Site icon PinterPolitik.com

Democracy Turn Off, Jokowi Autokratik?

Terbesar dalam dua dekade terakhir, mahasiwa demo sesaki Senayan. Serempak, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat tuntut batalkan Revisi UU KPK, RKUHP dan RUU bermasalah. Tidak hanya memperlihatkan kekecewaan atas kinerja DPR dan pemerintah sebagai “pelayan publik”, demonstrasi ini juga menunjukkan demokrasi Indonesia tengah berada di ambang kehancuran.


 PinterPolitik.com

Saat ini kita tengah menikmati euforia penundaan pengesahan Rancangan Kitab Uncang-Uncang Hukum Pidana (RKUHP), Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan. Penundaan itu dilakukan untuk menurunkan tensi publik seusai demo serentak dan besar-besaran dari mahasiwa. Tercatat, demo tersebut merupakan yang terbesar dalam dua dekade terakhir.

Di balik euforia tersebut, terdapat pertanyaan yang luput dari benak publik, yaitu mengapa mahasiswa yang saat ini dikenal jauh lebih apatis terhadap politik tergerak untuk melakukan demonstrasi serentak dan sebesar itu?

Beberapa pihak akan melihat peristiwa ini sebagai perayaan demokrasi. Akan tetapi, sebenarnya yang terjadi adalah mempertegas tanda-tanda kebangkitan autokrasi modern.

Demonstarasi besar tersebut tidak hanya mentasbihkan mahasiswa sebagai aktor intelektual, melainkan juga sebagai aktor “penjaga demokrasi”.

Terminologi penjaga demokrasi ini secara implisit memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia telah memasuki rambu-rambu merah yang mengkhawatirkan, mengingat peran penjaga akan keluar ketika tejadi situasi genting dan membahayakan. Lantas, situasi genting seperti apa yang sebenarnya terjadi? 

Bibit Kehancuran Demokrasi

Awal mula kehancuran demokrasi Indonesia adalah ketika tidak dapat dibedakan antara yang politikal dengan yang politik.

Politikal adalah ketika politik dijalankan secara rasional, dipahami sebagai negara yang diatur oleh konstitusi yang menjamin kesatuan geografis dari hukum, menghubungkan sejarah dan tradisi dari komunitas, dan menjamin integrasi antargenerasi.

Sedangkan politik adalah politik yang dijalankan semata-mata demi pengejaran kepentingan golongan, baik secara institusional maupun non-konstitusional.

Tidak disadarinya perbedaan tersebut membuat adanya perubahan paradigma mengenai apa yang disebut dengan wakil rakyat (DPR). Saat ini, wakil rakyat dipahami sebagai delegates atau messenger boy (penyalur suara), yang hanya menyalurkan pesan konstituen atau golongan yang diwakilinya.

Padahal, seharusnya dipahami sebagai trustee (utusan yang dipercaya), yakni wakil raykat yang menyampaikan pendapatnya di lembaga perwakilan menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri demi kepentingan seluruh rakyat.

Pergeseran paradigma tidak hanya sebatas pada definisi, melainkan pada “suara golongan” mana yang dimaksud. Normatifnya, suara golongan yang dimaksud adalah suara dari daerah wakil rakyat terpilih. Namun, pada prakteknya, suara golongan diartikan sebagai “suara partai”.

Imbasnya, pergulatan gagasan di DPR tidak dijalankan dengan perang argumentasi yang dipertanggungjawabkan secara etis dan rasional, melainkan hanya sebatas sentimen-sentimen menggelikan terkait kepentingan.

Pemerintah Otoriter?

Thomas P. Power, dalam tulisannya, Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline (2018) menyoroti polarisasi yang masif terjadi sejak Pilkada DKI Jakarta 2017. Intensitas polarisasi ini kemudian mengental dalam pilpres 2019, di mana hal itu tidak terlepas dari pelemparan isu-isu sentimental, khususnya dari kubu oposisi.

Power mencatat, isu-isu sentimental yang mengakibatkan polarisasi justru dilawan secara represif oleh Jokowi. Padahal, strategi ini tidak tepat karena respon represif justru akan memperkuat polarisasi alih-alih meredakannya.

How Democracies Die (2018) yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjelaskan polarisasi ekstrem yang terjadi dalam masyarakat adalah tanda dini dari autokrasi.

Lantas pertanyaannya, mengapa polarisasi ekstrem ini menjadi tanda dini autokrasi? Untuk menjawabnya kita dapat membayangkan bagaimana sistem imun dalam tubuh kita bekerja. Ketika tubuh diserang oleh mikroorganisme dan zat-zat asing yang disebut sebagai antigen atau bibit penyakit, serangkaian respon imun akan terjadi untuk melindungi tubuh agar tidak terinfeksi.

Tubuh adalah gambaran dari pemerintah. Ketika pemerintah mendeteksi adanya bibit perpecahan yang bersifat destruktif, maka sistem imun dalam pemerintah akan bekerja yang membuatnya menjaga jarak, menolak, bahkan memerangi bibit destruktif tersebut.

Hal ini membuat pemerintah yang seharusnya menampung semua kepentingan, justru menjaga jarak dan menolak kepentingan-kepentingan yang dipandang berbahaya.

Dengan jelas, praktik tersebut tidak menunjukkan politik demokrasi yang seharusnya memberi ruang bagi setiap kepentingan untuk dibawa ke ruang publik. Sekalipun kepentingan itu nantinya ditolak, setidaknya terdapat upaya dialog terlebih dahulu, yang memperlihatkan bagaimana pemerintah mengakomodir kepentingan tersebut.

Ketika praktik cut off atau bypass kepentingan terjadi, yang dengan sepihak menolak suatu kepentingan, tidak pelak lagi, sikap otoriter telah terjadi.

Seperti yang dicatat Power, Presiden Jokowi banyak mengambil sikap otoriter dalam merespon lawan politiknya. Hal tersebut terlihat dari pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara sepihak tanpa adanya dialog di ruang publik ataupun dialog tertutup dengan pemerintah.

Kemudian penangkapan tokoh-tokoh politik dari kubu oposisi yang dituduh melakukan upaya makar. Padahal, merujuk dari definisinya, makar berasal dari kata Belanda aanslag yang berarti serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa Inggris disebut violent attack, fierce attack. Padahal serangan kuat itu tidak dijumpai dari para tokoh politik yang dituduh makar.

Tidak hanya itu, sudah dua kali pemerintah membatasi komunikasi dan internet ketika terjadi demo pada tanggal  21-22 Mei 2019 dan yang terbaru di Papua.

Ziblatt dan Levitsky memaparkan terdapat empat peringatan untuk mengenali suatu sistem pemerintahan atau tokoh politik yang otoriter:

1). Menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan;

2). Menyangkal legitimasi lawan;

3). Menoleransi atau menyerukan kekerasan, atau;

4). Menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Menilik pada empat peringatan tersebut, pemerintahan Jokowi telah melakukan semuanya.

Nomor 1 terlihat dari rancangan KUHP yang membatasi hak-hak sipil, seperti pasal penghinaan terhadap Presiden.

Nomor 2 terlihat dari upaya pemerintah menangkap tokoh-tokoh politik oposisi dengan tuduhan makar.

Nomor 3 terlihat dari bagaimana pemerintah menoleransi tembakan peluru karet aparat ketika demo 21-22 Mei 2019, atau ketika mengirim ratusan aparat untuk menangani kericuhan di Wamena, Papua yang mengakibatkan 29 korban jiwa.

Nomor 4 terlihat dari keputusan yang dibuat pemerintahan dalam membatasi komunikasi dan internet ketika demo 21-22 Mei dan di Papua.

Benang Merah

Pada titik ini telah didapatkan poin bahwa telah terjadi perubahan paradigma wakil rakyat (DPR) dan bahwa pemerintahan Jokowi memperlihatkan tanda-tanda otoriter.

Melihat secara komprehensif mengenai demonstrasi besar-besaran mahasiwa, hal tersebut adalah akumulasi dari kedua poin tersebut.

Poin pertama terlihat dari pernyataan mosi tidak percaya mahasiswa kepada DPR karena lembaga tersebut tidak lagi berlaku sebagai trustee melainkan hanya sebagai messenger boy. Hal ini diakibatkan karena DPR telah mengesahkan UU KPK dalam tempo waktu yang sangat cepat, tidak kunjung mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan tengah berupaya mengesahkan RKUHP dan RUU lain yang berisi pasal bermasalah yang berpotensi merugikan rakyat.

Terlebih lagi, Presiden menolak menerbitkan Perppu pembatalan UU KPK, yang secara implisit menunjukkan posisi Presiden berseberangan dengan suara rakyat.

Terakhir, tanda-tanda pemerintahan yang berjalan otoriter adalah sinyal bahaya bahwa pemerintahan ini, sedang atau sudah menjadi autokrasi. Hal ini diperkuat dengan orang-orang kepercayaan Jokowi yang merupakan eks-eks Orde Baru seperti Menko Polhukam Wiranto.

Perlu diketahui, autokrasi tidak hanya merujuk pada Presiden yang otoriter, melainkan juga merujuk pada sistem pemerintahan yang otoriter, yang membuat sang Presiden mau tidak mau berlaku demikian.

Sejatinya, demokrasi adalah perjuangan kedaulatan rakyat, sedangkan autokrasi adalah perjuangan mempertahankan status quo. Dengan kata lain, autokrasi adalah anti-tesis dari demokrasi.

Sekarang pertanyaannya, apakah pemerintah akan memanggil kembali autokrasi yang telah dipukul mundur dalam reformasi 1998, atau akan sadar dan kembali menjalankan demokrasi yang substansial? Terkait hal tersebut, tentu merupakan hal yang menarik untuk diamati. (R53)

Exit mobile version