Menko Polhukam Mahfud MD membeberkan bahwa Presiden Jokowi pernah mengusulkan Rocky Gerung untuk menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya. Kenapa Mahfud tiba-tiba membeberkan informasi tersebut?
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menuimbulkan kontroversi tentang usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan penghargaan kepada pengamat politik Rocky Gerung.
Penghargaan yang dimaksud adalah Bintang Mahaputera Nararya. Penghargaan itu adalah tanda kehormatan Bintang Mahaputera kelas III.
Penghargaan tersebut diberikan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan NKRI.
Rocky dinilai sebagai sosok akademisi yang berprestasi dan secara konsisten bersifat kritis terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Namun, meskipun sebuah kehormatan bagi warga negara untuk mendapatkan penghargaan tersebut, Rocky Gerung justru dengan tegas akan menolak jika suatu saat benar-benar diberikan.
Menurutnya, penghargaan yang akan diberikan kepadanya adalah sesuatu yang tidak penting dan bermuatan politis dengan tujuan membungkam dirinya.
Alasan Rocky ini berkaca dari kasus Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang terkesan bungkam setelah menerima penghargaan itu dari Presiden Jokowi pada Agustus 2020 lalu.
Padahal, sebelumnya duo mantan Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 itu dikenal vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang mereka nilai tidak memihak kepada masyarakat.
Rocky juga mengatakan jika seharusnya Presiden Jokowi lebih baik menjamin keberlangsungan oposisi dibandingkan memberikan penghargaan kepada individu yang kritis.
Sifat kritis adalah hak setiap warga negara, jadi tidak perlu diberikan sebuah penghargaan, tambah Rocky.
Selain usulan yang dinilai bermuatan politis, timing dari pernyataan itu juga jamak dinilai tak tepat karena usulan Presiden Jokowi itu sebenarnya sudah lama diungkapkan.
Namun, Mahfud baru mengungkapkan hal itu belum lama ini dalam konten Podkabs di akun Youtube resmi Sekretariat Kabinet yang diunggahpada 29 Mei 2023 dengan berjudul “Blak-blakan Mahfud MD, Dari Mafia Hukum Hingga Flexing-Podkabs Ep. 13”.
Jika kita mencermati dari yang diceritakan oleh Mahfud dalam podcast itu, tersirat kejadian Presiden Jokowi mengusulkan hal itu bukan baru-baru ini, melainkan hampir bersamaan dengan usulan terhadap Fahri dan Fadli.
Lantas, mengapa Mahfud baru mengungkapkan usul Presiden Jokowi itu baru-baru ini?
Demi Popularitas?
Dalam era masyarakat informasi sekarang ini, sering kali masyarakat selalu mencari informasi yang sensasional.
Kebutuhan masyarakat akan informasi yang sensasional itu kerap kali dimanfaatkan untuk menaikkan popularitas sang penyampai informasi. Entah itu individu atau lembaga.
Fenomena itu juga saat ini terjadi dalam dunia politik dan menjadi buah dari sebuah transformasi dalam dunia politik.
Pramod K. Nayar dalam bukunya yang berjudul Seeing Stars: Spectable, Society, and Celebrity Culture menjelaskan bahwa politisi saat ini ibarat selebriti yang pengaruhnya dinilai berdasarkan seberapa populer mereka.
Perkembangan internet, khususnya media sosial (medsos) telah membuatnya menjadi sesuatu yang penting dalam kekuatan politik.
Selain itu, faktor memaksimalkan apayang dimiliki juga penting bagi aktor politik untuk mendapatkan pengaruhnya.
Brian Duignan dalam tulisannya yang berjudul Utilitarianism menjelaskan bahwa aktor politik harus dapat memaksimalkan kedayagunaan (utility) dari suatu tindakan, sehingga dari proses tersebut kita dapat menikmati manfaat, keuntungan, kebahagiaan, dan kenikmatan.
Dalam konteks Mahfud MD, berbagai pihak menilai pernyataan-pernyataan yang dikeluarkannya belakangan disinyalir demi menaikkan popularitasnya. Itu diperkuat dengan kuatnya isu Mahfud dapat menjadi cawapres di Pilpres 2024.
“Sampai ada yang mengatakan, jangan-jangan, Pak Mahfud ini mau jadikan ini pangggung untuk cawapres atau capres,” ungkap anggota Komisi III DPR Benny K Harman dalam rapat membahas transaksi janggal di Kemenkeu senilai Rp349 triliun di Gedung DPR, pada 29 Maret 2023.
Sebelum pernyataan tentang usulan Presiden Jokowi memberikan penghargaan kepada Rocky, Mahfud beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang sensasional di masyarakat.
Sebelumnya ada pernyataan soal transaksi janggal ratusan triliun di Kementrian Keuangan (Kemenkeu) dan kasus korupsi proyek menara BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Jika diperhatikan saksama, derasnya atensi terhadap Mahfud bukan hanya karena blak-blakan membuka informasi, melainkan juga karena kemampuan dalam menunjukkan kapasitas intelektualnya.
Di rapat dengan Komisi III DPR RI, misalnya, Mahfud menunjukkan “kelasnya” lewat intelejensia yang memukau. Tidak hanya memaparkan informasi dan argumentasi secara rigid, Mahfud juga tidak gentar menghadapi berbagai pertanyaaan anggota Komisi III DPR.
Lantas, jika dugaan Benny K Harman benar, mungkinkah pernyataaan Mahfud soal Rocky juga memiliki intrik politik?
Manfaatkan Timing?
Di dalam dunia politik, momentum atau timing adalah sesuatu yang krusial untuk menjelaskan aksi-reaksi para aktor politik.
Luis Rubio dalam publikasinya yang berjudul Time in Politics menjelaskan ketepatan momentum dalam sebuah manuver dan komunikasi politik dapat menentukan output yang berbeda secara signifikan dalam sebuah interaksi politik.
Selain itu, John Gibson dalam tulisannya yang berjudul Political Timing: A Theory of Politicians Timing of Event juga menjelaskan hal serupa, bahwa pemilihan momentum yang tepat dapat digunakan sebagai keuntungan politik atau meminimalkan risiko sang aktor politik.
Dalam konteks rangkaian pernyataan Mahfud belakangan ini jamak dinilai sebagai pemilihan momentum yang tepat. Pernyataan soal transaksi janggal Kemenkeu dan menara BTS 4G Kominfo, misalnya, menguatkan persepsi Mahfud sebagai sosok yang bersih.
Sementara untuk pernyataan soal Rocky, itu dapat membentuk persepsi bahwa Mahfud adalah sosok yang tidak terjebak polarisasi. Dirinya dapat duduk bersama dengan yang mendukung ataupun yang mengkritik pemerintah.
Mengingat, di Indonesia sering kali terjadi polarisasi yang membuat para pendukung yang berseberangan dengan pemerintah akan menganggap aktor politik yang berada di pemerintahan tidak patut didukung.
Dan memang, sosok Mahfud terlihat dapat diterima oleh berbagai kalangan. Buktinya dapat kita lihat dari masuknya nama Mahfud di poros Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, hingga Anies Baswedan.
Atas dasar itu, Mahfud seolah sedang memanfaatkan momentum politik untuk menjadi pendamping dari salah satu kandidat calon presiden (capres).
Meskipun Mahfud pernah menyatakan jika dirinya tidak mau memikirkan untuk menjadi cawapres, mengingat dirinya mempunyai pengalaman pahit pada Pilpres 2019 lalu.
Saat itu, Mahfud dijagokan sebagai cawapres terkuat Jokowi. Tapi, pada saat-saat akhir pengumuman, Jokowi justru memilih berpasangan dengan Ma’ruf Amin.
Namun, jika benar akhirnya Mahfud dapat menghimpun dukungan dari para pendukung di luar pemerintahan, ini akan menguatkan posisinya sebagai cawapres ideal.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. Apakah Pilpres 2024 akan menjadi momentum Mahfud atau tidak. (S83)