Site icon PinterPolitik.com

Demokrasi Perkeruh Situasi Habib Rizieq?

Demokrasi Perkeruh Situasi Habib Rizieq?

Habib Rizieq Shihab (foto: Waspada Online)

Sejak 2017, Indonesia mengalami masalah serius politik identitas, khususnya setelah Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi pusat perhatian politik. Saat ini, kepulangan HRS tampaknya memperkeruh situasi politik yang ada. Lantas, mungkinkah demokrasi adalah sumber masalah tersebut?


PinterPolitik.com

“But it is hard to see how the discarding of liberal values is going to lead to anything in the long term other than increasing social conflict and ultimately a return to violence as a means of resolving differences.” – Francis Fukuyama, dalam Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right (2020)

Ada fenomena menarik dari salah satu media terbesar Indonesia, yakni Kompas dalam menanggapi isu Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 17 November 2020, Kompas memuat berita dengan judul, “Negara Tak Boleh Kalah”. Berita itu terkait kerumuman massa HRS dan Front Pembela Islam (FPI) yang telah melanggar protokol kesehatan (prokes) Covid-19.

Menariknya, pada 2 Juni 2008, Kompas juga memuat berita dengan judul yang sama. Saat itu, tim editor Kompas mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar negara tidak boleh kalah dengan perilaku-perilaku kekerasaan. Pernyataan tersebut merujuk pada insiden kekerasan oleh kelompok massa FPI kepada kelompok massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Unik memang, Kompas kembali menggunakan judul yang sama setelah 12 tahun untuk menjelaskan posisi HRS dengan negara. Ihwal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa kemunculan HRS bukanlah semata-mata disebabkan oleh peristiswa penggulingan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dari kursi DKI-1.

Namun, memang harus diakui juga, sejak 2017 HRS yang menjelma menjadi magnet politik telah mengakumulasi dan memperdalam politik identitas di tengah masyarakat. Seperti namanya, politik identitas adalah benturan antar identitas untuk mendapatkan pengakuan yang lebih secara politik.

Sadar akan dalamnya masalah tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai merangkul Prabowo Subianto masuk ke dalam kabinet untuk menurunkan tensi pembelahan politik. Namun, seperti yang diketahui, usaha tersebut tampaknya tidak begitu memberikan pengaruh yang signifikan.

Mengacu pada demokrasi, di mana langkah represif keras tidak boleh dilakukan seperti di negara otoriter, mungkinkah sistem politik tersebut yang mengganjal Presiden Jokowi dalam menangani kasus HRS?

Tantangan Demokrasi Liberal

Francis Fukuyama dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right (2020) memberikan pemetaan menarik terkait tantangan demokrasi, khususnya demokrasi liberal dewasa ini. Menurutnya, demokrasi sedang ditantang oleh negara-negara otoriter seperti Rusia dan Tiongkok yang memanipulasi atau mengabaikan pemilu yang bebas dan adil. 

Namun, ancaman yang lebih berbahaya justru dilihat Fukuyama dari negara yang telah menjalankan demokrasi liberal. Saat ini, pemimpin populis justru terpilih melalui skema pemilu. Mereka menggunakan legitimasinya untuk menantang atau merusak institusi liberal.

Di sini Fukuyama mencontohkan Viktor Orbán dari Hongaria, Narendra Modi dari India, dan Donald Trump di Amerika Serikat (AS) sebagai pemimpin yang telah mencoba untuk merusak independensi peradilan dengan mengemas pengadilan sebagai pendukung politik, secara terbuka melanggar hukum, hingga berusaha mendelegitimasi media arus utama.

Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa demokrasi dan liberal(isme) adalah dua entitas yang berbeda. Dalam pemerintahan, demokrasi mengacu pada pertanggungjawaban mereka yang memegang kekuasaan politik melalui mekanisme seperti pemilu multi-partai yang bebas dan adil.

Sementara liberal mengacu pada aturan hukum yang membatasi kekuasaan pemerintah dan mengharuskan, bahkan aktor yang paling berkuasa dalam sistem untuk beroperasi di bawah aturan umum yang sama seperti warga negara biasa.

Dengan demikian, demokrasi liberal mengacu pada pemerintahan yang memiliki sistem pengawasan dan keseimbangan konstitusional yang membatasi kekuasaan para pemimpin terpilih.

Fukuyama hendak menegaskan bahwa apa yang kita sebut dengan demokrasi dewasa ini sebenarnya mengacu pada demokrasi liberal. Merujuk pada sejarahnya, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno, sekitar tahun 508-507 sebelum Masehi.

Sedangkan liberalisme adalah -isme yang baru muncul di Eropa pada akhir abad ke-17 dan 18 sebagai respons atas perang agama dan reformasi Protestan. Ini disebut sebagai liberalisme klasik. Menariknya, Fukuyama menyebut liberalisme sebagai solusi kelembagaan untuk masalah pengaturan keragaman. Ini adalah sistem untuk mengelola keanekaragaman secara damai dalam masyarakat majemuk.

Menurut Fukuyama, prinsip paling mendasar liberalisme adalah toleransi, dan batasan toleransi adalah ketika prinsip toleransi itu ditentang. Liberalisme dilihat sebagai alat pragmatis untuk menyelesaikan konflik di masyarakat yang beragam dan mereka yang mencoba mendapatkan pengakuan politik yang lebih dari yang lainnya – tidak jarang berujung pada kekerasan.

Di sini, Fukuyama memberikan penjelasan penting, kendati liberalisme terhubung dengan demokrasi, namun pemerintahan dapat menjadi liberal tanpa perlu menjadi demokratis. Jerman pada abad ke-19, Singapura dan Hong Kong pada akhir abad ke-20 adalah contoh dari negara liberal yang tidak demokratis. Sedangkan contoh negara demokrasi yang tidak liberal adalah pemerintahan Viktor Orbán dan Narendra Modi.

Nah, mengacu pada tesis bahwa liberalisme dapat menjadi alat penting untuk menjawab tantangan politik identitas, dengan kondisi politik global yang telah menerima penyebaran nilai-nilai liberal, mengapa dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), Fukuyama justru menyebut politik identitas adalah masalah besar demokrasi liberal saat ini?

Dalam tulisannya, Fukuyama memberikan dua jawaban atas keanehan tersebut. Menurutnya, liberalisme tengah mengalami ketidakpuasan global karena dua hal, yakni ekonomi dan budaya. Dari segi ekonomi, bertemunya liberalisme dan kapitalisme (menjadi ekonomi liberal), justru telah berkonsekuensi pada ketimpangan luar biasa, dan munculnya oligarki yang memiliki pengaruh yang luar biasa.

Lalu dari segi budaya, dengan prinsip toleransi atau kebebasan dalam menentukan pilihan, itu membuat liberalisme menjadi -isme yang tidak memberikan pedoman hidup kepada masyarakat. Imbasnya, kekosongan nilai yang terjadi di masyarakat liberal sering kali diisi oleh konsumerisme, budaya pop, atau aktivitas acak yang kerap kali tidak mengarah pada pertumbuhan manusia.

Pada kesimpulannya, Fukuyama menyebut liberalisme sedang mengalami krisis besar saat ini. Masalah liberalisme adalah -isme ini bekerja perlahan melalui musyawarah dan kompromi, dan tidak pernah mencapai tujuan keadilan sosial atau komunal sepenuhnya.

Mengacu pada krisis tersebut, haruskah Presiden Jokowi mengevaluasi demokrasi, khususnya nilai liberal di dalamnya, di mana ini membuatnya dapat menggunakan tindakan yang dapat mengabaikan hak kelompok tertentu?

Membedah Kesalahpahaman

Irianto Wijaya dalam tulisannya APA YANG SALAH DENGAN DEMOKRASI? (2008) memberikan ulasan yang begitu menarik tentang kritik yang sering ditujukan terhadap demokrasi. Menurut Irianto, para pengkritik demokrasi kerap terjebak dalam category-mistake atau kekeliruan kategoris.

Irianto melihat demokrasi sebagai suatu ideal akan tatanan masyarakat. Oleh karenanya, jika ingin mengkritiknya, maka harus ditunjukkan bahwa demokrasi bermasalah sebagai suatu ideal atau secara teoretis, dan bukannya diserang melalui aspek aplikabilitas, seperti kegagalan dalam penerapannya.

Dalam tulisannya, Irianto memahami demokrasi sebagai rekognisi (pengakuan) akan kesetaraan hakikat antar-manusia, yang mana tidak ada orang yang ditakdirkan superior ataupun inferior dari orang lain, sehingga dengan sendirinya tidak ada alasan yang bisa membenarkan orang untuk mengontrol secara paksa kehidupan orang lain. Bertolak dari penjabaran tersebut, jelas sekali Irianto merujuk pada demokrasi liberal.

Menurut Irianto, serangan terhadap demokrasi sering kali berkutat pada aspek aplikabilitas, yang karena sulit diterapkan, kemudian menyimpulkan demokrasi sebagai ide yang tidak cocok, atau bahkan salah.

Mengacu pada penjelasan Irianto, boleh jadi Fukuyama juga terjebak dalam kekeliruan kategoris semacam itu. Pertama, pada persoalan mengenai ekonomi, ketimpangan yang terjadi sebenarnya bukanlah buah dari ekonomi liberal, melainkan karena pasar sempurna seperti yang dibayangkan Adam Smith belum terjadi sampai saat ini.

Kedua, pada masalah budaya, filsuf pragmatisme AS, Richard Rorty telah memberi jawaban atas masalah tersebut. Menurut Rorty, diversitas budaya dan rasionalitas dalam masyarakat yang diakui oleh liberalisme tidak harus berkonsekuensi pada relativisme, melainkan dapat menuju solidaritas (solidarity).

Artinya, besar kemungkinan Fukuyama bertolak atas persoalan aplikabilitas, karena pada simpulan tulisannya sendiri, Ia tetap menyebutkan bahwa sulit membayangkan ideal lain selain liberalisme untuk menjawab masalah keberagaman masyarakat.

Setelah memahami kekeliruan kategoris tersebut, kita sekarang akan menjawab pertanyaan di awal tulisan. Nah, pada kasus HRS apakah masalahnya terletak pada demokrasi – atau demokrasi liberal jika mengacu pada Fukuyama?

Sepertinya tidak. Pasalnya, jika demokrasi liberal benar-benar diterapkan, fenomena HRS dan FPI justru tidak akan muncul. Seperti yang kerap diutarakannya, HRS menyebut gerakannya bertolak dari ketidakadilan politik dan ekonomi.

Artinya, fenomena HRS sebenarnya adalah konsekuensi dari ketidakmampuan negara dalam memenuhi kewajibannya dalam menyejahterakan masyarakatnya. Lagipula, sampai saat ini berbagai studi sudah memaparkan, alih-alih bergerak maju, penerapan demokrasi di Indonesia justru mengalami tren kemunduran.(R53)

Exit mobile version