Anjloknya nilai tukar rupiah menjadi pergunjingan hangat, termasuk perdebatan apakah kurs dolar AS masih relevan dipakai sebagai patokan ekonomi nasional. Faktanya, pada akhir 2016 lalu Jokowi sempat mewacanakan penggunaan kurs yuan. Namun, proses de-dolarisasi berpotensi mendatangkan guncangan – hal yang pernah terjadi pada Muamar Gaddafi.
PinterPolitik.com
“The West sees liberation movements as terrorist movements”.
:: Muammar al-Gaddafi ::
[dropcap]N[/dropcap]ilai tukar rupiah sempat menyentuh angka Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) beberapa waktu belakangan ini. Kini nilai mata uang garuda itu tertahan di kisaran Rp 14.700-Rp 14.900 dan diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun.
Isu ini bergeser muatannya menjadi cenderung politis setelah digunakan sebagai alat untuk menyerang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap gagal menjaga nilai rupiah.
Jokowi, jajaran menterinya dan beberapa ekonom menyebut kondisi ini terjadi karena faktor eksternal yang diakibatkan oleh kebijakan Bank Sentral AS – The Fed – yang menaikkan suku bunganya, serta akibat perang dagang yang terjadi di beberapa negara, terutama antara AS dengan Tiongkok.
Jokowi sendiri sempat mengatakan akan waspada untuk mengamati situasi, namun menyebut hal ini tidaklah seberbahaya tahun 1998. Pihaknya menjamin depresiasi rupiah tidak akan berujung pada krisis ekonomi seperti pada tahun tersebut karena inflasi kini berada di angka 3,2 persen, sementara tahun 1997-1998 inflasi mencapai 78,2 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun 2018 berada di angka 5,27 persen, berbeda dengan tahun 1997 yang justru minus 13,34 persen.
Tentu banyak masyarakat awam yang bertanya-tanya, mengapa urusan dolar AS bisa bikin gaduh politik dalam negeri? Jawabannya tentu saja karena dolar AS adalah global currency atau mata uang global yang dipakai sebagai alat pembayaran dalam perdagangan internasional.
Dolar juga menjadi patokan bagi banyak negara untuk menentukan nilai mata uangnya. Sekitar 64 persen cadangan devisa negara-negara di seluruh dunia adalah dolar AS, dan setiap harinya sekitar 85,6 persen transaksi di pasar global terjadi dengan menggunakan the greenbacks – julukan untuk mata uang tersebut.
Karenanya, secara de facto dolar AS menjadi mata uang global. Adapun mata uang lain yang juga digunakan secara global adalah euro, sekalipun hanya 19,9 persen negara-negara di dunia yang menggunakannya sebagai cadangan devisa (foreign exchange reserves).
Menariknya, seiring menguatnya ekonomi Tiongkok, mata uang negeri tirai bambu itu pun perlahan muncul sebagai pesaing dolar dalam perdagangan internasional. Mata uang Tiongkok, renminbi (RMB) belakangan memang menjadi primadona baru, terutama setelah makin kuatnya hubungan dagang antara Tiongkok dengan negara-negara lain, termasuk dengan Indonesia.
Bahkan, antara Januari-Juni 2018, nilai total perdagangan Indonesia dengan Tiongkok telah mendekati 3 kali lipat total perdagangan Indonesia dengan AS.
Tidak heran hal inilah yang pernah membuat Presiden Jokowi sempat melemparkan wacana untuk menggunakan kurs mata uang lain sebagai tolok ukur ekonomi pada akhir 2016 lalu, terutama saat melihat fakta bahwa Tiongkok telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia.
Wacana ini sempat mendatangkan perdebatan di sana sini. Kini, seiring menguatnya dolar AS, wacana itu kembali mengemuka. Tetapi, apakah mungkin Indonesia menggunakan kurs mata uang asing selain dolar AS sebagai patokan?
De-dolarisasi, Melawan Dolar
Dolar AS memang menjadi mata uang paling berkuasa di dunia, setidaknya pasca Konferensi Bretton Woods diadakan di New Hampshire, AS pada Juli 1944.
Pertemuan ekonomi yang juga melahirkan the Bretton Woods Institutions – Bank Dunia, IMF dan International Trade Organization (kemudian GATT, lalu jadi WTO) – nyatanya juga menjadi awal mula dolar AS dipatok sebagai mata uang global.
Sistem Bretton Woods ini mematok nilai dolar AS setara dengan satu per tiga puluh lima dari nilai satu ons emas. Dolar AS kemudian bertindak sebagai numeraire – bahasa Prancis untuk ‘uang’ – dalam konteks internasional karena nilainya yang stabil telah dipatok terhadap jumlah tertentu. Sementara mata uang negara-negara lain dikonversikan ke nilai tersebut.
Sebagai numeraire, dolar AS menjadi standar nilai terhadap harga hampir semua komoditas, mulai dari minyak hingga tetek bengek alat elektronik, dan menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional.
Dolar AS menempatkan diri sebagai mata uang internasional layaknya dolar Spanyol yang digunakan pada abad ke-17 dan 18, kemudian emas yang digunakan pada abad ke-19 dan 20, serta pound sterling yang digunakan sebelum tahun 1944.
Hingga kini dolar AS masih menjadi alat pembayaran internasional yang digunakan sebagai standar utama, sekalipun beberapa mata uang lain seperti euro, renminbi dan yuan juga sempat menjadi mata uang lain yang punya nilai kuat seiring geliat ekonomi di Uni Eropa, Tiongkok dan Jepang.
Faktanya, sekitar US$ 580 miliar mata uang negeri Paman Sam ini digunakan di luar negara tersebut. Jumlah ini mencapai 65 persen dari total dolar AS yang beredar – lebih banyak dibanding jumlah yang ada di dalam negeri negara tersebut.
Konteks ini saja sudah secara jelas menunjukkan berkuasanya mata uang tersebut. Maka, tak heran jika selama 64 tahun – walaupun beberapa penulis menyebut puncak kekuatan dolar AS terjadi antara tahun 1944-1973 – mata uang ini masih berkuasa seiring masih kuatnya rezim Bretton Woods hingga saat ini.
Namun, menguatnya ekonomi di beberapa negara, mulai dari Jepang, Tiongkok, hingga zona ekonomi Uni Eropa membuat mata uang dari negara-negara tersebut belakangan punya kekuatan dalam perdagangan internasional. Tidak sedikit negara-negara yang menjalin hubungan dagang langsung – mitra dagang – saling bersepakat untuk menggunakan mata uangnya sebagai alat pembayaran ketimbang dolar AS.
Dengan ekspansi perdagangan Tiongkok, Jepang dan negara-negara Uni Eropa, tidak heran jika renminbi, yuan dan euro sebagai mata uang yang semakin banyak digunakan. Kesepakatan-kesepakatan yang demikian secara tidak langsung membuat mata uang negara-negara tersebut menjadi numeraire selain dolar AS yang digunakan sebagai alat pembayaran internasional.
Oleh karena itu, wacana de-dolarisasi pun mulai diaplikasikan oleh banyak negara. De-dolarisasi tentu saja merupakan pembalikan dari dolarisasi yang secara konsep memiliki dua makna, yakni sebagai strictu sensu – berhubungan dengan penggunaan dolar AS sebagai mata uang domestik sebuah negara – dan sebagai latu sensu – berhubungan dengan penggunaannya sebagai mata uang perdagangan internasional.
Dua istilah itu digunakan oleh David Fields dan Matias Vernengo ketika membahas dolarisasi dalam The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization. Dalam konteks dolar AS sebagai world currency, tentu saja de-dolarisasi pada titik ini berhubungan dengan konteks latu sensu atau tidak menggunakan mata uang tersebut dalam perdagangan di antara dua atau lebih negara yang terlibat.
Konteks pernyataan Jokowi yang ingin Indonesia menggunakan kurs lain, misalnya renminbi, dalam perdagangan internasional tentu saja adalah bagian dari wacana de-dolarisasi. Bagaimanapun juga, ekonomi global saat ini sangat bergantung pada fluktuasi nilai dolar AS yang seringkali dipengaruhi konteks ekonomi domestik negara yang kini dipimpin oleh Donald Trump itu.
Kasus yang kini terjadi di Indonesia terkait nilai tukar rupiah yang menyentuh angka Rp 15 ribu adalah contoh bagaimana konteks ekonomi domestik AS – sekalipun juga ada faktor perang dagang dengan Tiongkok – mempengaruhi perekonomian banyak negara di dunia.
Taruhan mengganti kurs bisa saja membuat pemimpin negara yang mewacanakannya bernasib sama seperti Gaddafi, sekalipun de-dolarisasi tentu saja punya dampak yang positif bagi negara tersebut. Share on XJokowi vs Rezim Internasional
De-dolarisasi memang punya banyak jejak, utamanya dalam konteks strictu sensu, dan digunakan sebagai dual mata uang di beberapa negara. Chile, Rusia, Vietnam, Argentina, Peru, dan Bolivia adalah beberapa contohnya. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal.
Sementara dalam konteks latu sensu, hal ini pernah digalang oleh pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang mendorong negara-negara Pan Afrika untuk menggunakan gold dinar – hal yang disebut-sebut menjadi salah satu alasan dirinya dilengserkan oleh AS.
Pada tahun 2009, pemimpin eksentrik itu mengajak negara-negara Pan Afrika untuk menggunakan mata uang selain dolar AS, utamanya dalam perdagangan minyak dan komoditas lainnya. Hal ini dipuji oleh Tunisia dan Mesir, namun membuat AS dan negara-negara Eropa kebakaran jenggot.
Sebuah email rahasia dari Hillary Clinton yang saat itu menjabat sebagai Menlu AS, menyebut negara tersebut tak suka dengan wacana Gaddafi ini, dan berharap NATO menghentikan aksi tersebut. Ekonom Turki, Ege Bağlıkaya menyebut Gaddafi mungkin orang pertama dan terakhir yang mewacanakan hal ini – sekalipun kini banyak pula negara-negara yang menggalang wacana tersebut.
Negara lain yang belakangan cukup kuat menggalang de-dolarisasi adalah Iran dan Rusia. Bank Sentral Iran telah mengeluarkan pernyataan pada 2015 lalu bahwa negaranya akan menggunakan mata uang lain selain dolar AS ketika berdagang dengan negara lain.
Kebijakan tersebut juga diamini Rusia yang mendukung aktivitas Iran tersebut. Hal serupa juga belakangan semakin sering dilakukan oleh Tiongkok.
Keinginan Jokowi menggunakan kurs selain dolar AS di satu sisi memang masuk akal. Bagaimanapun juga partner dagang Indonesia yang paling besar saat ini adalah Tiongkok. Namun, de-dolarisasi punya kompleksitas dan juga berkaitan dengan kiprah kapitalisme perusahaan-perusahaan AS sebagai hegemon ekonomi internasional.
Seruan de-dolarisasi Jokowi sangat mungkin punya resonansi yang sama dengan wacana Gaddafi, sekalipun Jokowi baru menyebut dolar AS “tidak relevan” lagi. Selain itu, negara-negara lain yang menggalang de-dolarisasi juga berpotensi “dimusuhi” AS. Secara politik, bagi Jokowi hal ini bisa berdampak pada ambisinya untuk berkuasa lagi di 2019.
Artinya, wacana mengganti kurs dolar AS punya pertaruhan yang besar. AS sebagai negara adikuasa tentu tidak ingin sistem internasional yang dibuat untuk melanggengkan hegemoni ekonominya diganti dengan sistem lain. Apalagi, taruhan mengganti kurs bisa saja membuat pemimpin negara yang mewacanakannya bernasib sama seperti Gaddafi, sekalipun de-dolarisasi tentu saja punya dampak yang positif bagi negara tersebut.
Pada akhirnya, semuanya akan kembali pada kata-kata Gaddafi di awal tulisan ini, bahwa apa yang diwacanakan sebagai gerakan “pembebasan” seringkali dianggap sebagai “terorisme” oleh Barat. De-dolarisasi tentu saja adalah sebuah gerakan pembebasan, bukan tidak mungkin akan dianggap sebagai “terorisme” sistem keuangan global. (S13)