HomeNalar PolitikDemo Mahasiswa, Gebrakan Gen Z?

Demo Mahasiswa, Gebrakan Gen Z?

Demonstrasi mahasiswa yang baru-baru ini terjadi di berbagai kota menuntut pembatalan berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap tidak demokratis dan dapat merenggut hak warga. Meletusnya luapan demonstrasi ini bisa jadi menandai aktivisme politik baru dari Generasi Z.


PinterPolitik.com

“Mobbed out, opps out, we gon’ show what we about” – 6ix9ine, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Ingatan akan demonstrasi mahasiswa besar pada tahun 1998 bisa dibilang belum memudar sepenuhnya. Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menyertainya misalnya, hingga kini masih belum terselesaikan.

Pada tahun tersebut, berbagai kelompok mahasiswa turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi-aspirasi kebebasan, serta menuntut turunnya rezim yang berkuasa. Berbagai korban juga berjatuhan di kalangan mahasiswa.

Kini, ingatan tersebut seakan-akan kembali. Berbagai peraturan yang dapat merenggut hak individu dinilai dapat kembali berlaku melalui beberapa rancangan undang-undang (RUU) – seperti RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) – yang pada mulanya akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Berbagai tagar dan meme turut mewarnai diskursus di media sosial, seperti #DiperkosaNegara, #HidupMahasiswa, dan #AyoSemuaBergerak. Beberapa influencer – seperti Karin Novilda (@awkarin) turut mendukung gelombang demonstrasi mahasiswa ini.

Gelombang protes ini boleh jadi merupakan gebrakan baru dalam dinamika politik Indonesia di era Reformasi.  Pasalnya, kaum muda yang disebut-sebut memiliki sifat apatis terhadap politik justru menunjukkan taringnya melalui demonstrasi ini.

Para mahasiswa yang sebagian besar merupakan kelompok Generasi Z (kelompok usia kelahiran 1995-2000) – atau juga bisa disebut sebagai generasi Pasca-milenial – ini membuktikan bahwa kelompok generasi mereka tetap aktif secara politik seperti Generasi X (kelahiran tahun 1965-1980) yang mendorong lengsernya Presiden Soeharto pada era Orde Baru.

Terlepas dari konteks dan substansi yang berbeda, bagaimana dua demonstrasi yang terjadi di dua masa yang berbeda tersebut dapat saling berhubungan? Lalu, apa makna lain dari gelombang demonstrasi yang kini terjadi?

Karakteristik Gen Z

Keterkaitan antara demonstrasi mahasiswa yang baru-baru ini terjadi dengan demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998 bisa jadi eksis melalui ikatan memori yang ada. Memori kolektif (collective memory) dinilai mampu memengaruhi tindakan-tindakan politik di masa kini maupun masa mendatang.

Gerakan sosial turut bergantung pada peran memori kolektif. Timothy Kubal dan Rene Becerra dalam tulisannya yang berjudul Social Movements and Collective Memory menjelaskan bahwa gerakan sosial bergantung pada ingatan masa lalu guna memunculkan legitimasi dan identitas sebagai kontinuitas atas masa lampau.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Ingatan masa lalu ini bisa jadi tetap hidup di kalangan mahasiswa masa kini. Bila diamati, narasi-narasi yang berhubungan dengan demonstrasi 1998 masih mewarnai diskursus demonstrasi baru-baru ini. Berbagai tagar – seperti #ReformasiDikorupsi juga masih memiliki referensi atas perjuangan reformasi.

Jika gelombang protes tersebut memiliki hubungan memori kolektif, lalu apa yang membedakan demonstrasi mahasiswa di masa kini dengan demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998?

Terlepas dari adanya hubungan memori kolektif akan demonstrasi pada 1998, mahasiswa sebagai bagian dari Generasi Z bisa jadi memiliki keunikan tersendiri. Mungkin, demonstrasi beberapa hari lalu ini merupakan gebrakan politik dari Generasi Z.

Setiap generasi memiliki respons yang berbeda terhadap gerakan dan perubahan sosial. Share on X

Para mahasiswa – dan siswa-siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) – merupakan bagian dari Generasi Z yang memiliki rentang tahun kelahiran sekitar 1995-2000. Tentunya, setiap generasi memiliki nilai kolektif yang saling berbeda.

Ron Eyerman dan Bryan S. Turner dalam tulisannya yang berjudul Outline of a Theory of Generations menjelaskan bahwa setiap kelompok generasional memiliki memori kolektifnya sendiri – berdasarkan asal-usulnya, perjuangan historisnya, peristiwa-peristiwa politik, serta karakter dan ideologisnya. Oleh sebab itu, bisa dibilang bahwa Generasi Z memiliki memori kolektifnya sendiri.

Penjelasan Eyerman dan Turner ini bisa juga dipahami melalui Teori Generasi milik Karl Mannheim. Dalam sebuah tulisan milik Ruth Milkman yang berjudul A New Political Generation, dijelaskan bahwa – berdasarkan teori Mannheim – setiap generasi memiliki respons yang berbeda terhadap gerakan dan perubahan sosial.

Berbeda dengan generasi Milenial, Generasi Z dianggap memiliki nilai dan caranya sendiri. Berdasarkan berbagai studi, generasi yang merupakan penduduk asli dunia digital (digital native) ini setidaknya memiliki beberapa nilai seperti berpikiran terbuka dan mudah berkompromi, menghendaki perubahan sosial, serta menyukai keunikan.

Aulia D. Nastiti dari Northwestern University menjelaskan bahwa, berbeda dengan Milenial, Generasi Z jauh lebih terkoneksi dalam dunia digital – dari pengaruh social influencer yang luas, pengumpulan dana sumbangan melalui daring, pengajuan petisi daring, hingga meme-meme politik yang menyindir politisi.

Apa yang dijelaskan Nastiti bisa jadi benar. Bila diamati, dukungan influencer Awkarin hingga meme-meme poster yang bersebaran di media sosial menjadi fitur demonstrasi yang berbeda dengan demonstrasi-demonstrasi lainnya.

Dengan adanya perbedaan respons antar-generasi tersebut, apa implikasi yang timbul terhadap dimensi politik?

Sosialisme Gen Z?

Beranjaknya Generasi Z ke dalam dimensi politik kini bisa jadi mengubah lanskap gagasan sosio-politik. Dalam salah satu studi Pew Social Trends, generasi ini dinilai memiliki kemiripan dengan Milenial – setidaknya di AS – dalam hal pandangan sosial dan politik.

Warna gagasan politik Generasi Z dianggap jatuh pada rumpun sosialisme. Berbeda dengan sosialisme radikal yang berfokus pada perbedaan kelas dan elite, generasi tersebut lebih menekankan pada isu-isu seperti kesetaraan ekonomi, gender, dan rasial, serta isu-isu lingkungan.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Tentunya, gagasan dan ide politik generasi digital turut diterjemahkan dalam beberapa gerakan sosial. Aktivisme global yang kini terlihat dari Generasi Z ini adalah gerakan lingkungan.

Greta Thunberg misalnya, secara aktif menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berkelanjutan, serta terhadap minimnya kepedulian atas isu perubahan iklim. Gerakan membolos dari sekolah yang diinisiasinya telah menginspirasi berbagai individu pasca-milenial lainnya guna mendorong isu-isu perubahan iklim yang dianggap akan sangat berdampak pada generasinya.

Lalu, bagaimana dengan Generasi Z di Indonesia? Apakah mereka juga memiliki persepsi gagasan yang sama dengan kawan-kawan sebayanya di AS dan Eropa?

Demonstrasi mahasiswa yang terjadi beberapa hari lalu mungkin menjadi gebrakan baru setelah sebelumnya justru kelompok-kelompok konservatif yang lebih aktif turun ke jalan. Jika diperhatikan, tuntutan dan fokus demonstrasi beberapa waktu lalu selaras dengan gagasan-gagasan yang didorong oleh Generasi Z di AS.

Maklumat Tuntaskan Reformasi misalnya, mengajukan fokus pada nilai-nilai yang mendorong kesetaraan rasial dan gender. Nilai-nilai inklusif ini terlihat dalam empat poin maklumat tersebut, seperti pemenuhan hak asasi manusia (HAM), pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, reformasi agraria, perlindungan gender dan etnis minoritas, serta penghapusan kesenjangan ekonomi.

Meskipun begitu, kemungkinan adanya gagasan sosialisme baru yang mengakar di Generasi Z belum dapat dipastikan. Di Indonesia sendiri, studi mengenai gagasan dan gerakan politik generasi ini juga masih terbatas.

Sejauh ini, generasi politik baru ini juga dinilai memiliki cara berpikir yang jauh berbeda dengan Milenial yang dianggap idealis. Generasi Z dianggap lebih pragmatis dan realistis. Dalam arti lain, gerakan politiknya tidak akan banyak dipengaruhi oleh batasan ideologi politik.

Namun, gelombang demonstrasi mahasiswa Generasi Z beberapa hari lalu tentunya tidak dapat diremehkan. Boleh jadi, generasi yang sebelumnya dianggap apatis terhadap politik ini telah mengejutkan para politisi, baik DPR maupun pemerintah.

Mungkin, seperti lirik rapper 6ix9ine – juga merupakan bagian dari Generasi Z – di awal tulisan, mahasiswa-mahasiswa generasi digital ini ingin menunjukkan gebrakan politik baru. Lagi pula, masa depan Indonesia juga sebagian milik mereka. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?