Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para ibu untuk mengendalikan kelahiran demi terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang baik. Sejak era Soekarno, Soeharto, dan Reformasi, politik demografi Indonesia mengalami pasang surut. Lalu, mengapa politik demografi menjadi penting?
Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di awal pekan ini merilis laporan bertajuk World Population Prospects yang bertepatan dengan Hari Populasi Sedunia.
Hasil riset dalam laporan itu memprediksi bahwa penduduk dunia akan mencapai delapan miliar orang pada 15 November 2022 mendatang. Secara gradual, populasi juga disebut akan terus bertambah menjadi sekitar 8,5 miliar pada tahun 2030 serta 9,7 milar dua dekade setelahnya.
Selain itu, jumlah penduduk India akan menjadi yang terbanyak di bumi pada tahun 2050, yakni sebanyak 1,66 miliar sekaligus melampaui Tiongkok dengan perkiraan sekitar 1,317 miliar di tahun yang sama.
Sementara itu, populasi Indonesia sebesar 317 juta orang diprediksi akan tersalip oleh Nigeria dan Pakistan pada tahun 2050, masing-masing dengan 375 juta dan 366 juta jiwa.
Meskipun diiringi dengan nada optimisme, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB António Guterres mengingatkan bahwa pertumbuhan populasi akan berhadapan dengan ancaman nyata seperti krisis iklim, perang dan konflik, situasi darurat kemanusiaan, kelaparan, kemiskinan, hingga pandemi. Oleh karena itu, dia menyebut dunia masih dalam keadaan bahaya.
Menariknya, rilis laporan tersebut tak berselang lama dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kiranya memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan populasi.
Pada acara Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-29 di Medan, Sumatera Utara Kamis lalu, Presiden berharap kepada para ibu untuk mengendalikan kelahiran demi terciptanya sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang baik.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu berharap agar setiap orang tua harus mengatur jarak kelahiran dan memprioritaskan hal-hal esensial seperti kecukupan gizi hingga pendidikan bagi anak.
Kendati tidak membatasi jumlah kelahiran, Kepala Negara agaknya mengajak masyarakat untuk berefleksi mengenai konsekuensi bertambahnya populasi secara tidak langsung.
Dengan menyinggung aspek gizi serta pendidikan, Presiden Jokowi bisa saja menginginkan setiap orang tua bersama-sama memahami bahwa keputusan memiliki anak saat ini tentu akan berhadapan dengan bermacam tantangan pelik, yang kiranya selaras dengan apa yang dikatakan Guterres.
Ya, setiap negara, termasuk Indonesia, terus berpacu dengan laju pertumbuhan populasi dan tantangan pemerataan kesejahteraan. Krisis seperti pandemi Covid-19 agaknya cukup menjadi pemantik bagi kesadaran pemerintah akan pentingnya kebijakan politik demografi yang tepat, beriringan dengan kebijakan lainnya secara komprehensif.
Lantas, mengapa politik demografi menjadi penting?
Jangan Berjudi dengan Mitos?
Frasa “demografi” kerap mengalami reduksi dengan sendirinya dan dianggap tidak lebih dari sekadar deretan angka. Nyatanya, dampak konkret dari dinamika kependudukan memiliki keterkaitan multi-aspek, termasuk dalam aspek politik.
Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan Gary Freeman dalam jurnalnya yang berjudul Political Science and Comparative Immigration Politics. Freeman menyebut ilmuwan politik kerap melewatkan sorotan terhadap isu demografi. Padahal perubahan demografi mengakibatkan implikasi serius bagi politik.
Salah satu yang dicontohkan Freeman adalah mengenai bagaimana rumitnya proses politik di sejumlah negara dalam merumuskan regulasi tentang keimigrasian. Perumusannya menjadi kompleks dikarenakan perhitungan atas permasalahan domestik hingga dampak ekonomi serta aspek lainnya.
Berbicara mengenai politik demografi, teori laju pertumbuhan penduduk dari Thomas Robert Malthus cukup tepat menjadi pijakan. Dalam publikasinya yang berjudul Essay on Population, Malthus memberikan dasar untuk memahami dampak pertumbuhan penduduk.
Asumsi dasar Malthus adalah bahwa pangan menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup. Di saat yang sama, hasrat alamiah manusia cukup sulit dibatasi sehingga pertumbuhan penduduk akan jauh lebih cepat dari ketersediaan bahan makanan.
Menurutnya, pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan laju ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Hal inilah yang kemudian menjadi pangkal berbagai permasalahan ketika tidak dikelola dengan baik atau bahkan diabaikan.
Terdapat sejumlah bantahan terhadap teori ilmuwan ekonomi-politik dan demografi asal Inggris itu, seperti permasalahan kelahiran plus kelangkaan pangan yang dapat diatasi dengan perkembangan teknologi, perilaku demografi, dan distribusi kekayaan.
Akan tetapi, bantahan-bantahan itu belum mampu menjawab secara tuntas distribusi bahan pangan yang baik serta memutus korelasinya dengan laju pertumbuhan penduduk, seperti misalnya yang terjadi di banyak negara Afrika.
Bersamaan dengan itu, muncul aliran Neo-Malthusian yang digagas Paul Ehrlich dalam bukunya The Population Explosion. Mazhab ini menekankan persoalan serius yang muasalnya ialah efek pertumbuhan penduduk tak terkendali, lebih dari sekadar bahan pangan.
Ehrlich menyebut bahwa semakin banyaknya manusia di Bumi, kerusakan lingkungan menjadi bencana yang tak dapat dihindarkan seiring kian rumitnya pengaturan relasi di antara individu serta antar negara.
John Weeks dalam bukunya Population: An Introduction to Concepts and Issues mengutip pendapat sosiolog Prancis Emile Durkheim yang menekankan implikasi dari pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Akibat tingginya pertumbuhan penduduk, Durkheim menyebut akan timbul persaingan di antara penduduk itu sendiri untuk dapat mempertahankan hidup.
Dengan pola hidup yang semakin kompleks, upaya untuk memenangkan persaingan tentu akan menimbulkan akumulasi gesekan yang signifikan dalam berbagai lini mulai dari sosial, ekonomi, hingga politik.
Di titik ini, mitos “banyak anak, banyak rezeki” menjadi semakin tak relevan dan kemungkinan semakin disadari pula oleh berbagai kalangan seiring waktu.
Apalagi, dampak nyata dari populasi yang tak terkendali dapat dilihat di berbagai sumber dan literatur, khususnya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik India – sebagai negara dengan penduduk terpadat kelak sebagaimana diprediksi PBB.
Solusi dari gagasan Malthus sendiri terbagi menjadi dua cara, yakni preventive check (penundaan pernikahan, pembatasan pernikahan, serta penggunaan kontrasepsi) dan positive check (bencana alam, wabah penyakit, hingga peperangan).
Dari sekian pemecahan permasalahan demografi, maksimalisasi penggunaan kontrasepsi menjadi ihwal yang tampaknya dapat diperjuangkan berbagai negara saat ini untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, persis seperti anjuran penganut Neo-Malthusian.
Di Indonesia sendiri, politik demografi dengan mengadopsi salah satu opsi Neo-Malthusian di atas telah dilakukan di era Presiden Soeharto.
Lalu, bagaimana prospek politik demografi Indonesia ke depannya?
Enak Zaman Soeharto, Toh?
Permasalahan kependudukan ternyata telah ada sejak Indonesia masih seumur jagung. Pada dekade 50-an, kesehatan dan keselamatan ibu menjadi pemantik utama kesadaran sejumlah dokter saat itu ketika dihadapkan pada mitos “banyak anak banyak rezeki”.
Kepala Jawatan Kesejahteraan Ibu dan Anak di Kementerian Kesehatan dr. Julie Sulianti Saroso menjadi yang paling vokal. Dia menyarankan sebaiknya para ibu berani dan mau melakukan pembatasan kelahiran.
Mendapat kecaman keras dari banyak pihak, Menteri Kesehatan Johannes Leimena dan Presiden Soekarno langsung menegur dr. Sulianti Saroso. Sejak saat itu, gagasan pembatasan kelahiran kembali menjadi hal tabu.
Saat kepemimpinan diampu Presiden Soeharto, politik demografi mengalami kemajuan. Urbanisasi yang meningkatkan jumlah penduduk di perkotaan menjadi latar belakangnya saat itu.
Hadirlah program Keluarga Berencana (KB) dengan ditopang Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang kemudian berubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Meskipun jumlah keluarganya sendiri tidak ideal karena memiliki enam anak, Soeharto menginginkan Indonesia terdiri dari keluarga-keluarga kecil yang sejahtera dan tidak tercekik tuntutan ekonomi.
Bagi Soeharto, KB – program maksimal dua anak – adalah terobosan terbaik demi pengendalian jumlah penduduk Indonesia yang sangat mudah bertambah.
Ditambah, pada tahun 1987, Soeharto seolah mengikuti anjuran Neo-Malthusian dengan meresmikan pabrik alat kontrasepsi pertama di Indonesia.
Meskipun cenderung bertendensi paksaan karena pejabat daerah akan dicopot jika gagal menahan lonjakan penduduk, program KB Soeharto cukup sukses.
Berdasarkan data statistik BKKBN, tanpa program KB, penduduk Indonesia dapat menyentuh angka 340 juta jiwa pada tahun 2010. Dengan kata lain, Soeharto berjasa menekan 100 juta jiwa kelahiran penduduk baru.
Sayangnya, program KB seolah dilupakan segera setelah kepemimpinan Soeharto berganti di tahun 1998.
Namun, politik demografi Presiden Soeharto kiranya bisa ditiru dari refleksi saran Presiden Jokowi untuk mengendalikan kelahiran saat ini.
Akan tetapi, tantangan agaknya akan hadir terutama dari kelompok keagamaan yang memiliki argumen tidak ingin menolak rezeki atau menolak takdir. Dengan konsekuensi dampak buruk laju pertumbuhan penduduk tak terkendali, berbagai kontra narasi agaknya patut untuk dicoba.
Satu di antaranya adalah dengan menginternalisasi nilai dalam agama bahwa manusia juga diciptakan dengan akal dan pikiran sebelum membuat keputusan plus diwajibkan merawat bumi untuk keberlanjutannya.
Presiden Jokowi agaknya menyadari bahwa antitesis bonus demografi bisa saja menjadi bumerang ketika kualitas SDM Indonesia tidak memadai. Lalu, apakah Presiden Jokowi cukup bernyali untuk meniru politik demografi Soeharto? (J61)