Maraknya gerakan mahasiswa memprotes sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) dalam dua tahun terakhir menandai kebangkitan kekuatan politik kaum pelajar. Dengan adanya dua demonstrasi besar dalam kurun waktu satu tahun terakhir, mungkinkah demonstrasi 1998 terulang?
Lengsernya Jenderal Soeharto dari kursi RI-1 22 tahun silam agaknya menjadi simpul penting bagi kaum terpelajar dalam mengubah peta politik nasional. Siapa yang menyangka seorang diktator 3 dekade dengan latar belakang militer dan politik kuat bisa terjungkal oleh serangkaian aksi pemuda dan mahasiswa?
Reformasi yang lahir dari rahim para pelajar juga menjadi titik balik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Maka tak heran sejak saat itu, julukan ‘agen perubahan’ tersemat di pundak mahasiswa, melengkapi kebesaran kata ‘maha’ yang telah disandangnya.
Setelah lama tak bersuara keras, mahasiswa agaknya mulai kembali menegaskan eksistensinya belakangan ini. Dalam dua tahun berturut-turut, gelombang aksi mahasiswa menggempur sejumlah daerah di Indonesia untuk mengamplifikasi ketidakadilan yang disuarakan masyarakat.
Dimulai pada September 2019 lalu, pengesahan revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan. Demonstrasi yang terkenal dengan jargon #ReformasiDikorupsi itu bahkan disebut-sebut menjadi gerakan mahasiswa terbesar setelah Reformasi 98.
Meski berhasil membuat parlemen menunda pengesahan RKUHP, namun sejumlah pihak menilai gerakan tersebut telah digembosi sedari awal lewat beberapa cara, mulai dari pembelokan narasi, hingga perpecahan di internal penggerak aksi.
Pengesahan Rancangan UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober lalu juga memantik gelombang protes yang sama. Ancaman pandemi Covid-19 bahkan tak mampu mengurungkan tekad mahasiswa untuk kembali bersuara lewat gerakan #MosiTidakPercaya.
Besarnya penolakan publik terhadap UU Ciptaker nyatanya masih terus bergulir hingga kini. Sejumlah elemen masyarakat masih melakukan aksi-aksi penolakan di berbagai daerah. Di sosial media, narasi-narasi yang mendorong momentum ini sebagai Reformasi jilid II bahkan mulai ramai diperbincangkan.
Lantas pertanyaannya, seberapa besar sebenarya signifikansi gerakan-gerakan mahasiswa saat ini? Akankah gerakan 1998 yang telah berhasil menumbangkan satu rezim terulang?
Sejarah Pergerakan Mahasiswa
Pergerakan kaum intelektual di Indonesia sejatinya sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Pada 20 Mei 1908 mahasiswa-mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) mendirikan sebuah wadah perjuangan dengan struktur organisasi modern pertama di nusantara, yakni Budi Oetomo.
Di saat yang hampir bersamaan, sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Belanda, termasuk dwitunggal Mohammad Hatta juga mendirikan organisasi serupa yang bernama Indische Vereeninging atau Perhimpunan Hindia. Organisasi tersebut kelak menjadi cikal bakal Perhimpunan Indonesia yang berdiri pada 1925.
Di tahun-tahun setelah itu, organisasi pergerakan mahasiswa semakin banyak bermunculan. Hingga pada 28 Oktober 1928, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) mendorong ide persatuan dan melahirkan Sumpah Pemuda.
Setelah kemerdekaan, mahasiswa dan pemuda tercatat beberapa kali melakukan pergerakan yang berhasil mengubah dinamika politik nasional. Misalnya demonstrasi yang dilakukan angkatan 66 untuk melengserkan Soekarno hingga demonstrasi angkatan 98 untuk menumbangkan Soeharto dan rezim Orde Baru-nya.
Namun setelah kondisi politik mulai stabil pasca gejolak yang terjadi di 1998, kekuatan politik mahasiswa justru perlahan mulai meredup. Meski dari waktu ke waktu mereka kerap melakukan mobilisasi dalam jumlah besar seperti saat unjuk rasa menentang pencabutan subsidi BBM di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tetapi protes-protes ini tidak banyak memengaruhi agenda politik nasional.
Edward Aspinall dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Protests Point to Old Patterns mengatakan bahwa selama dua dekade terakhir, mahasiswa tak lagi menjadi kekuatan politik yang penting.
Ia menilai hal ini terjadi lantaran mereka cenderung mengejar kepentingan dan afiliasi yang terlalu beragam dengan bergabung atau mendukung berbagai partai politik, gerakan sosial, dan kelompok aktivis yang mengisi lanskap politik demokrasi Indonesia. Hal ini membuat mereka gagal untuk bertindak secara kohesif sebagai kaum terdidik.
Namun munculnya gerakan besar-besaran menolak sejumlah rancangan produk hukum dalam dua tahun berturut-turut tampaknya menjadi sinyal kebangkitan gerakan mahasiswa. Aspinall bahkan melihat fenomena ini sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penurunan kualitas demokrasi yang terjadi di masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi).
Aspinall menjabarkan setidaknya ada dua alasan mengapa mahasiswa kembali menjadi kekuatan prominen dalam gerakan-gerakan sosial politik belakangan ini. Pertama, hal itu terjadi karena mahasiswa saat ini sudah lebih mudah dimobilisasi.
Pasca Reformasi, mobilisasi mahasiswa bisa dengan mudah dilakukan melalui Badan Eksektutif Mahasiswa (BEM). Aspinall menyebut BEM dapat dengan mudah mengkoordinasikan tindakan mahasiswa karena memiliki klaim dan legitimasi yang kuat sebagai perwakilan golongan tersebut.
Hal ini terbukti dari menonjolnya peran BEM dalam banyak gelombang protes dua tahun terakhir, serta munculnya koalisi nasional dari badan-badan ini, seperti BEM Nusantara (BEM NUS), BEM Republik Indonesia (BEM RI), dan BEM Nasionalis.
Ini sangatlah berbeda jauh dengan kondisi saat rezim Soeharto berkuasa, di mana pemerintah memberlakukan berbagai pembatasan politik di kampus melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an.
Alasan kedua mengapa gerakan-gerakan mahasiswa kembali mendapatkan signifikansinya adalah karena faktor sejarah. Ia menilai kisah aktivisme mahasiswa Indonesia di masa lalu memberikan narasi dan sumber inspirasi yang menarik bagi generasi saat ini. Apalagi mereka memang dibesarkan di era demokrasi yang merupakan warisan nyata dari gerakan Reformasi yang dipelopori oleh pelajar pada tahun 1998-99.
Lalu dengan adanya faktor-faktor tersebut, akankah mahasiswa dapat mengulangi kesuksesan gerakan di 1998?
Problem Masa Kini
Meski terlihat kembali bergairah, namun tak dapat dipungkiri gerakan-gerakan mahasiswa saat ini menghadapi tantangan baru. Tantangan-tantangan tersebut membuat pergerakan mereka menjadi rentan untuk digembosi.
Berkaca pada gerakan #ReformasiDikorupsi tahun lalu, Ollie Ward dalam tulisannya di The Asean Times menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan gerakan tersebut sulit mengulangi kesuksesan gerakan Reformasi 1998. Pertama, yakni tak adanya ‘musuh tunggal’ dalam gerakan tersebut.
Pada 1998, gerakan mahasiswa saat itu fokus untuk mencapai satu tujuan tunggal, yakni menjungkalkan Soeharto dan rezimnya. Kemunculan satu musuh bersama tersebut membantu gerakan itu untuk membangun kesatuan platform dan menggalang dukungan dari elemen-elemen lain dalam masyarakat Indonesia yang menentang ideologi Orde Baru.
Sementara pada gerakan saat ini, tuntutan para mahasiswa bersifat multidimensi dan mencakup berbagai masalah, sehingga menumpulkan gerakan dan membuatnya rentan terhadap fragmentasi. Hal inilah yang terjadi pada gerakan #ReformasiDikorupsi di mana elemen-elemen BEM yang menjadi motor penggerak pergerakan mahasiswa justru terlibat perselisihan satu sama lain.
Persoalan kedua yang berpotensi menghalangi pergerakan mahasiswa adalah internet. Meski internet dan media sosial kerap digunakan para mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah yang tengah diperjuangkan, namun di saat yang sama internet juga dapat menjadi jebakan bagi aksi-aksi mahasiswa.
Francis Fukuyama dalam tulisannya yang berjudul How to Make the Internet Safe for Democracy sudah pernah memperingatkan hal tersebut. Ia menyebut bahwa sosial media memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mengamplifikasi suara-suara tertentu, termasuk untuk kepentingan kekuatan-kekuatan yang memusuhi demokrasi.
Dalam konteks gerakan #ReformasiDikorupsi, internet faktanya telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membelokkan narasi yang semula ingin mengkritisi sejumlah produk hukum menjadi narasi penggulingan pemerintahan yang sah. Pembelokan narasi ini kemudian menimbulkan sejumlah persoalan, seperti memunculkan sentimen publik hingga perpecahan di kalangan penggerak aksi sendiri.
Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan tersebut, agaknya sulit bagi gerakan #MosiTidakPercaya untuk mengulangi kesuksesan gerakan 1998. Ambiguitas musuh dan beragamnya tujuan aksi menjadikan gerakan tersebut akan sulit menemukan konsensus bersama untuk menggapai satu tujuan.
Belum lagi, pemerintah agaknya telah memiliki pengalaman yang cukup untuk meredam aksi-aksi, seperti pada #ReformasiDikorupsi. Hal ini tentunya semakin menambah serangkaian rintangan terhadap pergerakan mahasiswa saat ini.
Namun, bagaimanapun sekelumit pemikiran-pemikiran tersebut hanyalah analisis teoretis semata yang belum tentu benar adanya. Yang jelas, kebangkitan pergerakan mahasiswa dalam konstelasi politik nasional menandakan kekuatan rakyat masih sangat hidup. Generasi muda masih menjadi kekuatan politik yang aktif dalam menjaga demokrasi negara. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.