Jakarta akan mencari pemimpin baru untuk lima tahun ke depan. Ada 3 pasangan calon saat ini yang bertarung untuk menduduki kursi DKI 1. Lazimnya, di negara-negara demokrasi lainnya, salah satu indikator untuk mengetahui kualitas pasangan calon, Komisi Pemilihan mengadakan debat. Dalam debat tersebut, para pasangan calon memaparkan visi dan misi untuk memimpin. Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta sudah mengadakan 3 kali debat.
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ilkada DKI Jakarta akan diselenggarakan besok. Ada banyak program dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah di Ibukota Jakarta. Program-program tersebut telah dipaparkan dalam 3 kali debat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), debat terbuka yang diselenggarakan oleh televisi-televisi swasta maupun pada saat kampanye ke masyarakat. Pilihan ada di tangan masyarakat. Adalah hak rakyat untuk menentukan pemimpin masa depan.
Untuk sedikit refresh yang bisa dijadikan bahan pertimbangan kembali bagi masyarakat untuk memilih calon Gubernur atau menambah wawasan bagi pemilih yag belum menentukan pilihan. Inilah fact checking beberapa hal di debat final Pilkada.
Dalam debat tersebut ada 3 masalah utama yang disoroti terkait dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, yaitu pemberantasan peredaran narkoba, menurunkan angka kekersan terhadap perempuan dan anak serta Jakarta sebagai kota yang ramah penyandang disabilitas. Para pasangan calon diminta memaparkan komitmen mereka yang tertuang dalam program-program yang telah mereka buat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Inilah hasil fact-checking statement mereka.
Pemberantasan Narkoba
Dalam debat ke-3 Pilkada DKI Jakarta, secara garis besar panelis menanyakan upaya apa yang akan dilakukan oleh para pasangan calon untuk memberantas narkoba jika terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Serta apa program yang akan mereka jalankan. Menjawab pertanyaan ini, Sylvi terlebih dahulu memaparkan data bahwa ada perhari 500.000 kasus narkoba sehinga kondisi Jakarta bisa digolongkan sebagai darurat narkoba.
Penyatan ini salah. Berdasarkan data penyalahgunaan narkoba di Jakarta tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Narkotik nasional ada 365.000 kasus penyalahgunaan narkoba. Sylvi memang tidak menyebutkan secara spesifik tahun data yang dia kutip. Akan tetapi jika kita membandingkan pernyataan Sylvi dengan data tahun 2014 yang dikeluarkan oleh BNN di atas, maka akan ada lebih dari 365.000 kasus penyalahgunan narkoba di Jakarta. Terkait dengan pernyataan Sylvi tentang Jakarta sudah darurat narkoba, fakta ini tidak didukung pernyataan dari pihak yang berwenang.
Hal senada juga disampaikan oleh Anies Baswedan. Dia mengatakan bahwa peningkatan kasus penyalahgunaan narkoba adalah 35 persen. Pernyataan ini berbeda dari data yang dilansir dari laporan BNN tahun 2014, yaitu persentase prevelansi penyalahgunaan narkoba adalah 2 persen dari jumlah penyalahgunaan narkoba di Jakarta. Sedangan Jawa Barat yang ditemukan ada sekitar 780.000 kasus pada tahun 2014 tapi hanya mengalami peningkatan 4.5 persen.
Namun walau ada pertumbuhan, susah diartikan pernyataan Sylvi bahwa tiap harinya ada 500.000 penyalahgunaan narkoba, karena insiden narkoba dan penggunaan per hari suatu hal yang sama sekali berbeda.
Kuasa Gubernur DKI, Siapa yang Benar?
Sedangkan Ahok mengatakan
Salah satu komitmen pasangan Agus-Sylvi dalam memberantas narkoba yang disampaikan oleh Agus adalah menindak tegas pengedar narkoba dengan meyakinkan bahwa penegakan hukum terhadap pengedar narkoba benar-benar dilakukan. Para pengedar narkoba akan diberi hukuman yang setegas-tegasnya. Sedangkan bagi korban harus ada rehabilitasi dan diberdayakan agar berguna kembali di masyarakat. Ahok merespons komitmen ini dengan mengatakan bahwa Gubernur tidak mempunyai otoritas untuk menghukum pengedar narkoba. Namun jika Pernyataan ini jika dianalisis dengan kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan Bab IV Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, ranah menghukum atau yustisi merupakan kekuasaan absolut yang kewenangannya hanya di Pemerintah Pusat. Gubernur bisa menjalankan urusan-urusan kekuasaan absolut hanya apabila Presiden melimpahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah. Jadi, pernyataan Ahok benar bahwa Gubernur tidak dapat menghukum pelaku pengedar narkoba.
Pernyataan Anies tentang komitmennya dengan Sandi jika terpilih menjadi Gubernur tekesan ingin membuat peraturan daerah dengan muatan pidana karena dia menyebutkan sanksi bagi pengedar narkoba. Secara umum pengedar narkoba adalah individu atau orang. Ranah hukum yang dipakai oleh undang-undang untuk menghukum pengedar narkoba adalah hukum pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, pidana memang mejadi salah satu materi muatan peraturan daerah. Komitmen untuk menghukum pelaku pengedar narkoba dengan Peraturan daerah akan mengakibatkan redundan pada peraturan karena sanksi bagi pengedar narkoba sudah diatur oleh Undang-Undang Nasional. Hal ini juga akan mengakibatkan ketidakefektifan penerapan Peraturan Daerah karena berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Daerah berada di bawah Undang-Undang Nasional. Jadi, sangat tidak pas secara hukum meemberantas narkoba dengan membuat Peraturan Daerah.
Pertanyaan selanjutnya dalam debat, panelis menanyakan apa komitmen para paslon untuk membuat Jakarta menjadi kota ramah penyandang disabilitas. Anies menanggapi pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa kualitas transportasi umum Jakarta sangat buruk. Dia menambahkan kualitas transportasi umum Jakarta berada di bawah Malaysia.
Menanggapi pernyataan ini, Ahok mengelak dengan mengatakan bahwa Pemerintah DKI Jakarta sudah banyak melakukan investasi untuk urusan diffable dengan membangun halte yang diberi penghalang agar motor tidak dapat lewat tetapi bisa dilewati kursi roda. Dia juga menambahkan bahwa Pemda sudah membeli bis-bis Transjakarta dengan tambahan suspensi agar shockbreaker bis bisa miring dan sejajar dengan halte agar pada saat bis berhenti di halte, kursi roda bisa lewat. Dan mengatakan, “Kami heran paslon 1 sama 3 ini terkadang kerap membangun opini menyesatkan. Jangan heran kami sudah beli banyak bus yang shockbreaker-nya bisa miring, supaya kursi roda turunnya pun rata. Suspensi harus tambah 1 miliar demi penyandang disabilitas,” cetus Ahok.
Menurut riset kami – perkataan Anies memang secara fakta benar. Direktur Utmaa PT Transjakarta memaparkan Koridor 13 Transjakarta belum resmi dibuka dan digunakan. Walau mengatakan “Transjakarta tidak pernah terpanggil berpolitik Tetapi, karena statement ini (Anies) sifatnya publikasi dan membuat masyarakat bertanya-tanya, maka kami perlu luruskan supaya publik jangan salah persepsi,” ucap Budi.
Budi menegaskan bahwa di tempat tersebut akan dipasangi lift yang saat ini sedang dalam tahap pengukuran. Jadi perkatan Anies benar, dan pernyataan Ahok bahwa Anies membuat persepsi yang salah tidak benar karena Anies menggunakan fakta yang benar. Terlebih lagi, walau bus Transjakarta memang adiffable friendly, jika warga diffable tidak bias naik karena tidak ada jembatannnya ini menjadi problema yang ril.
Idealnya, jika Jakarta sudah mejadi kota ramah penyandang disabilitas seharusnya perencanaan dan realisasi dilakuka saat yang bersamaan. Bukan pada waktu dekat dengan masa Pilkada.
Tindakan Kekerasan Pada Perempuan
Pada sesi tanya jawab, Sylvi bertanya ada Ahok bagaimana bisa seorang Gubernur menurunkan tingkat kekerasan perempuan padahal Gubernur itu sendiri adalah pelaku tindakan kekerasan verbal terhadap perempuan. Kasus yang dimaksud oleh Sylvi adalah tindakan Ahok meneriaki seorang ibu maling. Ahok mengatakan bahwa pernyataa Sylvi bahwa Ahok adalah pelaku kekerasan verbal terhadap perempuan yang disebutkan oleh Sylvi adalah fitnah. Ahok juga mengatakan bahwa paslon 1 membesar-besarkan kasus.
Tindak kekerasan verbal yang disebutkan oleh Sylvi adalah tindakan Ahok meneriaki seorang ibu maling karena mengambil uang KJP secara kontan. Faktanya, Ahok memang meneriaki seorang ibu maling. Meskipun belum jelas pembuktiannya apakah ibu ini maling atau tidak. Ahok tidak melanjutkan tindak pidana terhadap ibu ini walau ibu ini ingin memidanakan Ahok atas kasus pencemaran nama baik. Seperti yang ia ceritakan dalam artikel Detik ini. Jadi untuk statement Sylvi dan Ahok, judgement kami adalah dua-duanya mengeluarkan statement normatif yang ambigu. (E25)