Dalam video kemarahannya, Presiden Jokowi secara khusus menyinggung perihal serapan anggaran Kementerian Kesehatan yang baru 1,53 persen dari Rp 75 triliun. Menariknya, setelah itu muncul pembelaan terhadap Menteri Kesehatan dari Komisi IX DPR dan Menteri Keuangan. Lantas, benarkah Presiden Jokowi bertolak dari data yang keliru?
PinterPolitik.com
Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Anthony Charles Lynton Blair atau Tony Blair yang juga menjadi dewan pengarah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru adalah contoh ekstrem terkait bagaimana fatalnya data yang salah berdampak pada pengambilan kebijakan yang buruk.
Berkat hubungan baiknya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush, Blair kemudian berhasil membuat negeri Paman Sam bekerjasama dengan Inggris untuk menginvasi Irak pada 2003 karena menduga Irak tengah mengembangkan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction/WMD).
Invasi ini sendiri bertolak atas temuan gabungan dinas intelijen asal Inggris Joint Intelligence Committee (JIC) yang menyimpulkan Irak menyimpan senjata kimia dan biologi, serta akan mengembangkannya untuk menjadi setingkat senjata nuklir.
Menariknya, dalam laporan bertajuk Review of Intelligence on Weapons of Mass Destruction yang dirilis House of Commons Inggris pada 2004, justru menunjukkan bahwa Secret Intelligence Service (SIS) atau MI6 Inggris memakai sumber data “yang tak bisa dipercaya” terkait keberadaan WMD Irak.
Pun begitu pada 2016, ketika Sir John Chilcot juga turut mengeluarkan laporan setebal 12 jilid yang berisi dugaan bahwa MI6 telah memalsukan sumber data dengan mengacu pada film Michael Bay yang berjudul The Rock (1996).
Sedikit tidaknya, kontekstualisasi kasus Blair tersebut sepertinya dapat kita lihat dari situasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Dalam video yang dirilis Istana 28 Juni lalu, Presiden Jokowi secara terbuka menyinggung serapan anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang baru mencapai 1,53 persen dari Rp 75 triliun anggaran bidang kesehatan.
Uniknya, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati justru memberikan pembelaan dengan menyebutkan tidak semua anggaran bidang kesehatan dialokasikan ke Kemenkes.
Setuju nggak nih dgn pendapat Bang @Fahrihamzah ? Kalau kata @neiltyson data adalah sumber informasi. Informasi adalah sumber pengetahuan. Dan pengetahuan sumber kebijaksanaan. Jadi kalau nggak ada data? Uppps. #pinterpolitik #infografis https://t.co/dZBGGj7gpC pic.twitter.com/Jj4EEVnseP
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 3, 2020
Selaku sosok yang dinilai begitu dipercayai oleh Presiden Jokowi, menarik melihat Sri Mulyani justru dengan lugas menyebutkan bahwa rendahnya penyerapan anggaran tersebut bukankah tanggung jawab Kemenkes semata.
Peristiwa menarik ini bahkan sampai menjadi perhatian khusus Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah yang menduga bahwa jangan-jangan Presiden Jokowi mendapatkan data yang salah, sehingga terjadi ralat dari Komisi IX dan Menkeu.
Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari peristiwa menarik ini?
Fenomenalisme
Kasus Blair di awal tulisan, ataupun sindiran Presiden Jokowi yang kemudian diralat oleh Menkeu dapat kita pahami melalui teori epistemologi yang disebut sebagai fenomenalisme. Teori ini sendiri adalah penjelasan filosofis yang menerangkan perihal hubungan antara persepsi dengan realita (dunia).
Prinsip dasar dari teori ini adalah, bahwa proposisi tentang objek material (realita/dunia) dapat direduksi menjadi proposisi tentang sensasi aktual, data, atau fenomena yang tampak – data yang diterima indera manusia.
Kendati terlihat sederhana, penjelasan terkait bagaimana manusia merekonstruksi realita ini memiliki konsekuensi yang begitu besar dalam kehidupan. Pada kasus Blair misalnya, karena ia salah mendapatkan data terkait adanya pengembangan WMD, AS dan Inggris sampai melakukan invasi yang berujung pada melayangnya ratusan nyawa prajurit.
Peristiwa tersebut terjadi karena proposisi data yang diterima telah terkonstruksi dalam kognisi Blair bahwa di luar sana memang benar Irak telah mengembangkan WMD. Dengan kata lain, kendati Blair tidak pernah mengobservasi langsung Irak, ia dapat mengklaim realita terkait aktivitas Irak hanya karena mendapatkan laporan dari dinas intelijen Inggris.
Penjelasan ini juga dapat kita terapkan pada kasus Presiden Jokowi. Sebab, karena mendapatkan data bahwa penyerapan anggaran Kemenkes rendah, maka terbentuk konstruksi realitas dalam kognisi Presiden Jokowi bahwa Kemenkes memang bertindak demikian. Ini kemudian yang menjadi alasan mengapa fenomenalisme disebut mereduksi realitas berdasarkan data yang diterima indera.
Seperti yang disinggung oleh Fahri, kasus ini sebenarnya dapat dibaca bahwa Presiden Jokowi tampaknya mendapatkan data yang salah dari jajarannya. Secara lugas, mantan politisi PKS ini bahkan menduga para menteri hanya memberikan laporan asal bapak senang (ABS) kepada sang presiden.
Banyak yang bela Menkes Terawan nih. #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/V69kpWHupF pic.twitter.com/v2QTszSzhj
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 1, 2020
Ini kemudian membuat Fahri menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia yang seharusnya diselenggarakan di atas akuntabilitas, justru dijalankan secara feodal.
Jika simpulan Fahri benar, tentu ini menjadi jawaban mengapa aktualisasi bantuan sosial (bansos) Covid-19 tidak kunjung tepat sasaran karena data yang ada benar-benar tidak presisi. Konteks ini tentu memberikan konsekuensi yang begitu besar. Pasalnya, bagaimana mungkin Presiden Jokowi akan membuat kebijakan publik yang mempertaruhkan hajat hidup orang banyak apabila data yang dimiliki tidak benar.
Tidak hanya terkait bansos Covid-19, data yang bermasalah juga tampaknya menjadi jawaban terkait mengapa berbagai macam masalah di daerah, seperti kekeringan, kelaparan, stunting, dan masalah menahun lainnya tidak kunjung selesai.
Menanti Peran Besar Jokowi
Pada titik ini, mungkin penjelasan tersebut akan membawa kita pada pesimisme, karena nyatanya masalah data ini tidak kunjung selesai dari tahun ke tahun. Terkait persoalan ini, Fahri sebenarnya memberikan solusi implisit, yakni dengan Indonesia menerapkan sistem presidensialisme, posisi Jokowi selaku presiden sebenarnya begitu powerful.
Menurutnya, presiden dalam sistem ini bahkan tidak perlu untuk melakukan rapat kabinet untuk mengambil keputusan karena itu memang sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Terkait masalah fenomenalisme yang disebutkan sebelumnya, peran besar Presiden Jokowi sebenarnya dapat menjadi jawaban. Ini tidak terlepas dari diskursus terkini perihal data yang menyebutkan bahwa data tidak sama dengan informasi.
Data adalah serangkaian fakta acak yang telah berhasil dikumpulkan, sedangkan informasi adalah hasil dari proses data yang dimiliki. Misalnya, kita mengetahui fakta bahwa setiap jam 10 pagi Andi meminum susu – ini adalah data. Data ini kemudian disimpulkan bahwa untuk membunuh Andi, cukup dengan memberinya racun pada susu yang diminumnya pada jam 10 pagi – ini adalah informasi.
Dengan kata lain, meskipun benar para menteri selama ini memberikan Presiden Jokowi data ABS, mantan Wali Kota Solo tersebut seharusnya dapat mengolahnya agar tidak menjadi informasi mentah, sehingga kasus ralat serapan anggaran Kemenkes tidak terjadi. Ini tentunya membutuhkan keterampilan khusus dari Presiden Jokowi.
Tetap semangat Pak @jokowi , semoga yang nggak punya "sense of crisis" itu bisa segera insaf. 😠 #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/9RLBkXTJSc pic.twitter.com/zqEeYCPqoP
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 29, 2020
Akan tetapi, dengan terjadinya kasus tersebut, setidaknya terdapat tiga hal yang dapat disimpulkan.
Pertama, sejak awal data yang dimiliki menteri memang salah karena metode pengumpulan data yang dilakukan bermasalah. Ini tentunya berkonsekuensi pada informasi yang terbentuk juga salah.
Kedua, boleh jadi data yang dimiliki benar, tapi proses penyimpulannya untuk menjadi informasi yang salah. Dengan kata lain, kemampuan para pemangku kebijakan publik dalam meramu data menjadi persoalan serius.
Ketiga, boleh jadi data dan simpulannya benar. Akan tetapi, karena berbagai menteri memiliki kepentingan tersendiri (konflik kepentingan), itu membuat Presiden Jokowi tidak mendapatkan data atau informasi yang seharusnya. Sebagaimana diketahui, telah menjadi desas-desus umum bahwa berbagai menteri kerap dinilai berafiliasi dengan pengusaha, partai politik, atau pihak berpengaruh tertentu.
Terkhusus kemungkinan terakhir, pengamat politik dari Universitas Telkom yang juga merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah tampaknya memberikan afirmasi. Menurutnya, Presiden Jokowi telah gagal mengatur ritme kerja para menteri, sehingga visi misi presiden tidak terimplementasi dengan baik karena beberapa menteri berupaya untuk membangun panggungnya sendiri.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat menyimpulkan, apapun kemungkinan yang terjadi, yang jelas saat ini terdapat masalah data yang tengah mendera Istana. Tentu kita berharap persoalan fundamental ini segera dibenahi agar kebaikan bersama (common good) dapat ditelurkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.