Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menunjuk Deddy Corbuzier sebagai Duta Komponen Cadangan (Komcad) TNI. Deddy juga terlihat menemani lawatan Prabowo kala mengunjungi petinggi militer Amerika Serikat (AS) baru-baru ini. Apakah Deddy akan menjadi senjata andalan Prabowo di Pilpres 2024?
Siapa yang tidak mengenal Deddy Corbuzier? Mentalis yang kini identik dengan siniar (podcast) #CLOSETHEDOOR itu memiliki total puluhan juta pengikut di berbagai media sosialnya. Per 26 Oktober 2022, Deddy memiliki 19,7 juta pengikut di YouTube dan telah ditonton sebanyak 4.339.301.114 (4,3 miliar) kali. Deddy memiliki 11,4 juta pengikut di Instagram, 4,9 juta di Facebook, dan 4,3 juta di Twitter. Bila ditotal, angka itu bisa mencapai 40,3 juta.
Deretan angka itu sekiranya menasbihkan Deddy sebagai sosok yang begitu populer dan sekaligus begitu berpengaruh. Seperti dijelaskan profesor psikologi Mitch Prinstein dalam bukunya Popular: The Power of Likability in a Status-Obsessed World, sejak ribuan tahun yang lalu, popularitas adalah faktor psikologis yang menunjang kesuksesan karier seseorang. Baik ketika kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, popularitas menjadi faktor pembeda kesuksesan.
Realitas sosial itu sekiranya membuat Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menjalin hubungan baik dengan Deddy saat ini. Pendekatan itu makin kentara setelah Prabowo menunjuk Deddy sebagai Duta Komponen Cadangan (Komcad) TNI.
Baru-baru ini, Deddy juga terlihat menemani Prabowo ke Amerika Serikat (AS) untuk bertemu petinggi militer negeri Paman Sam. Momen itu juga turut diunggah Deddy dalam media sosialnya. Unggahan itu mendapat ratusan ribu likes dan ribuan komentar.
Atas kedekatan ini, jika nantinya maju sebagai capres di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, mungkinkah Deddy menjadi juru bicara (jubir) kampanye Prabowo? Terlebih, tawaran ini juga pernah disebutkan Prabowo dalam siniar #CLOSETHEDOOR pada 13 Juni 2021.
Selebritas Politik
Fenomena begitu menggairahkannya seorang Deddy Corbuzier dalam konteks politik dijelaskan oleh Pramod K. Nayar dalam bukunya Seeing Stars: Spectacle, Society and Celebrity Culture. Menurutnya, saat ini kita hidup dalam budaya selebriti (culture of celebrity).
Kini selebriti memegang berbagai peranan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika sebelumnya selebriti hanya sebagai penghibur, saat ini selebriti dapat menjadi pembawa suara kelompok marginal, sarana marketing, hingga simbol politik negara.
Kita bisa ambil contoh boyband asal Korea Selatan (Korsel) yang dikenal sebagai BTS (Bangtan Boys). Tidak hanya menjadi salah satu boyband paling ikonik, BTS telah menjadi ikon ekonomi dan politik negeri Ginseng. BTS bahkan telah ditetapkan sebagai ikon global Korsel dan pernah ditunjuk sebagai utusan khusus presiden.
Pada September 2021, misalnya, BTS mewakili Korsel menghadiri Sidang Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar di New York, AS.
Suka atau tidak, pengaruh politik yang serupa dengan BTS sekiranya mulai terlihat dalam diri Deddy. Seperti yang disebutkan Vania Evan dalam tulisannya Once a mentalist: How Deddy Corbuzier became a political force, siniar Deddy tidak seperti siniar lainnya karena memiliki pengaruh terhadap politik nasional.
Pesona Deddy membuat berbagai elite politik dan petinggi negeri datang ke siniar #CLOSETHEDOOR. Mungkin hanya menunggu waktu sampai Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk duduk bercakap-cakap dengan Deddy di siniarnya.
Kembali pada pertanyaan sebelumnya terkait kemungkinan Deddy menjadi jubir kampanye Prabowo, jawabannya tentu sangat mungkin. Deddy memiliki kompetensi kemampuan komunikasi yang sangat mumpuni untuk menjalankan peran itu.
Terlebih lagi, jika memperhatikan siniar #CLOSETHEDOOR, konten Deddy memiliki jangkauan target massa yang terbilang komplit. Mulai dari penikmat konten sederhana hingga konten politik serius, semuanya disajikan Deddy.
Jika #CLOSETHEDOOR adalah sebuah partai politik, maka siniar ini dapat disebut sebagai catch-all party atau partai yang terbuka dan menyerap semua kelompok massa.
Sedikit intermeso, di Indonesia, catch-all party telah lama menjadi rahasia Partai Golkar dalam mempertahankan perolehan suaranya di pemilihan legislatif.
Lantas, jika benar-benar menjadi jubir kampanye Prabowo, apakah Deddy akan menjadi senjata politik yang mematikan?
Deddy adalah Senjata Mematikan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengutip kembali buku Popular karya Mitch Prinstein. Di sana, Prinstein membagi popularitas menjadi dua bentuk.
Pada bentuk pertama, popularitas dapat menunjang kesuksesan seseorang. Namun, pada bentuk kedua, popularitas justru menjadi bumerang yang dapat menyakiti hingga membunuh.
Kata kunci yang disebutkan Prinstein adalah disukai atau likability. Jika memiliki likability yang tinggi, popularitas adalah berkah. Sebaliknya, jika popularitas tumbuh dari rasa tidak disukai atau bahkan kebencian, popularitas adalah pisau yang membahayakan.
Pada kasus Deddy, engagement konten yang tinggi menunjukkan likability yang tinggi. Siniar Deddy hampir selalu ditonton jutaan pasang mata. Membandingkannya dengan kanal YouTube Atta Halilintar dan Baim Wong, konten kedua YouTuber itu rata-rata hanya ditonton ratusan ribu pasang mata.
Sebagai pembanding, per 26 Oktober 2022 pengikut channel YouTube Atta sebanyak 30 juta dan Baim sebanyak 20,8 juta. Jumlah pengikut keduanya melebihi pengikut channel YouTube Deddy yang sebanyak 19,7 juta.
Kemudian, ini yang terpenting, branding Deddy sangat berbeda dengan YouTuber lainnya. Seperti disebutkan Vania Evan, siniar #CLOSETHEDOOR memiliki pengaruh terhadap politik nasional. Deddy telah lama membangun branding bahwa dirinya adalah penyalur suara masyarakat.
Menariknya, seperti yang telah disebutkan, suara yang disalurkan Deddy tidak terpaku pada satu kelompok masyarakat, melainkan hampir semua elemen masyarakat. Ini adalah kata kunci yang membuat siniar Deddy hampir selalu ditonton oleh jutaan pasang mata.
Konsekuensi New Media
Siniar #CLOSETHEDOOR adalah kekuatan politik itu sendiri. Ini adalah konsekuensi dari new media (media baru), yakni hadirnya media sosial seperti YouTube sebagai akses informasi yang menyaingi media massa tradisional.
Diana Owen dalam tulisannya The New Media’s Role in Politics menyebut new media secara radikal mengubah cara lembaga pemerintah beroperasi dan cara para pemimpin politik berkomunikasi. New media telah mendefinisikan ulang cara pemilihan umum diperebutkan dan bagaimana warga negara terlibat dalam politik.
Jika sebelumnya media massa tradisional memainkan peran kunci karena menjadi akses utama informasi politik, hadirnya new media telah mendobrak hegemoni tersebut. Kini, hanya bermodal kuota internet dan akun media sosial, setiap pihak dapat menyalurkan suara politiknya.
Dan yang terpenting, berbeda dengan media massa tradisional yang memiliki batasan durasi dan topik diskusi, new media memberikan kebebasan yang luar biasa terhadap pengguna dan penikmatnya. Setiap pihak dapat bersuara panjang lebar dan membahas apa pun yang mereka inginkan.
Poin itu sangat terlihat pada siniar #CLOSETHEDOOR. Berbagai pihak yang hadir bebas untuk menyuarakan pikirannya tanpa perlu mengkhawatirkan durasi dan represi topik. Deddy juga menggunakan siniarnya sebagai corong kebebasan untuk menyuarakan kegelisahan dan penalarannya.
Jika nantinya menjadi jubir kampanye Prabowo di Pilpres 2024, sosok Deddy sekiranya akan menjadi pembeda. Popularitas dan likability yang tinggi membuat suara Deddy akan didengarkan oleh hampir semua elemen masyarakat.
Kita mungkin akan disajikan narasi-narasi intelektual ketika Deddy mendemonstrasikan kenapa masyarakat perlu memilih Prabowo.
Well, sebagai penutup, tentu harus digarisbawahi bahwa artikel ini adalah interpretasi semata. Semuanya ada di tangan Deddy. Benar tidaknya ada tawaran untuk menjadi jubir kampanye Prabowo juga belum bisa dikonfirmasi.
Namun, yang jelas, Deddy Corbuzier dapat dikatakan sangat kompeten untuk mengisi peran politik itu. Deddy sangat potensial untuk menjadi senjata politik andalan Prabowo Subianto. (R53)