Kebebasan berpendapat masyarakat di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu diperdebatkan. Terakhir, survei Indikator Politik Indonesia menemukan sebanyak 64,9 persen responden takut menyuarakan pendapatnya. Partai Demokrat menilai ini sebagai alarm bahaya demokrasi Indonesia. Bisakah kita benarkan anggapan tersebut?
Belum lama ini lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil jajak suara mengenai keadaan demokrasi di Indonesia. Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan tingkat kepercayaan publik pada sistem demokrasi Indonesia sangat tinggi, yakni dengan skor 77,2 persen pada Februari 2022, meningkat dari 73,5 persen pada Januari 2022.
Meski beberapa nilai demokrasi membaik, Burhan menyampaikan sebuah catatan penting. Berdasarkan hasil jajak suaranya, IPI menemukan terdapat 64,9 persen responden yang takut menyuarakan pendapatnya.
Menurutnya, saat ini yang paling merasa demokrasi tehambat dan kebebasan berpendapat terancam adalah generasi muda yang duduk di bangku mahasiswa. Burhan menilai banyak anak muda yang saat ini merasa kebebasan berpendapat sangat terbatas.
Skor buruk tersebut spontan mendapat respons dari Partai Demokrat, khususnya dari Juru Bicara DPP Demokrat, Herzaky Mahendra Putra. Ia mengatakan, dengan semakin banyaknya masyarakat yang semakin takut menyampaikan pendapat, itu merupakan alarm bahaya untuk pemerintahan era Presiden Jokowi.
Tak tanggung-tanggung, Herzaky sampai menduga iklim ketakutan yang terjadi di masyarakat terjadi karena ada upaya-upaya terstruktur dan sistematis yang disengaja oleh pemerintah, baik lewat kebijakan, tindakan, hingga pembiaran yang dilakukan oleh elemen pemerintah.
Well, kalau kita lihat kenyataannya, memang benar beberapa kali muncul narasi dari pemerintah terkesan “mencederai” sejumlah aspirasi masyarakat, seperti kasus mural pada 2021 lalu dan polemik Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Lantas, apakah yang dikatakan Demokrat sudah benar, bahwa ketidakberanian berpendapat adalah alarm situasi demokrasi yang sedang dalam bahaya?
Demokrasi Bukan Tujuan Akhir
Hasil jajak suara yang seringkali beragam dan berbeda dari lembaga-lembaga survei tampaknya mulai membuat masyarakat kesulitan dalam menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi dalam demokrasi di Indonesia.
Di indeks yang satu, demokrasi beberapa kali disebut sangat dipercaya, tapi di skor yang lain, demokrasi dinilai tidak efektif karena masih banyak masyarakat yang terhambat dalam menyalurkan aspirasi. Karena faktor yang terakhir ini, banyak orang kemudian mengambil kesimpulan bahwa demokrasi sedang dalam keadaan buruk, dengan mengabaikan skor-skor lain yang menilai demokrasi justru membaik.
Penting untuk kita sadari bahwa demokrasi sesungguhnya tidak hanya tentang kebebasan berpendapat saja. Pengamat politik Duke University, Michael Munger dalam artikelnya Democracy is a Means, Not an End, menjelaskan bahwa demokrasi sejatinya bukan diciptakan sebagai tujuan akhir dari sistem pemerintahan, tetapi hanya cara untuk mewujudkan pemerintahan yang sistematis dan terstruktur.
Munger berpandangan, kebebasan berekspresi tetap penting. Kita secara harfiah memang bergantung pada suara rakyat dan persetujuan publik untuk membuat seluruh sistem bekerja. Namun demokrasi seharusnya hanya sebatas itu. Suara rakyat yang diaspirasikan pada pemerintah dalam demokrasi semata-mata murni untuk menciptakan wawasan dan persetujuan akan suatu kebijakan.
Munger merefleksikan demokrasi dengan analogi nahkoda kapal yang disampaikan sejarawan Yunani, Polybius, dalam tulisannya The Histories, pada abad ke-2 SM. Di dalamnya, Polybius mengartikan negara demokrasi layaknya kapal di laut yang sedang menghadapi ancaman badai.
Jika seluruh awak memiliki kepercayaan pada nahkodanya tentang langkah terbaik apa yang perlu dilakukan, badai tadi besar kemungkinannya tidak akan menjadi bahaya yang lebih besar, karena seorang nahkoda tentunya memiliki pengalaman dalam menghadapi bahaya-bahaya di laut.
Akan tetapi, jika seluruh awak kapal diberikan kesempatan untuk menentukan apa yang dilakukan, maka bisa dipastikan kapal tersebut akan karam dengan mengenaskan akibat terpaan badai. Ini karena akan ada awak yang ingin pulang, ada juga yang ingin mengarungi badai, dan ada juga yang ingin semuanya meninggalkan kapal dan naik sekoci.
Dari analogi itu, Munger mengambil kesimpulan bahwa demokrasi yang efektif bukanlah demokrasi yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mendengar semua aspirasi publik. Karena menurutnya, peran utama demokrasi bukanlah untuk menghilangkan perbedaan pendapat, melainkan untuk mencegah perselisihan politik berkembang menjadi konflik yang lebih berbahaya.
Dengan demikian, penciptaan consent dan trust atau persetujuan dan kepercayaan pada sistem pemerintahan adalah “bahan masak” utama dalam demokrasi.
Tetapi, pemahaman yang diyakini banyak orang tentang demokrasi saat ini malah sebaliknya. Kita mencoba menjadikan kehendak masyarakat sebagai “jawaban ilahi” atas berbagai pertanyaan kompleks yang dihadapi pemerintah.
Padahal, ada beberapa isu yang terlalu sulit untuk dijawab bila kita menaruh kepercayaan yang berlebihan pada suara rakyat, seperti kegentingan ekonomi, penanganan krisis, dan berbagai urusan keamanan negara.
Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa keterbatasan berpendapat dalam suatu negara demokrasi tidak bisa menjadi alasan kita untuk mengatakan demokrasi di negara tersebut sedang dalam bahaya.
Namun di sisi lain, itu pun tidak bisa jadi pembenaran bahwa pemerintah bisa bertindak seenaknya tanpa persetujuan dari masyarakat. Bagaimanapun juga, keterlibatan dan pengetahuan masyarakat tentang sistem pemerintahan yang sedang dijalankan adalah hal yang sangat penting.
Tidak semua komponen masyarakat harus diberikan kepuasan, tetapi negara pun tidak boleh dijalankan layaknya perusahaan yang segalanya hanya perlu dieksekusi dan diketahui oleh para bos.
Lantas, bagaimana kemudian kita memaknai ulang peran masyarakat dalam demokrasi era modern?
Demokrasi Sudah Mentok?
Ilmuwan politik dari Cato Institute, P.J. O’Rourke dalam artikel The Liberty Manifesto menyampaikan sebuah pendapat yang menarik. Menurutnya, masyarakat modern yang selalu meminta hak lebih dalam urusan negara bukanlah arti dari kebebasan, melainkan ketergantungan, yang tidak jauh dari sebuah bentuk “kemanjaan”.
Pandangan yang demikian juga disampaikan oleh ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Francis Fukuyama dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust. Di dalamnya, Fukuyama menilai permasalahan demokrasi modern bukanlah tentang pendapat rakyat yang tidak ditampung atau pembatasan bersuara, tetapi justru akibat rakyat semakin meminta lebih dari negaranya.
Jika kita mencoba untuk mencari penyebabnya, faktornya bisa dari banyak hal, salah satunya adalah perkembangan teknologi dan informasi. Saat ini, pengetahuan tentang politik bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja melalui gawai. Akibatnya, rakyat semakin sulit memercayai narasi pemerintah dan selalu menuntut dirinya lebih terlibat dalam politik.
Tetapi, alasan khusus mengapa kepercayaan pada pemerintah telah menurun dalam demokrasi, kata Fukuyama, berkaitan dengan fakta bahwa harapan masyarakat tentang apa yang harus dilakukan pemerintah dan bagaimana mereka harus melakukannya, telah meningkat jauh lebih cepat daripada kemampuan negara untuk mewujudkannya.
Terlebih lagi ketika demokrasi harus berbenturan dengan tuntutan ekonomi. Seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik Demokrasi Indonesia Keteteran Kapitalisme?, praktek kapitalisme global saat ini telah melampaui demokrasi dengan terlalu cepat, sehingga pelibatan rakyat dalam tataran domestik negara semakin terkikis.
Negara semakin dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang cepat dan tepat tanpa menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai pertimbangan utama karena harus mengejar ketertinggalan di panggung internasional.
Oleh karena itu, sepertinya demokrasi liberal ala Barat yang kita anut memang mulai menemui ujung tembok. Kita pun harus mulai memikirkan pemaknaan baru dari sistem demokrasi.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah ketika melakukan media visit ke kantor PinterPolitik pada 8 April 2022, mengatakan bahwa dalam urusan kepercayaan dan sosial, kebebasan dalam level individu memang penting. Tetapi bila untuk urusan politik, ia menilai kebebasan harus dimaknai sebagai kepercayaan pada pemimpin bahwa ia mampu membuat rakyatnya tetap hidup dan tetap bisa menjalankan kesehariannya dengan aman.
Well, bagaimanapun nantinya, intisari yang perlu kita ambil adalah, kita perlu melihat demokrasi dari kacamata yang lebih luas. Kebebasan individu memang penting, tetapi demokrasi bukan hanya soal itu, ia juga adalah tentang kepercayaan resiprokal antara pemerintah dan masyarakat. (D74).