HomeNalar PolitikDemokrat Atau PKS, Prabowo Gamang

Demokrat Atau PKS, Prabowo Gamang

Jelang pembukaan pendaftaran calon presiden, Prabowo Subianto masih kebingungan mencari pendamping. Antara Demokrat dan PKS mana yang lebih menguntungkan?


PinterPolitik.com

“Dalam berkoalisi, terkadang bisa saja mereka membangun opininya sendiri, namun tak mungkin selalu mendapatkan apa yang diinginkan.” ~ Sir Winston Churchill

[dropcap]S[/dropcap]aat menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris (periode 1940-1945), Sir Winston Churchill bukanlah seseorang yang disukai oleh para politikus lainnya. Bahkan Raja George VI yang saat itu berkuasa, sempat meragukan kemampuannya memimpin negara. Terlebih karena saat itu Inggris tengah berperang melawan Nazi Jerman.

Sehingga Churchill sangat paham bahwa dalam berpolitik, semua yang diinginkan belum tentu akan selalu tercapai. Bahkan keputusan-keputusannya pun kerap dipertanyakan dan dipertentangkan. Pernyataan pria yang meninggal tahun 1965 di usia 90 tahun ini, sepertinya kini pantas diberikan pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sebagai mitra koalisi yang telah membuktikan kesetiaannya, PKS tentu sangat berharap di Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti akan dapat mendampingi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden (Cawapres). Apalagi partai berlambang padi dan bulan sabit ini juga sudah menyerahkan sembilan nama kadernya sebagai alternatif.

Walau sempat menyebutkan kalau Ahmad Heryawan (Aher) – salah satu kader PKS dari sembilan nama tersebut – dipertimbangkan sebagai cawapres oleh Prabowo, namun belakangan terdengar pula kabar kalau Prabowo tengah melirik Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapresnya.

Wacana ini sendiri, sempat mendapatkan penolakan dari anggota Majelis Dewan Syuro PKS, Tifatul Sembiring yang menyatakan kalau cawapres Prabowo harus dari PKS dan merupakan harga mati. Namun bagi Presiden PKS Sohibul Iman sendiri, wacana Prabowo-AHY hanyalah salah satu bagian dari proses koalisi yang dinamis.

Belakangan, elektabilitas AHY memang tengah menanjak terutama di kalangan anak muda. Meski begitu, tak sedikit yang mempertanyakan kombinasi militer-militer ini, salah satunya dari Partai Amanat Nasional (PAN). Menurut Ketua DPP PAN Yandri Susanto, selain memiliki latar belakang sama, chemistry antara Gerindra dan Demokrat juga masih belum terbangun.

Manuver Jaring Suara

“Hal terburuk yang bisa dilakukan adalah membiarkan koalisi menentukan apa misi partai Anda.” ~ Donald Rumsfeld

Sebagai mantan menteri pertahanan AS yang menjabat dalam dua periode berbeda, pengabdian Rumsfeld pada Presiden George W. Bush saja yang membuat dirinya memutuskan mundur dari kabinet, akibat ketidaksepahamannya dengan sang presiden mengenai keberlangsungan perang Irak.

Bagi Rumsfeld, hubungan koalisi harus disertai dengan kesamaan atas visi dan misi yang akan dituju bersama. Sehingga ia pun memutuskan mundur, karena Bush masih tetap pada pendiriannya untuk terus menggempur Irak, sementara Rumsfeld sendiri mendapat tekanan kuat dari rakyat yang tidak setuju dengan perang tersebut.

Begitu juga dengan koalisi antar parpol, seharusnya didasari dengan tujuan yang sama sehingga tidak mudah pecah di tengah jalan. Berdasarkan Teori Koalisi William Riker, koalisi memang memiliki dua tujuan, yaitu koalisi karena persamaan kebijakan (policy seeking) dan koalisi yang hanya mengutamakan kekuasaan (office seeking).

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Sayangnya, parpol di tanah air kebanyakan membangun koalisi hanya untuk tujuan mendapatkan kekuasaan semata. Namun menurut Arend Lijphart, koalisi yang diciptakan untuk meraih kekuasaan ini, memang sangat umum digunakan oleh negara-negara yang memiliki multipartai seperti Indonesia.

Karena tujuannya untuk mendapatkan kekuasaan, maka koalisi yang terbentuk biasanya didasarkan pada elektabilitas kandidat yang akan diusungnya. Sehingga tak mengherankan bila Jokowi memiliki koalisi partai pendukung cukup banyak, mengingat elektabilitasnya yang jauh lebih tinggi bahkan dari Prabowo sekalipun.

Untuk mengimbangi elektabilitas rivalnya inilah yang kemungkinan besar menjadi alasan Prabowo untuk menggandeng AHY, sebagai cawapres. Keputusan ini tentu sifatnya pragmatis, sebab belakangan elektabilitas AHY dinilai cukup tinggi sebagai cawapres, yaitu 3,8 persen (berdasarkan Survei Median) mengalahkan Anies Baswedan yang hanya meraih 2 persen.

Sikap Prabowo yang kembali mendekat ke Demokrat ini, menurut Riker, bersifat policy blind coalition atau koalisi yang terjadi tanpa didasari atas kesamaan visi dan hanya menitikberatkan pada kemungkinan mendapatkan suara yang lebih besar (electoral coalition), mengingat kesembilan kader PKS yang ditawarkan belum tentu mampu mendongkrak elektabilitasnya.

Dengan masuknya Partai Demokrat, tipe koalisi oposisi yang awalnya lebih cenderung bersifat minimum size coalition bergeser menjadi ke arah barganing proposition. Yaitu koalisi yang awalnya terjadi atas keinginan saling melengkapi suara partai, menjadi koalisi yang terbentuk atas adanya negosiasi pembagian kekuasaan (koalisi transaksional).

Peta Kekuatan Demokrat vs PKS

“Sangat beralasan bila dalam koalisi antar partai lebih menekankan pada berapa banyak suara yang akan diraih masing-masing partai.” ~ George Osborne

Saat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa yang terkenal dengan istilah British Exit (Brexit), beberapa senator dari Partai Konservatif langsung mengundurkan diri karena tidak setuju dengan keputusan Perdana Menteri Theresa May. Senator muda George Osborne merupakan salah satu yang ikut melakukannya.

Pengunduran dirinya ini, menurut Osborne, merupakan bukti bahwa suara masyarakat adalah yang terpenting dalam politik. Begitu juga bagi Gerindra – khususnya Prabowo – dalam menghadapi Pilpres tahun depan. Apalagi, baik Gerindra dan Demokrat memiliki kesamaan yang bisa saling melengkapi, yaitu Gerindra punya capres, sementara Demokrat hanya punya cawapres.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Sebagai partai menengah, Partai Demokrat memang saat ini memiliki lebih banyak suara di legislatif ketimbang PKS. Namun berkaca pada hasil Pilkada Serentak lalu, kekuatan PKS terbukti telah berkembang jauh lebih besar dari Demokrat. Apalagi PKS juga memiliki mesin partai yang mampu menggerakkan massa, yaitu Persaudaraan Alumni 212 dan kedekatannya dengan FPI.

Mesin politik PKS ini sendiri, telah terbukti berhasil “melumpuhkan” Jakarta serta meningkatkan elektabilitas cagub Gerindra di Jateng dan Jabar. Di Pilkada Serentak lalu, PKS juga telah membuktikan mampu menang di tujuh provinsi dengan tiga gubernur dan satu wakil gubernur terpilih merupakan kader internal partai.

Sementara Partai Demokrat hanya meraih kemenangan di lima provinsi, dengan satu wakil gubernur terpilih saja yang merupakan kader internalnya. Apalagi di Jatim, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak – gubernur dan wakil gubernur terpilih yang diusung Demokrat, malah mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi.

Berdasarkan peta kekuatan PKS yang jauh lebih besar dari Demokrat maupun Gerindra sendiri, membuat Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera yakin kalaupun Prabowo ingin menggandeng AHY sebagai cawapresnya, PKS akan tetap mendapat jatah kursi menteri yang lebih besar andai menang nanti.

Secara terbuka, Mardani memang telah memberikan gambaran kasar akan hitung-hitungan jatah menteri. Ia menuntut, bila Prabowo mengambil cawapres dari partai lain, maka jatah menteri PKS harus ditambah tiga kursi. Terutama di kementerian yang ia sebut sebagai kementerian utama dengan grade A.

Tindakan PKS yang telah menentukan jatah kekuasaan ini, tentu akan menjadi politik sandera bagi Gerindra. Menurut Pengamat Kebijakan Publik Chazali H. Situmorang, politik sandera bertujuan untuk melemahkan lawan. Dalam hal ini, membuat Gerindra berkeharusan mengikuti keinginan PKS dengan melakukan barter kekuasaan atau politik transaksional.

Di pihak lain, dominasi PKS dalam koalisi oposisi juga secara tak langsung akan merugikan Demokrat. Walaupun AHY berada di posisi cawapres, namun dengan banyaknya menteri PKS yang menguasai kementerian strategis, tentu tidak akan memberikan banyak pilihan bagi Demokrat, bahkan bagi AHY sendiri.

Namun seperti apa yang telah dikatakan Churchill sebelumnya, dalam berkoalisi partai di dalamnya tak akan mungkin selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Meski begitu, elektabilitas AHY sangat mungkin membantu mendongkrak suara Prabowo, apalagi bila diimbangi dengan gerakan masif dari mesin politik milik PKS. Sehingga apapun hasilnya, memang layak dicoba. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...