HomeNalar PolitikDekan Dukung ISIS, Presiden Turun Tangan

Dekan Dukung ISIS, Presiden Turun Tangan

Kabar adanya rektor perguruan tinggi yang mendukung ISIS, menimbulkan polemik tentang siapa yang sebaiknya mengangkat seorang rektor. Haruskah presiden ikut turun tangan?


PinterPolitik.com

“Informasi dari Pak Menteri Dikti ada seorang dekan yang mau jadi pimpinan perguruan tinggi, tapi justru saat pelantikan baru ketahuan dia itu penganut ISIS. Baru mau disahkan jadi rektor, eh ketahuan.”

[dropcap size=big]U[/dropcap]capan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Jakarta, Kamis (1/6) kemarin ini, tentu membuat banyak pihak terkejut dan prihatin. Menurut Tjahjo, pemerintah lewat Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) menemukan seorang pemimpin fakultas atau dekan yang mendukung ISIS. Dekan salah satu perguruan tinggi swasta tersebut, sebelumnya hendak diangkat menjadi rektor.

Walau telah didesak wartawan mengenai perguruan tinggi mana tempat dekan tersebut bernaung, namun Tjahjo enggan mengungkapkan identitasnya dan hanya mengatakan kalau temuan tersebut langsung ditindaklanjuti pemerintah. Info soal adanya dekan pendukung ISIS ini, lanjutnya, diketahui saat rapat pembahasan pengalihan pemilihan rektor dari Menristek Dikti Muhammad Natsir ke Presiden Joko Widodo.

Temuan ini akhirnya menggulirkan sikap tegas pemerintah, dengan akan disusunnya kebijakan pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN), dengan melibatkan rekomendasi langsung presiden. Dengan kata lain, presiden akan turut andil dalam pemilihan rektor perguruan tinggi negeri. Langkah ini, kata Tjahjo, untuk mengantisipasi maraknya ideologi radikalisme yang merasuki dunia pendidikan.

Antisipasi Radikalisme di Kampus

“Hasil komunikasi kami dengan Pak Mensesneg, Presiden, dan Menristek Dikti, kami kira sudah keputusan terakhir, harus dari Pak Presiden.”

Tjahjo menjelaskan, mekanisme pemilihan akan tetap dimulai dari Kemenristek Dikti dan kementerian terkait lainnya. Setelah itu, nama calon rektor akan diserahkan kepada presiden untuk dikonsultasikan sebelum diputuskan. Skema ini jelas menambah panjang proses pemilihan rektor yang sebelumnya hanya melalui Kemenristek Dikti.

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

“Nantinya, pemerintah juga akan menyesuaikan mekanisme pemilihan rektor. Sebab, selama ini sudah ada regulasi mengenai pemilihan rektor yang sudah digunakan,” tegas Tjahjo. Diharapkan, kebijakan ini dapat mengantisipasi maraknya ideologi radikalisme yang masuk ke kampus. Serta terciptanya integrasi pembangunan bangsa yang bersifat utuh di semua lini, dari pusat hingga daerah, terutama yang menyangkut politik.

“Memang Menristek Dikti sudah menyampaikan bahwa rektor harus bertanggung jawab terhadap kondisi itu. Namun, dalam proses penyeragaman saya kira harus presiden,” sambungnya. Untuk itu, Tjahjo mengundang 63 rektor perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers Indonesia untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang kerjasama dalam penguatan ideologi Pancasila, wawasan kebangsaan, bela negara, dan revolusi mental.

Pemerintah Terlalu Berlebihan

“Intinya itu kerjasama untuk membumikan Pancasila dan bela negara, dan bagian revolusi mental. Pemahaman NKRI dan Bineka Tunggal Ika dalam bekerja dan organisasi.”

Itulah alasan Tjahjo menanggapi pro kontra terkait keputusan pemerintah tersebut. Salah satu yang menolak adalah Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Asep Saefuddin yang menilai pemilihan rektor sejatinya tak memerlukan keputusan presiden, sebab keterlibatan pemerintah sudah diwakili oleh Menristek Dikti. “Sebenarnya kan yang penting Menteri sudah ada arahan presiden, tak tertulis aturannya, tak masalah,” ujarnya.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010, tentang tata cara pemilihan rektor yang mellibatkan suara Menteri dan anggota senat. Perbandingannya, yakni 35 persen Menteri dan 65 persen anggota senat, terdiri atas rektor, para wakil rektor, dekan, para wakil guru besar, wakil bukan guru besar, dan ketua lembaga dalam masalah akademik.

Dari aturan tersebut juga disebutkan, dalam proses pemilihan, perguruan tinggi akan menyerahkan tiga nama calon rektor pada kementerian dan lembaga terkait untuk dilakukan penelusuran rekam jejak.

Baca juga :  The Ultimate Java War

Asep memaklumi bila pemerintah memiliki kekhawatiran akan masuknya ideologi radikalisme dalam kampus, sebab celah untuk itu cukup banyak. Banyaknya urusan administrasi dan akreditasi yang menyita waktu para pemimpin perguruan tinggi membuat perhatian terhadap pembinaan mahasiswa menjadi minim.

Namun, hal itu tak mengartikan pemerintah berupaya mengembalikan masa represif seperti dulu, melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). “Rektor paham mana yang seharusnya dijalankan sesuai ideologi Pancasila,” tandasnya.

Kemunduran Akademis

Kritikan juga muncul dari pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, yang bahkan menyebut keterlibatan presiden dalam pemilihan rektor adalah kemunduran bagi dunia akademis dan demokrasi bernegara. Jika hal ini terjadi, maka bukan hanya terjadi praktik politik masuk kampus yang berlebihan, tetapi juga bentuk paling nyata dari keinginan pemerintah mengontrol kebebasan kampus.

“Tidak ada lagi penyeimbang pemerintah. Intervensi ini jelas mengerdilkan demokrasi kita,” pungkasnya. Kritik yang menganggap wacana pemerintah berlebihan, datang dari Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno. Ia mengatakan, sebagai pusat kegiatan akademis, kampus seharusnya bebas dan netral dari kekuasaan.

“Kampus bukan untuk mengabdi kepada penguasa. Siapa pun penguasa tersebut,” ucapnya, Jumat (2/6). Adi mengatakan, semua pihak sepakat gerakan radikal harus dilawan. Namun tidak lantas  menjadi alasan untuk mengintervensi kampus. Jika ada kasus calon rektor yang terindikasi menjadi simpatisan ISIS, sebaiknya cukup diberhentikan dari tugasnya atau diberi sanksi tegas.

“Jika satu kasus rektor pendukung ISIS ini jadi alasan untuk mengintervensi kampus, maka ke depan publik akan menuntut hak yang sama jika ada pengikut ISIS di sektor pekerjaan‎,” pungkasnya. Turun tangannya pemerintah dalam kegiatan akademisi, apakah akan membuat kampus dikendalikan kembali oleh pemerintahan? Berikan pendapatmu.

(Berbagai sumber/R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...