Seri pemikiran Kishore Mahbubani #29
Pembubaran FPI bisa saja berbahaya dalam jangka panjang karena hanya memotong puncaknya saja. Dengan gerakan yang sudah masif mengakar, bukan tidak mungkin FPI-FPI lain akan muncul dalam wajah yang berbeda, dengan tokoh-tokoh lain pula. Sejarah telah membuktikan, salah strategi menangani kelompok-kelompok yang demikian akan mengulang kisah DII/TII yang disebut sebagai salah satu akar terorisme Indonesia saat ini.
“If you kill a tumor, another tumor can appear. Unless you look at what’s wrong with the whole body”. – Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura ketika berbicara tentang ISIS
Di penghujung tahun 2020, pemerintah membuat keputusan besar yang mungkin akan jadi salah satu yang terbesar untuk tahun tersebut. Ya, keputusan tersebut adalah melarang aktivitas Front Pembela Islam atau FPI. Dalam konferensi pers yang digelar oleh Menko Polhukam Mahfud MD beserta beberapa menteri dan pimpinan lembaga negara, pemerintah secara resmi dan tegas menyatakan pelarangan terhadap aktivitas organisasi yang identik dengan warna putih-putih ini.
FPI dianggap tidak lagi punya legal standing karena secara de jure sebetulnya telah “bubar” pada 21 Juni 2020, pasca berakhirnya masa berlaku Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang hingga saat ini belum juga diperpanjang. Dengan demikian, berdasarkan peraturan yang ada, aktivitas FPI bisa dilarang.
Pemerintah juga mendasarkan keputusan tersebut untuk menjaga konsensus terkait Pancasila sebagai ideologi Indonesia, juga UUD 1945 sebagai konstitusi dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai moto nasional yang kesemuanya dianggap mulai “terancam” dengan berbagai pernyataan dan aktivitas FPI. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI juga dianggap bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Baca juga: Prabowo Tersandung Mimpi Maritim Tiongkok?
Konteksnya juga makin menarik karena pemerintah menyinggung soal kasus-kasus hukum yang melibatkan ormas tersebut. Misalnya, disebutkan bahwa ada pengurus dan anggota atau mantan anggota FPI sejumlah 35 orang yang terlibat tindak pidana terorisme dengan 29 orang di antaranya telah dijatuhi sanksi pidana. Di samping itu, sejumlah 206 orang anggota FPI terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dengan 100 di antaranya telah dijatuhi sanksi pidana.
Pada saat yang sama, sekalipun belum mendapatkan perpanjangan SKT, FPI dianggap tetap kerap melakukan aksi razia dan sweeping yang seharusnya menjadi wewenang aparat penegak hukum. Ini juga menjadi pertimbangan lain ormas yang dipimpin oleh Rizieq Shihab tersebut ditetapkan terlarang. FPI juga disebut pemerintah pernah menyatakan dukungan terhadap ISIS yang nota bene dianggap sebagai organisasi terorisme dunia.
Tentu pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah langkah show off power atau pamer kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah ini adalah hal yang tepat? Atau strategi yang dilakukan dengan men-chop atau memotong pucuk organisasi ini – mulai dari penahanan Rizieq Shihab, hingga pelarangan aktivitas organisasi – sudah tepat dilakukan? Seperti apa masalah ini dilihat dalam bingkai perspektif akademisi dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani?
De-FPI-isasi, Kesalahan Bersejarah?
FPI tanpa Rizieq Shihab memang seperti ayam tanpa kepala yang untuk beberapa saat masih bisa berjalan, namun hilang arah. Strategi pemerintah yang menahan terlebih dahulu Rizieq memang menjadi rangkaian langkah terhitung yang sudah dirancang sedemikian rupa.
Bahkan, reshuffle kabinet beberapa waktu lalu sepertinya juga punya arah untuk mengamankan kebijakan besar ini, di mana Presiden Jokowi menunjuk Edward Omar Sharif Hiariej alias Profesor Eddy Hiariej yang adalah guru besar ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM. Pengumuman pelarangan aktivitas FPI dibacakan langsung keputusannya oleh Profesor Eddy.
Menempatkan seorang guru besar hukum di barisan tokoh-tokoh besar kabinet dan bahkan diminta untuk membacakan keputusan hukum yang dibuat nyatanya memang punya efek psikologis secara tidak langsung dari isi keputusan tersebut. Apalagi, Prof Eddy adalah akademisi yang terpandang dan punya track record mentereng dengan segala kapabilitas akademisnya.
Yang jelas, terlepas dari hal tersebut, pelarangan FPI ini jadi tonggak lanjutan dari sebuah proses besar yang bisa disebut sebagai “de-FPI-isasi” atau proses untuk menekan dan menghilangkan pengaruh organisasi massa Islam ini.
Istilah ini mirip dengan yang dilakukan Soeharto terhadap Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Benny Moerdani, yang awalnya merupakan sekutu sang presiden, namun kemudian berbalik mengkritiknya. Soeharto melakukan apa yang oleh Stefan Eklöf dalam bukunya Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia disebut sebagai “de-Benny-isasi” atau membersihkan pengaruh Benny dari militer.
Dalam konteks dan cara yang berbeda, de-FPI-isasi sepertinya menjadi wajah baru dari upaya pemerintah menyingkirkan kelompok yang dianggap bisa berbahaya bagi konteks kekuasaan yang ada saat ini.
Langkah pemerintah ini memang sudah terukur pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, ketika FPI menjadi salah satu organisasi yang menggerakkan aksi massa bela Islam yang memutihkan Jakarta terkait penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Pasca kejadian tersebut, pemerintah memang telah menghitung langkah terkait apa yang akan dilakukan terhadap kelompok-kelompok Islam konservatif. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah yang paling awal dilakukan, sedangkan FPI mendapatkan momentumnya setelah Rizieq Shihab yang “mengungsi” ke Arab Saudi sejak 3 tahun lalu, akhirnya kembali ke Tanah Air.
Lagi-lagi, seperti yang disebutkan di awal, FPI tanpa Rizieq tak akan jadi apa-apa, sehingga kejatuhan legitimasinya perlu mengikutsertakan Imam Besar ormas tersebut di dalamnya. Tak heran, yang bersangkutan pun kini tengah ditahan oleh kepolisian karena pelanggaran protokol kesehatan serta upaya penghindaran dari proses penegakan hukum.
Dalam konteks perlakuan terhadap FPI ini, pemerintah sepertinya menerapkan chopping the movement atau memotong puncak atau pucuk gerakan. Memang, dari pernyataan yang ada, aktivitas yang mengatasnamakan dan menggunakan atribut FPI telah dinyatakan terlarang. Namun, tak ada jaminan gagasan atau pemikiran-pemikiran FPI akan dengan sendirinya ikut hilang di akar rumput.
Apalagi, seperti yang ditulis oleh mantan pegawai Central Intelligence Agency (CIA) Melissa Boyle Mahle untuk The New York Times: “We can’t kill an ideology”. Kita tidak bisa membunuh sebuah ideologi. Sebagai sebuah jalan pemikiran, chopping FPI tak akan mematikan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan yang dibawa oleh ormas tersebut. Wacana mengubah nama FPI dari Front Pembela Islam menjadi Front Persatuan Islam misalnya, adalah contoh bagaimana identitas dengan ideologi di belakangnya akan sulit untuk dimatikan.
Chopping strategy ini pernah disinggung oleh Kishore Mahbubani dalam Athens Democracy Forum 2015 ketika ia mendiskusikan kebangkitan ekstremisme Islam. Menurut Mahbubani, untuk menghadapi dan mengatasi gerakan kelompok-kelompok seperti ISIS, strategi chopping tak akan efektif karena sebagai sebuah konsep dan gagasan, ISIS akan bisa tumbuh lagi dalam bentuk-bentuk yang berbeda – terlepas fakta bahwa gerakan ini misalnya disebut sebagai “buatan” Amerika Serikat (AS). Oleh karenanya, Mahbubani menyarankan proses penyelesaian yang lebih mengakar.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga sempat menyinggung Indonesia, yang disebutnya sebagai negara muslim paling besar dan paling berhasil menjalankan demokrasi. Namun, menurutnya selalu ada 0,1 persen masyarakat yang bisa terpacu kemarahan akan hal tertentu yang berhubungan dengan sentimen agama – katakanlah ketika melihat tentara-tentara ISIS diperangi negara-negara Barat. Konteks 0,1 persen kemarahan ini bisa teramplifikasi dan melahirkan gerakan-gerakan lain yang tentu saja kontraproduktif dengan strategi chopping yang sudah dilakukan.
Baca juga: Di Balik Jokowi Pecat Terawan
Dalam konteks FPI, sangat mungkin hal yang serupa akan juga terjadi. Kasus penembakan yang terjadi pada 6 laskar ormas tersebut misalnya, tentu akan melahirkan kemarahan yang membekas pada diri keluarga mereka. Hal tersebut akan menjadi warisan yang suatu saat akan kembali terbuka dan lahir menjadi gerakan-gerakan baru.
Bahaya Pasca Jokowi
Di Indonesia sendiri, akar masalah dari terorisme maupun ekstremisme berbau agama berhulu dari ketidaksepakatan dalam konteks bernegara yang terjadi di masa lalu, di mana masih ada sekelompok orang yang merasa agama selayaknya menjadi dasar sistem bernegara.
Untuk FPI sendiri, hal ini misalnya tergambar dalam buku Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah yang ditulis Rizieq Shihab sendiri. Buku ini menawarkan cara pandang baru terkait ideologi dan konstitusi, misalnya dalam tagline yang pernah diserukan Rizieq: Ayat Suci di atas Konstitusi.
Nah, dalam konteks sejarah, sayangnya alih-alih menggunakan cara penyelesaian masalah yang lebih soft, ada kecenderungan kekerasan menjadi jalan satu-satunya yang digunakan penguasa atau pemerintah menghadapi konfrontasi. Memang, pada masanya jalan kekerasan menjadi satu-satunya solusi, katakanlah ketika Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo menggariskan Negara Islam Indonesia lewat Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia. Namun, sudah selayaknya penggunaan strategi serupa ditinggalkan.
Apalagi kekerasan dan atau represi akan menimbulkan tekanan yang suatu saat bisa berubah menjadi gejolak-gejolak baru. Pasalnya, bukan tidak mungkin di era pasca Jokowi, akan ada “bom waktu” ketika gerakan-gerakan post-FPI meledak dan mendapatkan tempatnya kembali di panggung politik nasional. Hal ini tentu perlu diwaspadai.
Pemerintah sebetulnya telah mengupayakan jalan pendekatan yang soft seperti katakanlah yang dilakukan oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang mencoba membangun komunikasi dengan kubu Rizieq dan FPI. Namun, pada akhirnya cara tersebut tak berhasil dan akhirnya pembubaran FPI menjadi jalan terakhir.
Pada akhirnya, semua pihak memang perlu memikirkan solusi yang lebih permanen. Bagaimanapun juga, potensi konflik di massa depan akan tetap ada. Apalagi, yang menenggelamkan Kapal Titanic bukanlah karang yang terlihat mata, melainkan yang ada di bawah permukaan laut. So, Pak Jokowi memang kudu berhati-hati karena apapun namanya nanti, FPI masih akan jadi es besar di bawah muka air. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.