Site icon PinterPolitik.com

Demokrasi Indonesia Keteteran Kapitalisme?

Presiden Joko Widodo (Foto: IDN Times)

Permasalahan kualitas demokrasi di Indonesia tidak henti-hentinya dibicarakan. Bahkan, sebagian pihak mulai menuding Indonesia telah menjadi negara oligarki. Mengapa isu ini kerap menghantui setiap kebijakan yang ditetapkan di Indonesia?


PinterPolitik.com

Pada tanggal 20 Oktober 2021, Indonesia memperingati dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Pemerintah melalui dokumen Capaian Kinerja 2021 menyampaikan sejumlah prestasi yang berhasil ditoreh oleh Kabinet Indonesia Maju.

Pencapaian-pencapaian yang dimaksud di antaranya mencakup tentang keberhasilan menangani pandemi Covid-19, dan penjunjungan tinggi kebebasan berpendapat, serta independensi pers. Dengan merujuk pada Indeks Kemerdekaan Pers yang pada tahun 2021 naik menjadi 76,02 persen dari sebelumnya hanya 75,27 persen pada 2020.

Namun, beberapa waktu ke belakang ini banyak pihak justru melempar kritik bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia sesungguhnya memburuk. Contohnya adalah apa yang dikoarkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengenai menurunnya indeks demokrasi Indonesia. BEM SI menilai pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi salah satu pemicunya.

Kritik juga dilontarkan oleh ekonom senior, Rizal Ramli. Ia menilai banyak keputusan pemerintah yang menyangkut kepentingan ekonomi besar diambil secara sepihak. Oleh karena itu, ia mengatakan pemerintah saat ini semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi dan justru sedang mengarah pada sistem oligarki.

Baca Juga: State Capitalism, Jokowi Tiru Tiongkok?

Ini ia contohkan dengan dua megaproyek pemerintah, yaitu pemindahaan ibu kota dan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang menurutnya tidak menyesuaikan kepentingan rakyat kecil. Rizal pada tahun 2020 juga sempat menentang Omnibus Law karena dinilai memberi akses konstitusional pada oligarki Indonesia untuk dapat memperkaya diri seratus kali lipat.

Selain dua pendapat ini, kita juga bisa menemukan keluhan di mana-mana terkait implementasi Omnibus Law, padahal aturan ini sudah satu tahun lamanya disahkan di Indonesia. Anggapan utamanya adalah aturan ini dianggap terlalu kapitalistik dan mencerminkan kepentingan bisnis di atas kepentingan rakyat.

Lantas, bagaimana kita bisa mengambil jawaban atas carut marutnya diskursus mengenai kapitalisme dan demokrasi di Indonesia?

Benturan Demokrasi dengan Kapitalisme

Ternyata, motif kekuasaan negara demokrasi yang setiap harinya cenderung semakin menunjukkan pergeseran kekuasaan kepada suatu kelompok, sudah diprediksi oleh kalangan akademis politik. Profesor politik asal Universitas Warwick, Colin Crouch menyebut fenomena ini dengan istilah post-democracy.

Crouch berpendapat dalam post-democracy, muncul sebuah kelas masyarakat baru dari kalangan yang sadar akan pentingnya tatanan politik. Berbeda dengan karakter kelas menengah penggerak demokrasi, kalangan ini lebih berorientasi pada populisme untuk menopang kekuasaan yang lebih eksklusif, terutama dalam soal formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah.

Kalangan ini kuat secara ekonomi dan politik. Mereka juga memiliki kesadaran bahwa melalui penguasaan politik mereka dapat merealisasikan kepentingannya termasuk mengamankan kekuasaan ekonomi. Crouch berpendapat bahwa kondisi seperti ini bernuansa superfisial demokrasi, dan atmosfer oligarkis semakin menghantui dinamika kehidupan politik.

Firman Noor, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam tulisannya Fenomena Post Democracy Party di Indonesia menilai fenomena post-democracy disebabkan oleh makin
melebarnya jarak antara partai dengan masyarakat. Fenomena ini tidak sekadar dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap partai-partai, namun juga karena lepasnya ketergantungan partai-partai dari komunitas pendukung yang selama ini menopang kegiatannya, termasuk dalam soal pemenuhan kebutuhan finansial.

Kondisi “kemandirian finansial” ini menguat sejak partai terbiasa berimprovisasi mendapatkan dana dari kalangan pengusaha untuk menopang kehidupannya.

Dengan pandangan ini, kita bisa menyadari bahwa tidak heran jika mayoritas anggota lembaga legislatif Indonesia mudah meloloskan aturan yang kontroversial seperti Omnibus Law, karena memang unsur kapitalisme cukup berperan kuat dalam mengamankan kekuasaan ekonomi.

Lalu, apakah kemudian kita bisa dengan mudah menyalahkan para pembuat kebijakan karena terlalu gampang tunduk pada kapitalisme? Dari cara berpikir yang holistik dan mungkin kontroversial, tidak sepenuhnya.

Filsuf modern ternama asal Slovenia, Slavoj Žižek berpendapat bahwa pada dasarnya kapitalisme dan demokrasi ditakdirkan untuk terpisah. Ia menilai praktek kapitalisme global saat ini telah melampaui demokrasi dengan terlalu cepat, sehingga pelibatan rakyat dalam tataran domestik negara semakin terkikis.

Negara semakin dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang cepat dan tepat tanpa menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai pertimbangan utama karena harus mengejar ketertinggalan di panggung internasional.

Baca Juga: Salahkah Jokowi Tidak Demokratis?

Di sisi lain, Žižek juga melihat gesekan antara kapitalisme dan demokrasi bukanlah mengenai kesalahan salah satu sistem, tetapi memang perkawinan yang kontradiktif. Tentu, demokrasi adalah sistem yang tepat untuk mencapai kepentingan bersama. Dibarengi dengan kapitalisme, demokrasi telah membawa kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi negara ataupun individu. Tetapi, lambat laun sistem ini disertai dengan munculnya kesenjangan kekayaan dan perusakan lingkungan alam.

Lantas, apakah kapitalisme bisa kita jadikan sebagai antagonis utama? Tidak juga, karena bagaimanapun peran kapitalisme adalah untuk meningkatkan kapabilitas ekonomi, baik secara individu maupun negara.  Dan sementara kapitalisme menjadi sangat responsif dalam menjawab permasalahan ekonomi, demokrasi keteteran melakukan fungsi dasarnya sendiri, yaitu untuk mengartikulasikan dan bertindak atas kepentingan bersama, dan untuk membantu masyarakat mencapai pertumbuhan dan kesetaraan.

Demokrasi sesungguhnya dapat menjadi cara tepat bagi masyarakat untuk berdebat secara kolektif mengenai bagaimana “potongan kue” ekonomi harusnya dibagi, dan untuk menentukan kebijakan mana saja yang tepat untuk kepentingan ekonomi nasional. Saat ini, semua kebijakan terkait itu diserahkan pada kelompok-kelompok yang khawatir dengan situasi dan kondisi ekonomi global.

Pada akhirnya, untuk menghadapi badai kapitalisme global yang semakin tidak terbendung, jika suatu negara ingin maju, Žižek berpandangan, perlu ada upaya lain selain pemaksaan perkawinan antara demokrasi dan kapitalisme. Ia kemudian mengambil contoh negara ekonomi maju seperti Singapura.

Lalu, mengapa Singapura bisa menjadi studi kasus yang tepat?

Perlukah Tiru Singapura?

Singapura adalah model ekonomi paling sukses di Asia Tenggara. Jika kita berbicara mengenai kekuatan Singapura, tentu kita juga harus membicarakan mengenai peran mantan Perdana Menteri (PM) Lee Kuan Yew. Banyak pihak yang memandang Lee sebagai sosok yang bertanggung jawab atas pesatnya pertumbuhan ekonomi Singapura.

Tidak heran, di bawah kepemimpinannya, produk domestik bruto (PDB) Singapura melonjak tinggi dari US$500 pada tahun 1965 hingga US$14.500 pada tahun 1991.

Namun, kesuksesan ekonomi Singapura bukan tanpa pengorbanan. Lee dikenal sebagai salah satu pemimpin negara yang paling otoriter, ia berulangkali mengatakan bahwa sistem demokrasi tidak dapat membangun perekonomian sebuah negara berkembang.

Pada pidatonya di Forum Asahi Tokyo tahun 1992, Lee menyebutkan sebuah negara harus terlebih dahulu membenahi pembangunan ekonominya, baru demokrasi dapat mengikuti. Ia percaya demokrasi tidak akan membawa pembangunan jika pemerintah tidak membangun stabilitas dan disiplin ekonomi yang diperlukan untuk pembangunan.

Meskipun begitu, Singapura tidak benar-benar mengabaikan sistem demokrasi. Diketahui bahwa negeri Singa tersebut mengakui kebebasan berbicara dan berekspresi, yang dijamin dalam Pasal 14 Konstitusi Singapura. Mekanisme yang tersedia untuk pelaksanaan hak ini adalah kebebasan berbicara dan debat di Parlemen, diskusi publik, serta media. Namun, Pasal 14 memungkinkan Parlemen untuk membatasi hak atas kebebasan berbicara dengan berbagai alasan.

Lalu, secara ekonomi, barangkali kunci kesuksesan Singapura adalah kemampuannya untuk menarik investasi dari perusahaan multinasional. Di saat negara demokratis Asia Tenggara lainnya, seperti Indonesia mengkritisi investasi asing sebagai bentuk neo-kolonialisme, Lee justru percaya bahwa pembangunan ekonomi akan membutuhkan kerja sama dengan bekas penjajah mereka dan dunia Barat.

Baca Juga: Jokowi Wajib Contohi Meritokrasi Singapura

Kunci ekonomi kedua Singapura adalah tingginya intervensi pemerintah Singapura terhadap aktivitas ekonomi. Sebagai badan pengatur utama, pemerintah bertanggung jawab atas perencanaan dan penganggaran untuk segala hal, mulai dari pengembangan dan promosi bisnis lokal oleh Economic Development Board (EDB), sampai mempromosikan investasi industri oleh Development Bank of Singapore (DBS).

Pada akhirnya, Singapura mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera bagi warganya, tetapi jalan menuju pembangunan ekonomi ini dibayar oleh kebebasan berpendapat yang relatif terbatas.

Cerita kesuksesan Singapura barangkali dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia yang bercita-cita sebagai negara maju. Tentu, jika keadaan saat ini dianggap cukup, Indonesia bisa tetap mengandalkan demokrasi untuk menghadapi kapitalisme global. Konsekuensinya adalah pemerintah akan selalu dikritik tanggung jawab demokratisnya ketika mengeluarkan kebijakan dan perjanjian ekonomi yang mungkin sesungguhnya menguntungkan, tetapi minim melibatkan rakyat.

Berangkat dari saran Žižek di video Democracy and Capitalism Are Destined to Split Up, permasalahan kapitalisme sesungguhnya bisa diatasi bila kebebasan berpendapat di suatu negara sudah berevolusi ke tahap di mana suara rakyat juga berpengaruh dalam menentukan kebijakan ekonomi, tanpa perlu diwakilkan oleh segelintir orang. Pertanyaannya, dari masyarakat Indonesia sendiri, apakah kita sudah siap sampai ke tahap itu? (D74)


Exit mobile version