Elite BPN menuding Demokrat kini sudah memihak Jokowi. Meski demikian, jika ditelusuri, tudingan ini boleh jadi terlampau tergesa-gesa diberikan.
Pinterpolitik.com
Perbincangan di internal koalisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pasca Pilpres 2019 tampak masih belum mencapai akhir. Selama beberapa waktu terakhir, BPN Prabowo-Sandi tampak melancarkan tudingan secara spesifik kepada rekan koalisi mereka, Partai Demokrat.
Partai yang identik dengan warna biru itu kerap dituding lebih berpihak kepada kubu lawan mereka, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Hal ini terjadi seiring dengan langkah beberapa kader Demokrat yang tak selalu sejalan dengan agenda anggota-anggota BPN.
Mendapat tudingan tersebut, Partai Demokrat langsung memberikan respons. Melalui Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon, tudingan tersebut dibantah. Menurutnya, tak ada niat dari Demokrat untuk menggerogoti kubu Prabowo-Sandi saat ini.
Lebih jauh, Jansen juga menyarankan jika BPN serius ingin memenangkan Prabowo-Sandi melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi, mereka sebaiknya menghadirkan Profesor Laode Masihu Kamaluddin sebagai saksi ahli. Diketahui, sosok Laode adalah sosok yang disebut-sebut memiliki data kemenangan Prabowo dengan persentase 62 persen.
Dalam kadar tertentu, masih sulit untuk bisa menghakimi bahwa Demokrat telah sepenuhnya berpaling dari Prabowo dan mendukung Jokowi. Oleh karena itu, perlu ditelusuri lebih jauh apa sebenarnya langkah yang tengah dijalankan partai ini dalam beberapa waktu terakhir.
Pertanyaan Keberpihakan
Gerak-gerik Demokrat beberapa waktu terakhir seperti mengisyaratkan pentingnya rekonsiliasi nasional, atau dalam kadar tertentu bisa disebut sebagai kohabitasi. Istilah terakhir sering diartikan sebagai kebersamaan dalam membentuk pemerintahan. Sayangnya, di mata beberapa elite BPN, langkah-langkah ini justru dianggap sebagai keberpihakan Demokrat kepada Jokowi.
Demokrat melalui Rachland Nasidik misalnya meminta untuk membubarkan koalisi partai dari masing-masing kubu yang bertempur di Pilpres 2019. Hal ini dianggap sebagai langkah untuk meredakan ketegangan di dalam masyarakat yang muncul pasca Pilpres yang tensinya amat tinggi.
Selain itu, sebelumnya upaya untuk membuka peluang kohabitasi dan rekonsiliasi ini boleh jadi telah terbuka dengan langkah yang diambil Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan menemui elite-elite yang ada di lingkar koalisi Jokowi. Salah satu langkah paling awal yang dilakukan adalah dengan membuka komunikasi dengan Jokowi.
Perlukah koalisi bubar? pic.twitter.com/0dZw2T5xzO
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 11, 2019
Tak tanggung-tanggung, upaya untuk merajut hubungan bahkan dilakukan pula dengan menemui keluarga Megawati Soekarnoputri, pihak yang tak terbayang bisa berbagi panggung dengan Demokrat. Di Hari Raya Idul Fitri, Megawati jadi salah satu pembesar negeri yang menjadi tujuan silaturahmi AHY dan Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas.
Dengan demikian, saran Jansen kepada BPN untuk menghadirkan Laode ke persidangan ke MK boleh jadi adalah anjuran kepada BPN untuk menyelamatkan muka mereka terkait dengan penghitungan suara versi mereka. Hal ini merujuk pada pernyataan Jansen yang menyebutkan bahwa di beberapa tempat, suara Prabowo-Sandi memang terindikasi tertinggal dari Jokowi-Ma’ruf.
Sosok Laode sendiri pertama kali terungkap melalui kiriman media sosial salah satu anggota BPN Vasco Ruseimy. Laode diperkenalkan sebagai pihak yang menjadi otak di balik munculnya angka 62 persen perolehan suara Prabowo dan Sandi.
Demokrat bisa jadi tengah mengupayakan kohabitasi Jokowi dan Prabowo, alih-alih berpihak pada satu kubu saja. Share on XJika dilihat latar belakangnya, Laode tampak memiliki jejak yang cukup panjang. Ia merupakan alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Padjajaran. Laode dikabarkan tercatat sebagai guru besar di Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo (Unhalu), Kendari dan pernah menjadi Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).
Merujuk pada sosok Laode itu, Demokrat seperti tengah mendorong BPN untuk mempersenjatai diri untuk menghadapi gugatan MK. Sosok Laode yang disebut-sebut sebagai otak perolehan 62 persen perlu dihadirkan untuk menjelaskan perolehan suara Prabowo.
Bermain di Tengah
Dalam kadar tertentu, berbagai inisiatif kader Demokrat ini tak bisa melulu dianggap sebagai keberpihakan mereka kepada kubu Jokowi-Ma’ruf. Jika dilihat dalam sisi yang berbeda, mereka seperti berusaha memainkan peran di posisi tengah untuk merekonsiliasi kubu Jokowi dan Prabowo.
Hal ini sebenarnya kembali ke kondisi yang kerap diidentikkan dengan Demokrat, yaitu sebagai partai penyeimbang atau di tengah-tengah. Kini, boleh jadi posisi tengah-tengah itu dilancarkan secara lebih aktif dalam bentuk kohabitasi, alih-alih bersikap netral tak condong ke kubu manapun.
Manuver Demokrat justru bisa diartikan bahwa partai ini condong ke kedua kubu dan berharap keduanya bisa hidup berdampingan dalam rangka kohabitasi. Hal ini tergolong penting seiring dengan banyaknya seruan kepada kedua kubu yang berkompetisi untuk melakukan rekonsiliasi.
Sekali lagi, Pak @jokowi dan Pak @prabowo, bertindaklah benar. Dalam situasi ini, perhatian utama perlu diberikan pada upaya menurunkan tensi politik darah tinggi di akar rumput. Membubarkan koalisi lebih cepat adalah resep yang patut dicoba. Gugatan di MK tak perlu peran partai.
— Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) June 9, 2019
Salah satu indikasi bahwa Demokrat masih memiliki keberpihakan kepada kubu Prabowo adalah mereka hingga saat ini belum benar-benar resmi meninggalkan BPN Prabowo-Sandi. Partai berlambang mercy ini menggunakan tanggal putusan MK sebagai acuan mereka untuk menetukan sikap ke depan. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa sebetulnya mereka juga masih memandang penting upaya Prabowo di MK tersebut.
Gagasan untuk melakukan kohabitasi sebenarnya boleh jadi hal yang masuk di akal di kondisi saat ini. Mengharapkan rekonsiliasi secara utuh dalam bentuk melebur jadi satu bisa jadi adalah harapan yang terlampau sulit diwujudkan. Oleh karena itu, hidup bersamaan, alih-alih membaur boleh jadi opsi yang paling mudah diwujudkan.
Kohabitasi sendiri lebih kurang memang dapat diartikan hidup bersama dalam satu waktu dan satu tempat. Lazimnya, istilah ini kerap digunakan untuk menggambarkan kondisi kehidupan satu atap sebuah pasangan yang tak dibalut oleh ikatan formal.
Menjadi Dewasa
Dalam tulisannya untuk Foreign Policy, Brian Klaas, assistant professor dari University College, London, menggambarkan bagaimana di Tunisia, ada sosok-sosok politisi dewasa yang memutuskan untuk menginkorporasi kekuatan-kekuatan lama yang tergeser akibat Arab Spring dalam rangka rekonsiliasi.
Klaas menggambarkan bahwa pasca Arab Spring, kepemimpinan baru di Tunisia harus menentukan bagaimana nasib orang-orang yang sempat kuat di rezim sebelumnya. Posisi mereka begitu riil, sehingga tak bisa begitu saja dilewatkan. Rekonsiliasi kemudian jadi solusinya, salah satu langkahnya bahkan memberikan posisi kepada mereka dalam bentuk kooptasi alih-alih mematikan posisi mereka sama sekali.
Merujuk pada kondisi tersebut, Demokrat boleh jadi tengah memainkan peran politisi dewasa itu di Indonesia. Sebagai partai dengan pengalaman berkuasa cukup panjang, mereka cukup memiliki jam terbang untuk memainkan peran penting dalam upaya kohabitasi pasca Pilpres 2019.
Perlukah ada cohabitation? pic.twitter.com/6wneHQ2Ucx
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 28, 2019
Terlepas dari polarisasi yang ada, massa dari Jokowi maupun Prabowo terlampau riil untuk benar-benar dihilangkan sama sekali. Tak hanya riil, massa pendukung para capres ini tergolong sangat besar terlihat dari persentase dan jumlah suara yang diraup masing-masing.
Demokrat boleh jadi melihat bahwa massa yang ada di masing-masing pihak adalah sesuatu yang tak bisa ditolak. Pihak yang menang tak boleh secara serta merta menghilangkan kekuatan itu, sehingga langkah kooptasi di Tunisia, atau dalam konteks lain kohabitasi, adalah cara yang lebih masuk akal ketimbang mengeliminasi kekuatan yang tak memenangi pertarungan secara formal.
Berbagai langkah silaturahmi Demokrat boleh jadi menggambarkan sikap mereka sebagai partai dewasa yang ingin menjadi juru kohabitasi ini. Oleh karena itu, pendekatan Demokrat ke kubu Jokowi tak bisa buru-buru dihakimi sebagai keberpihakan mereka kepada kandidat nomor urut 01 tersebut.
Pada akhirnya, patut ditunggu bagaimana peran Demokrat ini akan berjalan di waktu-waktu mendatang. Terlepas dari hal itu, dengan massa di masing-masing kubu yang terlampau besar, mengeliminasi kubu yang tak menang secara formal boleh jadi adalah langkah yang selalu menguntungkan. (H33)