Idealnya, debat capres menjadi faktor untuk mempengaruhi preferensi pemilih. Sayangnya, debat capres kedua beberapa waktu lalu berpotensi tak memenuhi hal tersebut
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]iasanya di sebuah restoran atau rumah makan, masyarakat selalu senang jika memilih menu paket yang disediakan. Paket hemat kerap menjadi top of mind pengunjung yang ingin menikmati paket lengkap di restoran cepat saji tersebut. Selain lengkap, paket lengkap tersebut juga terjangkau kantong dengan beragam varian di dalamnya. Tentu pengunjung pun puas. Perusahaan juga untung.
Sayangnya, kondisi perpolitikan tanah air jelang Pilpres 2019 kini tak seperti restoran yang menyajikan paket lengkap dan memuaskan bagi para penontonnya. Apalagi di gelaran debat yang baru saja berlangsung pada hari Minggu, 17 Februari kemarin.
Alih-alih masyarakat semakin tercerahkan dan bersemangat dalam menentukan hak pilihnya pada bulan April nanti, hasil debat kedua justru berpotensi berakibat sebaliknya.
Apa yang salah sesungguhnya? Atau siapa yang salah? Tentu pernyataan itu tidak akan mudah di jawab. Namun menilai performa kedua paslon di gelaran debat kemarin menjadi penting untuk diperbincangkan. Selain itu, dampak yang ditimbulkan dari buruknya performa keduanya bagi para pemilih juga menjadi penting untuk dikupas secara tajam.
Lantas bagaimana menyikapi menu paket hemat Jokowi-Prabowo ini dari kacamata seorang pemilih?
Debat dan Dampak Politiknya
Debat kandidat Pilpres sesungguhnya merupakan momentum krusial dalam sebuah gelaran pemilu.
Idealnya, menurut John Avlon dari CNN, dalam panggung debat, para kandidat yang bersaing tak bisa lagi bersembunyi di balik gelimang uang yang mereka miliki, iklan televisi, atau tim sukses yang mereka miliki.
Oleh karenanya, panggung debat sejatinya merupakan panggung bagi kandidat untuk diuji berdasarkan pengetahuan mereka tentang kebijakan serta kemampuan untuk berpikir dan berbicara. Sehingga, dari sini pemilih benar-benar bisa menentukan mana yang layak untuk dipilih.
Namun nampaknya idealitas tersebut cukup kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia.Tak hanya di debat pertama para penonton dibuat kecewa oleh penampilan dua pasangan calon yang akan bertarung di bulan April mendatang. Tapi juga di debat kedua yang berlangsung pada Minggu, 17 Februari kemarin.
Realitas tersebut didukung dengan adanya data survei Populi Center, sebelum debat perdana digelar pada 17 Januari lalu, dengan elektabilitas mencapai 62,5%, sebanyak 88,9% pemilih menyatakan mantap mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sedangkan yang masih memungkinkan berubah adalah sebesar 8,6%. Pasca debat perdana yang menyatakan tidak akan berubah pilihan sebesar 90,8% dan kemungkinan berubah pilihan politiknya sebesar 6,2 %
Sedangkan di kubu Prabowo Subianto- Sandiaga Uno yang mendapat elektabilitas 36,4%, memiliki pemilih loyal pra debat mencapai 82,6 % dan yang kemungkinan berubah sebesar 13,3%. Sementara pasca debat, 85,5% diantaranya memutuskan tidak akan berubah pilihan pilihan politik dan sebesar 11,3% menyatakan kemungkinan berubah pilihan politiknya.
Jika melihat komposisi perubahan pemilih loyal, data yang ada menunjukkan bahwa debat kandidat belum mampu menjadi trigger factor yang mampu merubah secara drastis preferensi pemilih. Memang, terjadi kenaikan keyakinan piliihan dari masing-masing kubu, tetapi persentasenya hanya sekitar 1-3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih telah terbagi ke dalam pendukung kedua kubu.
Terlebih lagi, menurut Litbang Kompas ada kelompok undecided voters yang nampaknya dilupakan oleh kedua belah pihak. Padahal jumlah undecided voters ini sebanyak 14,7 % dengan sebanyak 5,0 % menyatakan tidak akan menetapkan pilihan politik, sedangkan 95 % nya memungkinkan untuk memutuskan kemana pilihan mereka akan berlabuh.
Lalu bagaimana dengan debat kedua, apakah debat tersebut bisa memberi perubahan pada preferensi pemiih?
Kejatuhan Performa
Sebagai seorang calon petahana, Jokowi memang memiliki privilege untuk menggelorakan capaian-capaian kerjanya selama ia menjabat sebagai presiden. Namun apa jadinya jika gelora capaian kerja itu tak sejalan dengan realitas data?
Dalam hal ini Jokowi telah melakukan blunder data. Menyoal kerusakan lingkungan misalnya. Kritik beberapa aktivis lingkungan pun pada akhirnya bermunculan dari berbagai blunder data yang diucapkan Jokowi. Salah satunya datang dari Greenpeace Indonesia.
Tanggapan Jokowi terkait upaya penanganan kerusakan lingkungan, mengatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir pemerintahannya sudah melakukan penegakan hukum tegas dengan dibayarnya denda sebesar Rp 18,3 triliun akibat kerusakan lingkungan oleh 11 perusahaan, namun nyatanya tak ada sepeserpun uang mengalir.
Ia juga sesumbar jika selama masa pemerintahannya, hampir tak ada konflik Agraria yang terjadi. Padahal, menurut catatan Walhi, sepanjang tahun 2018 saja, ada 555 konflik agraria yang masih belum terselesaikan.
Berikutnya adalah klaim Jokowi kalau pemerintahannya berhasil mengatasi kebakaran lahan gambut. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada 2015 ada 891.275 hektare lahan gambut yang terbakar. Sedangkan di tahun 2016 turun menjadi 97.787 hektare dan 13.555 hektare pada 2017. Namun pada 2018, angka kebakaran kembali menunjukkan kenaikan drastis menjadi 125.340 hektar.
Lihat siapa saja yang menguasai lahan baik di kubu @jokowi maupun di kubu @prabowo. Inilah kenapa penting keterbukaan informasi HGU supaya dapat diakses oleh publik dan kita bisa bersama mengawasi SDA Indonesia.
Gimana nih @atr_bpn berani gak buka data HGU? #kepoitubaik #golhut pic.twitter.com/QQ6p8wvJHv
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) February 19, 2019
Sementara itu, Prabowo tak memanfaatkan momentum kekeliruan data Jokowi tersebut dan tak menunjukkan taringnya dalam ring debat kemarin. Ia seperti kehilangan momentum untuk benar-benar menelanjangi program-program Jokowi yang sebetulnya banyak memiliki celah kritik.
Padahal, sengkarut impor dan infrastruktur selama ini menjadi senjata andalan BPN untuk konsisten menyerang petahana di berbagai kesempatan.
Dalam berbagai pernyataannya, Prabowo justru tercatat enam kali memberikan apresiasi terhadap apa yang disampaikan oleh Jokowi.
Padahal, menurut Jon A. Krosnick, seorang professor Psikologi dan Ilmu Politik dari Ohio State University menyebut bahwa performance approval atau penerimaan performa merupakan salah satu aspek psikologis yang mempengaruhi preferensi pemilih dalam sebuah gelaran pesta demokrasi. Maka, dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama mengalami kejatuhan performa dalam gelaran debat kemarin.
Penonton Kecewa
Dampak yang ditimbulkan dari kejatuhan performa debat tersebut bisa saja cukup berbahaya. Di tengah menguatnya gerakan golput di Indonesia, hasil debat juga terkesan tak memberi pengaruh banyak pada perilaku memilih masyarakat. Padahal waktu pemilihan kurang dari dua bulan lagi.
Tak seperti di restoran cepat saji yang memiliki beragam menu makanan, dalam konteks pilpres ini pemilih tak bisa menolak paket hemat Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang kadung ditawarkan.
Sayangnya, dalam proses yang seperti ini, konsumen sangat rentan untuk dikecewakan. Karena kondisi ini menyebabkan pemilih memilih tidak berdasarkan rasionalitas mereka namun lebih kepada mobilisasi dan eksploitasi psikologis. Hal itu yang disebut oleh Krosnick sebagai sisi gelap psikologis pemilih dalam pemilu.
Int’l Test of Indonesian Language (InTIL)
Bule : Menang means Prabowo, Maju means Jokowi?
Gareng (Penguji) :Your eyes!!! Menang is win, maju is making some progress.
Bule: O I see. How about fitnah? Fitnah means Kubu Prabowo?
Gareng: No! Slander.
Bule: And Bohong is …?
— Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) February 18, 2019
Menurut Krosnick, ibarat pemilu adalah sebuah pasar dimana terjadi proses jual beli, sebagian besar pemilih diwajibkan membeli barang yang cacat. Sederhananya, seorang pemilih memutuskan apa yang dianggapnya bagus berdasarkan preferensi orang lain.
Maka menurut Krosnick meskipun selama debat yang disiarkan televisi, meskipun pemilih mengikuti jalannya debat, pada akhirnya faktor-faktor lain juga dapat mempengaruhi keputusan pemilih.
Sebagai contoh, dalam pemilihan presiden AS 2008, banyak pemilih lebih dipengaruhi oleh faktor etnis dari kandidat presiden Barack Obama dan John McCain, meskipun hal ini tidak disadari. Masyarakat dengan prasangka rasial yang lebih tinggi cenderung akan memilih Obama.
Bisa saja hal serupa juga terjadi dalam konteks pemilih di Indonesia. Alih-alih debat pilpres menjadi sarana membuka kewarasan publik, yang terjadi justru hanya retorika formalitas belaka. Sehingga preferensi pemilih yang terbentuk bisa saja hanya akan terbatas pada aspek psikologis non-rasional.
Pada akhirnya, seiring dengan semakin dekatnya hari pencoblosan, pemilih kini tak memiliki kuasa lagi kecuali menerima apa yang ada. Dalam hal ini, kedua kandidat capres tak terlalu berhasil sejak dalam debat untuk meyakinkan pemilihnya dengan cara-cara rasional. Tampaknya, para kandidat perlu bekerja keras di debat-debat berikutnya agar pertarungan berjalan menarik sehingga perilaku memilih masyarakat dapat benar-benar terpengaruh.(M39)