HomeNalar PolitikDedi Mulyadi Menuju DPP Golkar?

Dedi Mulyadi Menuju DPP Golkar?

Kang Dedi menjadi whip bagi Golkar kubu pemerintah yang telah menyerah kepada Setya dan mulai menaruh harapan kepada Airlangga.


PinterPolitik.com

Whip atau cambuk dalam bahasa Indonesia, di dunia politik diartikan sebagai seorang politisi yang berperan signifikan dalam menggaet suara di internal partai yang penting terhadap sikap atau kebijakan partai.

Sejauh dua minggu terakhir, Dedi Mulyadi yang menjabat Ketua DPD I Golkar Jawa Barat berperan mencambuk suara DPD I di provinsi-provinsi lain hingga ke organisasi-organisasi sayap untuk mendorong diselenggarakannya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) sesegera mungkin.

Saat ini Golkar memang masih menghadapi kegamangan di internal partainya. Banyak suara-suara samar yang tetap menolak Munaslub yang telah diklaim oleh Dedi akan jadi dilaksanakan. Dedi menepis kabar tentang suara-suara tersebut, dan menyebutnya sebagai ‘suara yang tak ingin Golkar solid’.

Ya, bagi Dedi, Golkar saat ini di bawah ‘arahannya’ telah menjadi Golkar paling solid sepanjang sejarah.

Dedi memang secara terbuka telah mendukung Airlangga Hartarto dan secara langsung mengajukan nama Airlangga kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Banyak yang menyebut hal ini terasa ‘aman’ melihat Dedi semakin dekat dan merapat dengan Golkar ‘kubu pemerintah’. (Baca juga: Mungkinkah Setnov Dimakzulkan?)

Di sisi lain, ada juga pihak yang mendukung Munaslub dan majunya Airlangga, namun sebenarnya tidak ada dalam ‘kubu pemerintah’, salah satunya Agung Laksono. Agung yang dekat dengan kubu Akbar Tanjung memang sempat mengatakan kalau dukungan Golkar kepada Ridwan Kamil di Jawa Barat akan dievaluasi pasca Munaslub. Padahal, beberapa pihak menyebut dukungan Golkar kepada Ridwan Kamil sudah integral menjadi dukungan pemerintah, begitu indikasi yang lama terlihat.

Lantas, Dedi Mulyadi yang tentu diuntungkan dengan dorongan kubu Agung Laksono ini, terlihat tidak mengambil kesempatan tersebut. Mungkin Dedi merasa kemungkinan untuk merebut kembali tiket Jawa Barat dengan bantuan Akbar Tanjung CS sangatlah kecil. Ia tetap mengikuti garis dukungan pemerintah dengan mendukung Airlangga.

Lalu, apa yang diincar Dedi? Mungkinkah sehabis pergantian Ketum, Dedi akan turut masuk jajaran DPP Golkar yang baru? Ataukah Dedi malah akan memanfaatkan dukungan DPD II se-Jawa Barat untuk meminta Airlangga mengembalikan dukungan Golkar di Jawa Barat ke tangannya?

Pengabdi Purwakarta

Politics means implementation of the best ideas for the society in the path of wellbeing and progress

-Abhijit Naskar-

Dedi adalah salah satu contoh pemimpin yang merasakan kehidupan dari bawah. Ia lahir di Subang, kabupaten yang letaknya persis di timur Purwakarta, dari keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah prajurit karir TNI yang pensiun dini dan ibunya adalah pegawai Palang Merah Indonesia yang tak pernah mengecap pendidikan formal. Hari-hari muda Dedi pun, diakuinya, diisi dengan membantu ayahnya di sawah garapan.

Karir politiknya kemudian dimulai dari bawah, ketika ia baru saja lulus dari Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman Purwakarta pada tahun 1999. Berkat aktivitas politik kampusnya, ia berhasil meraih kursi DPRD Purwakarta di tahun yang sama melalui Partai Golkar. Karir politiknya ditunjukkan dengan terus memimpin dengan bersih, dan membawanya sampai kursi Bupati Purwakarta saat ini.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Dedi kembali membuktikan integritasnya. Purwakarta dinobatkan menjadi salah satu daerah yang seluruh pejabatnya bersih hampir 100%, menurut laporan KPK pada 2016. Pembangunan di Purwakarta pun berjalan positif, antara lain dengan kebijakan pengadaan listrik dan pembangunan infrastruktur di ribuan kampung sampai penyediaan ratusan ambulans gratis.

Ditambah lagi, Purwakarta pada era kepemimpinan Dedi dikenal dengan adopsi kebudayaan Sunda yang kuat. Kebijakan pemasangan patung-patung wayang dan sinkretisme nilai Islam dengan Sunda menjadi buktinya.

Berkat prestasinya di kabupaten, Dedi bahkan langsung ditunjuk sebagai Ketua DPD I Golkar tingkat provinsi di tahun 2016. Golkar Jawa Barat ikut ketularan popularitas dan elektabilitas Dedi, yang sukses mengonsolidasikan DPD II se-Jawa Barat dan sukses menjalankan kebijakan-kebijakan inovatif di daerahnya.

Kaderisasi partai adalah semangat Dedi sepanjang karirnya, semangat yang telah mengangkatnya dari bawah. Kritik terhadap kaderisasi Golkar, juga sempat menjadi sikap Dedi menyoal pencalonan Ridwan Kamil, pada Oktober lalu.

Sudahkah Bersahabat dengan Ridwan Kamil?

Lantas, masihkah Dedi mengritik pimpinan pusat Golkar dan terus sakit hati karena dikhianati? Kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, tidak! Dedi orang yang penyabar. Sebagai politisi, Dedi juga mengaku mendapat pendewasaan politik dari pemahamannya akan keinginan DPP Golkar di Jawa Barat. Ia malah memberi selamat, dukungan, bahkan akan mengundang Ridwan Kamil untuk pemenangan Jabar.

Hal ini memperkuat indikasi bahwa Dedi yang malu-malu ini tak akan pergi dari Golkar, sekalipun gosip kedekatannya dengan PDIP sempat berhembus. Mungkin ada benarnya, bila Dedi telah berbicara dengan Idrus Marham perihal kesetiaannya kepada Golkar dan tetap akan membantu Golkar di Jabar.

Dukungan dari kader Golkar Jawa Barat lainnya, seperti Agun Gunanjar dan Nurul Arifin nampaknya sudah tak berarti banyak bagi Dedi.

Sebagai seorang pemimpin daerah, Kang Dedi dan Kang Emil memang mempunyai perbedaan mendasar. Kang Emil yang memimpin sebuah kota, apalagi ibu kota provinsi, memiliki tuntutan untuk melakukan modernisasi kota. Inovasi ini dilakukan Emil dengan membuat kebijakan yang ramah terhadap investasi, baik nasional hingga internasional.

Hal ini berbeda dengan Kang Dedi yang memimpin kabupaten dengan 17 kecamatan dan lebih dari 200 desa di dalamnya. Kondisi ini juga menjadikan Kang Dedi tak akrab dengan investasi dan pembangunan kota, serta lebih mengedepankan inovasi pendidikan dan kebudayaan yang mendasar bagi masyarakat desa, seperti program wifi masuk desa dan pembangunan infrastruktur desa.

Karena sekali lagi, proses di dalam penentuan cagub Jabar sangat mengedepankan kedekatan dengan dunia bisnis, seperti halnya pemerintahan Bandung yang empat tahun dipimpin oleh Ridwan Kamil. Jawa Barat adalah pusat industri dan bisnis-bisnis besar di Indonesia, dan nama Ridwan Kamil adalah yang paling tepat di mata Golkar – dan oleh banyak pihak disebut juga tepat di mata kelompok pebisnis. Ada selentingan yang menyebut bahwa Kang Emil didukung oleh banyak pebisnis golongan kelas atas. (Baca juga: Kang Emil Pasti Menang)

Baca juga :  Pramono dan Candu Dinasti Politik

Di tengah perbedaan tersebut, Dedi dan Emil selalu saling memuji dan menunjukkan persahabatan. Rivalitas Dedi dan Emil yang sering digambarkan media, seolah sudah tidak relevan lagi. Dedi sepertinya akan mencari (atau telah mendapatkan) jalan lain menuju kekuasaan yang lebih tinggi, yakni melalui kisruh Golkar pusat.

Vokalnya ia menghadapi kisruh Golkar pusat bisa jadi obat pahitnya dari Jawa Barat. Dengan begitu, ia berharap sembuh dan malah mendapatkan pencapaian politik yang lebih tinggi lagi di pusat, katakanlah dengan menjadi pengurus pusat.

DPP Golkar, Jalan Dedi Selanjutnya

Sang Dangiang Ki Sunda (orang Sunda dengan perangai bersih) sedang mengambil jalan cepat menuju kekuasaan, sekalipun dia tak terlihat berambisi mengejar kuasa. Berkali-kali terlihat dewasa dan bijaksana menyikapi dirinya yang diabaikan oleh DPP Golkar, kini ia ingin ikut mengobrak-abrik DPP Golkar tersebut.

Usaha Dedi sejauh ini ditunjukkan dengan mendorong Munaslub pasca Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka. Sejak awal, dia adalah yang paling vokal menggagas pergantian Setya Novanto pasca-penetapan tersangka e-KTP untuk kedua kalinya.

Menurutnya, jajaran elit Golkar akan terus mengulur Munaslub sekalipun nanti Setya kalah di praperadilan. Skenario rapat-rapat pleno yang dilakukan DPP Golkar untuk mengulur kasus Papa Minta Saham waktu itu, adalah salah satu buktinya. Karenanya, Munaslub adalah suatu keharusan, dan mendorong Airlangga adalah cara terbaik untuk tetap dekat dengan Jokowi.

Selain Airlangga ‘diangkat’ dengan dukungan dari jajaran atas, seperti presiden, wapres, dan elit Golkar lain, Dedi juga berperan penting dalam menggalang dukungan dari bawah. Dedi menyokong Airlangga dalam kurun waktu seminggu, dengan menggalang dukungan resmi dari 32 DPD I Golkar di seluruh Indonesia, hal yang patut diapresiasi di tengah masih kuatnya pengaruh Setya Novanto di daerah.

Sungguh kemampuan cambuk yang luar biasa.

Dedi ibarat foot soldier yang bergerilya mencari dukungan ke daerah-daerah. Bahkan, tak hanya DPD hampir seluruh provinsi, ormas-ormas sayap Golkar pun telah diklaim mendukung Airlangga. Adu kuat setidaknya telah berjalan seimbang antara kubu Setya Novanto dengan kubu Airlangga Hartarto.

Ada dua skenario jalan politik Dedi bila sukses mengantarkan Airlangga ke singgasana: mengambil jabatan yang sudah pasti akan diberikan oleh Airlangga kepadanya di DPP, atau kembali ke DPD Jawa Barat dan meminta Airlangga memberikan rekomendasi dirinya untuk Pilkada Jawa Barat 2018.

Di ujung usahanya, Dedi seperti tak mengharapkan Pilgub Jabar kembali ke tangannya. Dia tahu, Kang Emil sahabatnya, adalah yang paling cocok sebagai calon dari Golkar untuk Jawa Barat, partai para pengusaha ini.

Sementara jalan menuju Sekretariat Jenderal DPP Golkar akan lebih terbuka lebar untuknya.

Selamat tinggal, Idrus Marham. (R17)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...