Pada milad FPI ke-19 yang berlangsung pada Sabtu, 19 Agustus 2017 lalu, Anies Baswedan, sebagai salah satu tamu undangan, meminta FPI menjaga kebhinekaan dan keutuhan NKRI. Mampu dan pantaskah FPI? Bagaimana dengan GP Anshor?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]iapa yang tak pernah dengar nama FPI (Front Pembela Islam)? Organisasi masyarakat ini sangat populer setahun belakangan. Sejak mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok tersangkut kasus penodaan agama, kelompok inilah yang paling lantang dan terdepan menistakan dirinya.
Setelah berhasil ‘mengirim’ Ahok ke dalam bui, perlahan namun pasti, FPI mulai ‘jinak-jinak merpati’ karena sang ketua sekaligus ikonnya, Rizieq Shihab, dikejar pemerintah atas kasus pornografi. Hingga hari ini pun, sang habib masih betah mendekam di Arab Saudi, disinyalir untuk menghindari proses hukum di Indonesia.
Di sisi bersebrangan, Gerakan Pemuda (GP) Anshor turut populer di belakang FPI sebagai organisasi masyarakat berbasis Islam. Jika FPI merongrong Ahok, GP Anshor hadir menyatakan dukungannya pada mantan gubernur DKI Jakarta dan pernah terlibat melindungi korban-korban persekusi dunia maya yang diduga mencemooh FPI dan pemimpinnya.
Apakah permintaan Anies kepada FPI untuk menjaga kebhinekaan NKRI masih pantas jika disandingkan dengan GP Anshor?
FPI Versus GP Anshor
FPI didirikan di Pesanteran Al Ulm, Kampung Ciputat, Jakarta Selatan pada 17 Agustus 1998 oleh Muhammad Rizieq Shihab. Di awal kemunculannya, FPI berhasil berdiri bersama pemerintah dan militer sebagai bagian dari Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa yang mengamankan Sidang Istimewa MPR (SI MPR). Pam Swakarsa adalah sebutan bagi kelompok sipil yang dipersenjatai oleh TNI. Pada saat itu, FPI turut mengambil peran dalam berbagai bentrokan yang terjadi di sekitar tahun 1998.
FPI mulai turun ke jalan menggrebek tempat makan dan tempat hiburan malam pada waktu bulan puasa Ramadhan di akhir tahun 1999. Mereka menyegel dan menduduki beberapa tempat yang dianggap sumber ‘maksiat’ seperti bar, club malam, panti pijat, diskotek, dan lain-lain. Penampilan anggota FPI yang saat itu ‘seragam’, yakni memakai jubah putih serta sorban atau ikat kepala berwarna senada. Pentungan atau kayu tak ketinggalan dibawa saat menyambangi tempat maksiat.
Saat tragedi bencana Tsunami Aceh, FPI adalah pihak terdepan yang memberikan pertolongan kepada korban di tahun 2004. Relawan FPI berkontribusi membantu menemukan mayat dan menjadi juru bicara Polda Aceh, Sayed Husaini. Pihak yang dianggap sering bentrok ini, bahkan bisa bekerja sama baik dengan relawan lain, sipil, militer, hingga bantuan asing.
Sementara setahun belakangan, FPI getol melakukan perlawanan terhadap Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang ‘sial’ menukil isi surat Al-Maidah ayat 51 dalam acara penyuluhan budidaya ikan kerapu. Dari peristiwa itu, Aksi Bela Islam berjilid lahir hingga klimaksnya mampu menjebloskan Ahok ke dalam bui. Selesai berurusan dengan Ahok, giliran sang ketua yang dikejar kepolisian. Rizieq dijerat dengan dugaan kasus porngrafi dan sudah dinyatakan bersalah. Ia memilih tinggal dalam waktu yang tak ditentukan di tanah Arab hingga detik ini.
Sementara itu, GP Anshor jauh lebih tua dibandingkan dengan FPI. Ia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda dan menjadi salah satu kelompok yang aktif meneriakan anti-kolonialisme sembari mengibarkan panji-panji Islam.
Kelahiran GP Anshor tak bisa dilepaskan dari pendirian Nahdatul Ulama (NU) di Indonesia. Tahun 1921, organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan intensif berdiri seperti Jong Java, Jong Ambon, hingga Jong Celebes, namun yang juga menganut nilai keislaman belum ada. Akhirnya KH. Wahab Chasbullah mendirikan Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) untuk melengkapi kekosongan tersebut.
NU juga berdiri setelah KH. Hasyim Asyari dan KH. Abdul Wahab Chasbullah kerap mendiskusikan perbedaan pemahaman atas azas tunggal ahabisme. Untuk mengkritik paham yang datang dari Ibn Saud itu, NU akhirnya diresmikan. Pergulatan politik NU pertama kali hadir dengan mengirim surat tuntutan kepada Raja Abdul Azis di Arab Saudi yang berisi:
- Kerajaan Saud memberi kemerdekaan bermadzhab di Hijaz
- Tempat bersejarah peninggalan Nabi Muhammad SAW tak dihancurkan
- Biaya yang dikenakan pada Jemaah haji disebarkan ke publik
Sementara itu, NU diam-diam terpecah secara internal. KH. Abdul Wahab Chasbullah yang beraliran tradisional bentrok dengan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis. KH. Abdul Wahab Chasbullah akhirnya mendirikan organisasi yang menjadi cikal bakal GP Anshor, yakni Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Gerakan ANO selanjutnya berkembang sebagai apa yang kita kenal dengan GP Anshor saat ini. Nilai-nilai yang diusungnya berkiblat pada kaum Anshor yang menolong Nabi Muhammad SAW di Madinnah. Dengan demikian, sebagai kader GP Anshor, harus memiliki sifat penolong, pejuang, pelopor dan penyiar ajaran Islam. Tanggal 23 April 1924 dianggap sebagai tahun berdirinya ANO, cikal bakal GP Anshor.
Pada tahun 1937, ANO cabang Malang mengembangkan organisasi gerakan yang disebut Banoe (Barisan Anshor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut Banser. Mereka pertama kali menunjukan ‘wujudnya’ dengan pakaian seragam ala Tentara Darat. Ketua dan Instruktur Umum Banser NU juga berasal dari kalangan militer, yakni Komandan Moh. Syamsul Islam sebagai ketua dan Mayor TNI Hamid Rusyfi sebagai Instruktur Umum. Banser NU, lekat di ingatan masyarakat saat salah satu kadernya meninggal dunia atas serangan bom saat melindungi jemaat Kristiani merayakan Natal di tahun 2000.
Kini GP Anshor dan Banser NU berkembang sedemikian rupa di berbagai wilayah kabupaten dan kota. Tercatat sudah ada 433 cabang dan 32 pengurus wilayah hingga ke tingkat desa di sebaran wilayah Indonesia.
GP Anshor secara turun temurun dipimpin oleh intelektual dan pegiat NU. Ketua GP Anshor periode 2015 – 2020, Yaqut Cholil Qaumas, adalah anak kandung dari KH. Muhammad Cholil Bisri sekaligus menantu Alm. Gus Dur dengan menikahi Yenny Wahid. Yaqut juga keponakan dari KH. Mustafa Bisri, guru besar NU.
Garis NU yang sangat kental mengalir di darahnya, turut mendudukan Yaqut sebagai kader Partai Kebangkitan Bangsa. PKB merupakan partai yang mewadahi aktivitas politik kelompok NU di Indoensia dan pembentukannya diusahakan oleh ayahanda dan menantu Yaqut. Dari sana, Yaqut tak hanya menjabat sebagai ketua GP Anshor, tetapi juga menteri di Komisi III DPR RI periode 2014 – 2019 dari fraksi PKB bidang Kemananan dan HAM.
Atas beragam aksi petingginya tersebut, banyak masyarakat menilai bila GP Anshor merupakan badan yang layak mempertahankan kebhinekaan. Bahkan seorang Dosen Sunan Kalijaga berseloroh jika GP Anshor telah ijtihad atau berusaha sungguh-sungguh menjaga kebhinekaan NKRI selama 83 tahun ini.
Siapa Pantas Jaga Kebhinekaan?
Permintaan Anies kepada FPI untuk menjaga kebhinekaan, seakan goyah bila dibandingkan dengan sepak terjang dan aksi GP Anshor sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Namun begitu, apakah GP Anshor adalah sosok yang tepat untuk memangku tanggung jawab demikian?
FPI, bagi sebagian kelompok masyarakat dipandang sebelah mata karena aksi yang dinilai ‘vandal’ dan sangat konservatif. Namun, bukan berarti GP Anshor menjadi suci ketika disandingkan dengan FPI. Baik FPI dan GP Anshor memiliki kontribusi tak sedikit dan main-main dalam perjalanan sejarah negeri. Begitu pula ‘pertumpahan darah’ dalam sejarah Indonesia.
FPI, bukan rahasia lagi, merupakan kelompok yang bersanding dengan militer pada masa peralihan Orde Baru ke Reformasi. Bersama dengan pimpinan tertinggi TNI saat itu, FPI memukul mundur mahasiswa anti Soeharto dan diduga mencetus huru-hara berbasis SARA. Sebagai sipil yang dipersenjatai, mereka dianggap sebagai kelompok yang tak tertarik dengan pencarian kebenaran agama, melainkan pandangan pribadi mereka sendiri yang sarat ‘fasis’.
Sementara GP Anshor yang berada dalam kandungan NU, turut melibas tokoh individu dan kelompok yang diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam catatan Buku Putih NU – PKI, pada 5 Oktober 1965, Pengurus Besar NU Jakarta mengeluarkan ‘Resolusi Mengutuk Gestapu’, yang berisi pernyataan sikapnya terhadap PKI. Muhammad Al-Fayyadl, dalam tulisan Memahami Kembali Peran NU pada Detik Detik September 1965, menyatakan bila surat 5 Oktober 1965 merupakan bentuk keterbelahan NU atas barisan anti-Soekarno dan anti-PKI yang terdiri dari kaum muda NU, dengan golongan moderat yang diwakili KH. Wahab Chasbullah dan KH. Idham Chalik.
Namun, lanjut Al Fayyadl, yang terjadi adalah banyaknya pemuda NU saat itu, terutama dari GP Anshor, yang merisak dan menggedor rumah lawan dan sesamanya dengan sebutan PKI, lalu tak ragu menghabisinya demi ‘keamanan nasional’.
Fayyadl menambahkan, kubu NU lainnya, yakni garis moderat, cenderung mengedepankan langkah-langkah diplomatis, intelektual, dan ideologis dalam menghadapi PKI, dibandingkan cara-cara kekerasan dan konfrontasi fisik. Hal ini ditujukan beberapa dasawarsa kemudian oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) yang mencoba meretas kebekuan hubungan dengan para eks-PKI dan korban 1965 dengan rekonsiliasi, saat menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Dengan demikian, sebelum FPI atau GP Anshor berebut sebagai pihak yang layak dibebani tanggung jawab menjaga kebhinekaan, lebih baik kaum muda FPI dan NU hari ini kembali melakukan pembacaan kritis terhadap peran-peran tokohnya di masa lalu, seperti hubungan Habib Rizieq dengan para petinggi TNI, dan juga sepak terjang NU dalam satu episode berdarah dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan begitu, arti kebhinekaan bisa dipahami dengan memahami dan merangkul satu sama lain untuk mewujudkan arti kebhinekaan yang hakiki. (Berbagai Sumber/ A27)