PPP dan PKB terlibat saling sindir di media secara terbuka. Disinyalir keduanya mencari peluang untuk perhatian untuk menjadi cawapres Jokowi.
PinterPolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]ubungan antara dua partai berbasis kaum Nahdliyin, tiba-tiba tampak memanas. PPP dan PKB terlihat melakukan saling sindir yang cukup tajam di media. Keduanya tampak tidak malu-malu untuk saling melontarkan tudingan miring yang bisa membuat panas telinga.
Tidak hanya saling sindir di media, perseteruan kedua partai yang sama-sama identik dengan warna hijau ini berujung dengan tantangan debat terbuka. PPP memberikan tantangan kepada PKB untuk melakukan debat terbuka dengan ketua umum mereka, M. Romahurmuziy (Romy). Tantangan tersebut dijawab oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan menyatakan kesiapannya.
Beberapa pihak menilai bahwa perseteruan keduanya terjadi karena perebutan kursi cawapres. Banyak orang menilai bahwa keduanya sama-sama berharap dipinang oleh kandidat petahana Jokowi sebagai orang nomor dua.
Tampak bahwa PPP dan PKB rela berperang untuk mendapatkan kursi orang nomor dua. Mengapa kedua partai dengan latar belakang serupa ini rela saling ‘membunuh’ demi menjadi cawapres Jokowi?
Romy-Cak Imin Rebutan Cawapres
Teka-teki tentang siapa yang akan menjadi cawapres Jokowi hingga kini memang belum terjawab. Hal ini membuat semua pihak yang ada di koalisinya merasa memiliki peluang untuk mengisi kekosongan tersebut, termasuk PPP dan PKB.
Kondisi tersebut berakibat pada aksi saling rebut dari kedua partai hijau tersebut. Akibatnya, muncul perang di antara keduanya yang ditandai dengan saling sindir di media. Kedua partai tersebut memang memiliki jagoan masing-masing untuk ditawarkan menjadi pendamping Jokowi.
PPP dianggap tengah mencari peluang untuk mendorong Romy untuk menjadi orang nomor dua di bawah Jokowi. Sementara itu, PKB juga tengah giat mempromosikan pasangan Jokowi-Cak Imin melalui beragam cara.
PPP menuding kalau PKB bertindak kelewatan karena sudah mendeklarasikan pasangan Jokowi dan Cak Imin. Menurut mereka, PKB mendeklarasikan pasangan tersebut tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan lingkaran koalisi lainnya.
Mendapat perintah dari para ulama Jawa Tengah untuk menjadi next Wapres 2019.. S1APKB! https://t.co/H9FggxSv1e
— a muhaimin iskandar (@cakimiNOW) April 17, 2018
PKB dituding sudah terlebih dahulu mengumumkan pasangan Jokowi-Cak Imin meski belum secara resmi memberi dukungan kepada Jokowi sebagai capres. Hal ini berbeda dengan PPP dan partai-partai lain yang memang secara resmi memberikan dukungan kepada mantan Wali Kota Solo tersebut.
Di lain pihak, PKB menilai PPP terlalu berharap Romy menjadi cawapres Jokowi tetapi tidak pernah mengungkapkan harapan tersebut. Elit PKB menuding bahwa partai berlogo Kabah tersebut akan bubar jika tidak memasangkan Jokowi dengan Romy.
Partai besutan Cak Imin tersebut, menilai bahwa PPP hanya ingin menumpang popularitas Jokowi sehingga dapat terhindar dari kehancuran. Hal ini terkait dengan rendahnya popularitas PPP di berbagai survei, sehingga perlu figur untuk mendongkrak popularitas tersebut.
Saling sindir ini kemudian berujung pada ditabuhnya genderang perang melalui tantangan debat terbuka. PPP menilai bahwa sebaiknya ada kontestasi antara Romy dan Cak Imin untuk menentukan siapa yang lebih baik. Perlu ada perang berupa debat publik tentang isu ekonomi, pembangunan, sosial-politik, dan kebangsaan sehingga persaingan tidak hanya bersifat saling nyinyir.
Kepahitan PPP dan PKB
Jika dilihat, baik PPP dan PKB sama-sama menyimpan kepahitan. Keduanya sama-sama merasa memiliki sejarah dan berjasa dalam pemerintahan Jokowi. Oleh karena itu, masing-masing partai merasa diri sebagai pihak yang paling berhak untuk dihadiahi kursi cawapres oleh Jokowi.
PPP dan Romy merasa bahwa mereka salah satu partai yang paling awal mendeklarasikan diri untuk mengusung Jokowi sebagai capres. Deklarasi tersebut dilakukan sejak jauh-jauh hari, yaitu saat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP tanggal 21 Juli 2017.
Saat itu, PPP menjadi partai ketiga yang secara resmi memberikan kepada Jokowi untuk menjadi capres di 2019. Langkah tersebut cenderung lebih cepat ketimbang partai-partai pendukung Jokowi di Pilpres 2014 termasuk PKB.
https://t.co/TPAVCjNckB
Kl momentumnya diulang debatnya @MRomahurmuziy dgn @cakimiNOW bcr soal agama, ekonomi, teknologi, revolusi industri, kebangsaan…bagus jg tuh pak @arsul_sani …undang panel ahli— ach baidowi (awiek ) (@acbaidowi) April 18, 2018
Sementara itu, PKB merasa bahwa merekalah satu-satunya partai berhaluan Islam yang setia dengan Jokowi. Partai kebanggaan kaum Nahdliyin tersebut menjadi satu-satunya partai dengan basis massa Islam yang secara resmi mendukung Jokowi pada Pilpres 2014.
Di Pilpres 2014, PKB memang mengambil sikap berbeda dengan mayoritas parpol dengan basis massa Islam. Saat itu, sebagian besar partai berhaluan Islam memilih mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa termasuk PPP. PKB berani berbeda dengan mendukung Jokowi sejak jauh-jauh hari.
Rasa paling berjasa ini kemudian berlanjut melalui saling sindir masing-masing pihak terhadap kinerja mereka dalam mendukung pemerintahan Jokowi. Para menteri di jajaran Kabinet Kerja menjadi sasaran tudingan miring dari masing-masing pihak.
PKB mempertanyakan kinerja kader PPP Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama (Menag). Sebagai Menag, Lukman dianggap tidak berbuat banyak dalam menangkal beragam isu miring yang dialamatkan kepada Jokowi soal keberpihakan kepada umat Islam.
PPP juga menuding PKB tidak memberikan kontribusi yang positif bagi pemerintahan Jokowi. Menurut mereka, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya satu pun menteri asal PKB yang masuk 10 besar jajaran menteri terbaik.
Perang demi Cawapres
Kepahitan-kepahitan yang dialami PKB dan PPP membuat mereka seperti kembali ke state of nature atau kondisi alamiah mereka. Menurut Thomas Hobbes, dalam kondisi alamiah, semua manusia terlibat dalam perang dengan sesamanya atau bellum omnuim contra omnes.
Kedua partai tersebut tampak seperti memiliki keinginan untuk merengkuh kekuasaan. Atas alasan tersebut, masing-masing pihak saling menganggap lawannya sebagai ancaman. Akibatnya, perang antara sesama yang digambarkan Hobbes menjadi tidak terhindarkan.
Kondisi saling berperang ini menurut Hobbes baru akan berakhir jika ada satu kekuatan yang disebut sebagai sovereign (penguasa). Sovereign ini dapat mengurangi kondisi saling berperang di antara manusia sehingga mereka mau melepaskan hak atau kebebasan mereka masing-masing.
Masing-masing pihak harus terlebih dahulu merelakan hak dan kebebasan tersebut harus terlebih dahulu mau melepaskan hak dan kebebasan tersebut melalui kontrak sosial. Hal ini sangat penting agar kondisi perang dapat hilang dan berganti dengan ketertiban.
Menurut Hobbes, agar ketertiban benar-benar terjaga maka kekuatan dari sovereign harus benar-benar kuat bahkan bersifat absolut. Sang pemimpin harus mampu memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak di bawahnya sehingga tidak terjadi perang atau kekacauan.
Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa Jokowi harus memegang posisi absolut agar perang antara PPP dan PKB dapat diakhiri. Sebagai puncak dari koalisi, Jokowi idealnya mampu memaksakan kehendaknya kepada kedua partai tersebut.
Jokowi harus menjadi pihak yang mengambil hak PPP dan PKB atas kekuasaan. Sebagai capres yang diusung, ia idealnya mampu menyadarkan mereka bahwa segala keputusan termasuk cawapres berada di tangannya. Di lain pihak, PPP dan PKB juga harus menyadarkan diri bahwa dengan mendukung Jokowi maka mereka telah melepaskan kebebasan mereka kepada Jokowi sang sovereign.
Dengan memainkan peran sebagai penguasa absolut maka Jokowi bisa mendamaikan kedua pihak yang berperang. Memainkan peran absolut juga akan bermanfaat jika ada perang lain yang ditimbulkan oleh partai anggota koalisi lain. Pertanyaannya adalah, mampukah Jokowi menjadi kekuatan absolut tersebut? (H33)