Pasca mundurnya Partai Demokrat dari koalisi pendukung Anies Baswedan sebagai capres, muncul berbagai pertanyaan dan spekulasi tentang arah koalisi. Salah satunya adalah kemungkinan tiga kali secara berturut-turut Partai Demokrat tidak menyumbang kandidat di pilpres. Benarkah demikian?
Deklarasi koalisi Partai NasDem dan PKB yang mengusung calon presiden (capres) Anies Baswedan dan calon wakil presiden (cawapres) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) membuat Partai Demokrat mundur dari koalisi pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Partai Demokrat pun merasa dikhianati dan sakit hati terhadap sikap politik yang ditunjukkan Surya Paloh, Partai NasDem, dan Anies Baswedan.
Partai Demokrat mengungkapkan bahwa Anies sebenarnya sudah “melamar” Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk menjadi pendampingnya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
“Lamaran” itu disampaikan lewat sebuah surat yang ditulis tangan dan ditandatangani langsung oleh Anies.
Nama AHY yang sejak awal memang diajukan oleh Partai Demokrat menjadi kandidat kuat cawapres pendamping Anies.
Hal itu pun diakui oleh Anies dalam acara Mata Najwa bertajuk Eklusif: Blak-blakan Anies-Muhaimin yang mengatakan AHY adalah calon kuat cawapres sebelum terjadinya deadlock di Tim 8.
Tapi, nyatanya pada hari Sabtu (3/9/2023) lalu, Anies mendeklarasikan diri berpasangan dengan Ketum PKB Cak Imin di Surabaya, Jawa Timur (Jatim).
Partai berlambang bintang mercy itu pun kemudian merasa Anies dan Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh telah membuat keputusan sepihak tanpa melibatkan rekan koalisi lainnya.
Bahkan, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam keterangan persnya menyebut jika Anies tidak jujur dan tidak amanah. Ini kiranya cukup menggambarkan bagaimana kecewanya Partai Demokrat.
Kini, Partai Demokrat belum menentukan kemana arah dukungan dan mitra koalisi baru mereka dalam menghadapi Pilpres 2024.
Jika menjelang waktu pendaftaran capres-cawapres Partai Demokrat tidak kunjung menemukan rekan koalisi, Partai Demokrat tak bisa mengusung AHY sebagai cawapres.
Bukan hanya itu, tapi juga tiga kali berturut-turut atau hattrick mereka tidak mengikutsertakan kader dalam kontestasi pilpres setelah 2014 dan 2019 tak bekoalisi dengan siapa pun dan tidak ada nama capres atau cawapres dari Partai Demokrat.
Seandainya skenario ini terjadi, maka hal itu adalah sebuah ironi bagi partai politik (parpol) sebesar Partai Demokrat.
Lantas, bagaimana skenario jika Partai Demokrat benar-benar hattrick tidak ikut pilpres?
Sebuah Ironi?
Kejadian yang terjadi antara Partai Demokrat dan Anies dalam dinamika pilpres kali ini kiranya merupakan perlakuan cukup memalukan bagi parpol seperti Partai Demokrat yang seolah tidak dianggap penting kontribusi dan suaranya.
Ditambah lagi adanya kemungkinan tiga kali berturut-turut mereka tidak ikut pilpres jika tidak segera menentukan arah koalisi dan dukungan menghadapi Pilpres 2024.
David Lacey dalam tulisannya yang berjudul The Role of Humiliation in Collective Political Violence menjelaskan jika perlakuan dipermalukan atau humiliation dapat merusak aspek psikologis yang berupa hilangnya kepercayaan diri, harga diri atau self-esteem, dan sebagainya.
Faktor-faktor itu nyatanya sangat penting bagi kebutuhan psikologis siapapun, tak terkecuali juga bagi aktor politik.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, deklarasi Anies dan Cak Imin sebagai pasangan capres-cawapres untuk Pilpres 2024 adalah kejadian yang cukup memalukan bagi Partai Demokrat.
Hal itu karena Partai Demokrat adalah salah satu parpol yang sejak awal mendukung Anies menjadi capres.
Bahkan, sampai beberapa hari sebelum deadline yang disepakati parpol Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tanggal 3 September untuk mendeklarasikan pasangan capres-cawapres, nama AHY masih menjadi kandidat kuat pendamping Anies.
Namun, pada akhirnya Partai Demokrat ditikung oleh PKB yang berhasil mencalonkan sang Ketum Cak Imin menjadi cawapres Anies.
Padahal, saat itu PKB merupakan parpol yang baru bergabung dan mendukung Anies sebagai capres.
Selain itu, kembali, Partai Demokrat adalah salah satu parpol yang cukup besar dan berpengaruh di Indonesia. Partai Demokrat pernah menjadi partai penguasa selama 10 tahun.
Dengan kejadian ini, semua kontribusi dan pengaruh Partai Demokrat seolah tidak dianggap penting dalam mendukung Anies sebagai capres selama ini.
Jika dilihat lebih jauh lagi, mungkin saja nama AHY bukan nama yang dianggap dapat mendongkrak suara Anies dalam Pilpres 2024 nanti.
Kiranya ini bisa dikatakan sebagai political humiliation sebagai sebuah kejadian yang cukup memalukan bagi Partai Demokrat. Mengingat, AHY adalah salah satu kader terbaik Partai Demokrat dan digadang-gadang menjadi pewaris sosok SBY.
Segala kejadian ini, tampaknya akan menjatuhkan mental sebelum bertanding para petinggi dan kader Partai Demokrat yang sudah sejak awal mendorong majunya AHY menjadi cawapres Anies.
Partai Demokrat kiranya harus segera menemukan solusi dan menyusun ulang strategi mereka dalam menghadapi Pilpres 2024 nanti.
Termasuk, menentukan arah dukungan dan mitra koalisi baru yang bisa memberi peluang posisi cawapres untuk AHY.
Lalu, apa yang harus dilakukan Partai Demokrat dalam waktu yang sempit menjelang pendaftaran capres-cawapres? Kemana harusnya Partai Demokrat menentukan arah koalisi?
PDIP Adalah Solusi?
Tak ubahnya seperti matematika, politik adalah dunia yang penuh dengan kalkulasi untuk dapat memenangkan kontestasi dan mencapai tujuan.
Segala kemungkinan dan skenario dalam politik harus diperhitungkan dengan matang agar tak salah dalam mengambil langkah politik.
Hal ini harus diperhatikan oleh Partai Demokrat dalam menentukan arah koalisi jelang Pilpres 2024 agar tujuan menjadikan AHY sebagai cawapres dapat tercapai.
Terkait hal itu, Robert Axelrod dalam bukunya yang berjudul The Evolution Cooperation menjelaskan adanya konsep Prisoner’s Dilemma atau Dilema Tahanan.
Robert menjelaskan aktor politik sering kali terjebak Dilema Tahanan yang berarti dua tahanan di penjara yang menciptakan kerja sama di tengah situasi yang menuntut mereka menjaga eksistensi diri.
Situasi ini tampaknya sedang dialami oleh Partai Demokrat, waktu yang semakin sempit seakan memaksa Partai Demokrat segera menetukan arah koalisi mereka.
Saat ini tersedia dua kandidat lain yang masih belum menentukan sosok cawapres, yakni Ganjar Pranowo dari PDIP dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.
Nama pertama tampaknya menjadi opsi yang pantas dipertimbangkan untuk membuka peluang AHY menjadi cawapres, sekaligus mencegah terjadinya hattrick Partai Demokrat tidak ikut pilpres.
Peluang itu tampaknya masih terbuka karena sampai saat ini PDIP belum menentukan siapa nama cawapres pendamping Ganjar.
Selain itu, koalisi yang di bangun PDIP tidak terlalu banyak partai besar yang mempunyai ego besar seperti koalisi pendukung Prabowo Subianto.
Sejauh ini, hanya PPP yang merupakan parpol parlemen yang sudah menyatakan untuk mendukung Ganjar dalam Pilpres 2024.
Kemudian, berbeda dengan Partai Demokrat yang menghidari hattrick, PDIP justru sedang mengincar hattrick kemenangan dalam Pilpres 2024 kali ini setelah berhasil memenangkan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 lalu.
Dengan bergabungnya Partai Demokrat dalam koalisi PDIP kiranya akan menjadi sebuah amunisi yang sangat berarti untuk memenangkan Ganjar. Apalagi, jika terjadinya skenario AHY menjadi cawapres Ganjar.
Hal itu akan menimbulkan perspektif positif di masyarakat karena kedua parpol berhasil menekan ego mereka atas konflik yang terjadi di masa lalu.
Skenario AHY menjadi cawapres Ganjar bukanlah hal yang tidak mungkin. Beberapa kali AHY sudah melakukan pertemuan dengan Puan Maharani dan membuka peluang kedua parpol berkoalisi.
Hal itu pun sudah diakui langsung oleh Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY bahwa PDIP lewat Puan sudah mengajak Partai Demokrat untuk bergabung dengan koalisi pendukung Ganjar.
Well, menarik untuk ditunggu bagaimana langkah Partai Demokrat selanjutnya untuk menghadapi Pilpres 2024, sekaligus mencegah hattrick tidak ikut pilpres. (S83)