengan algoritma untuk menentukan kebijakan apa yang harus dilakukan.
Melihat keberhasilan penggunaan Big Data dalam perumusan kebijakan publik di Italia dan Pilpres 2019, timbul pertanyaan, mengapa pemerintah tidak menerapkan Big Data dalam merumuskan kebijakan publik di Indonesia?
Padahal, jika diterapkan, keempat manfaat tersebut dapat dinikmati. Di sisi lain, pemerintah akan memiliki posisi yang baik di dalam masyarakat karena menerapkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan.
Terdapat dua alasan utama atas hal tersebut, dan keduanya terkesan sangat politis.
Pertama, mark up anggaran tidak dapat lagi dilakukan jika ada Big Data.
Kedua, pemaksaan kepentingan partai politik sulit untuk dilakukan. Sudah menjadi rahasia publik, bahwa pembuatan kebijakan publik sarat akan nuansa bagi-bagi kepentingan dan bagi-bagi ekonomi.
Penerapan Big Data dalam merumuskan kebijakan publik akan membuat pemerintah terhindar dari pembuatan kebijakan yang berseberangan dengan aspirasi masyarakat seperti UU KPK, RKUHP, ataupun RUU bermasalah lainnya.
Akan tetapi, penerapan Big Data oleh DPR sepertinya belum menemukan titik cerahnya di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan kepentingan para anggota DPR yang merupakan kader-kader partai. Namun, tidak ada salahnya untuk berharap, mari menanti. (R53)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.