HomeHeadlineDari Deng Xiaoping, Sumitro, hingga Danantara

Dari Deng Xiaoping, Sumitro, hingga Danantara

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Presiden Prabowo Subianto telah meresmikan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara pada Senin, 24 Februari 2025. Mengapa menjadi penting bagi Prabowo untuk mewujudkan mimpi sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo?


PinterPolitik.com

โ€œDesainnya tidak salah. Implementasinya yang melanggar, seperti soal pemerataan dan kestabilan. Desain ekonomi Orde Baru kan berpokok pada pertumbuhan, kestabilan, dan pemerataanโ€ โ€“ Sumitro Djojohadikusumo (29/3/1999)

Kenny menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Timeline media sosialnya penuh dengan tagar #IndonesiaGelapโ€”video demonstrasi, opini panas, dan keluhan tentang harga-harga yang melambung tinggi. Namun di antara lautan keriuhan itu, sebuah berita menarik perhatiannya: โ€œPrabowo Subianto Resmikan Danantara, Lembaga Investasi Nasional Baru.โ€

โ€œDanantara?โ€ gumam Kenny. Ia mengklik tautan berita itu dan mulai membaca.

Artikel itu menjelaskan bahwa Danantara (Daya Anagata Nusantara) adalah badan investasi yang dibentuk untuk mengelola aset negara dan berinvestasi di sektor strategis. Modelnya mirip dengan Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia. Tujuannya? Memastikan bahwa Indonesia memiliki kemandirian ekonomi dan mampu bersaing di panggung global.

Kenny mengernyit. โ€œKenapa ini begitu penting buat Prabowo?โ€ pikirnya.

Ia teringat kampanye Prabowo yang selalu berbicara tentang kedaulatan ekonomi. Mungkinkah Danantara adalah jawaban Prabowo terhadap ketergantungan ekonomi Indonesia pada modal asing? Mungkin ini adalah caranya membangun warisan pemerintahan yang kuat? 

Tapi di saat yang sama, Kenny juga bertanya-tanya: Apakah Danantara benar-benar akan membantu rakyat, atau hanya menjadi alat baru bagi segelintir elite?

Ia kembali melihat linimasa Twitter. Orang-orang membahas demonstrasi, inflasi, dan kebijakan pemerintah dengan nada pesimis. Kenny merasa seperti berdiri di dua duniaโ€”satu penuh dengan harapan akan kebangkitan ekonomi, dan satu lagi dengan kecemasan rakyat kecil yang merasa ditinggalkan.

Ia menghela napas. โ€œMungkin satu-satunya cara untuk tahu jawabannya adalah menunggu. Atauโ€ฆ mungkin, ikut mengawasi,โ€ gumamnya sambil menutup ponsel dan kembali menyesap kopinya yang mulai dingin.

Mimpi Sang Ayah, Sumitro Djojohadikusumo

Di tengah pikirannya yang masih berkecamuk, Kenny teringat nama Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo. Sumitro adalah ekonom visioner yang pernah menggagas ide serupa dengan Danantara, namun idenya tidak begitu diterima di Indonesia.

Baca juga :  Teror Soros, Nyata atau "Hiperbola"? 

Dalam sebuah rapat Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI) pada tahun 1996, Sumitro mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah yang tidak menyambut gagasannya. Namun, ketika ia berbagi ide itu dengan Malaysia, negara jiran tersebut justru merealisasikannya dengan membentuk Khazanah Nasional, lembaga yang kini menjadi salah satu pemain utama di sektor investasi negara.

Gagasan Sumitro berangkat dari keyakinan bahwa negara memerlukan lembaga investasi yang mampu mengelola aset strategis secara profesional. Ia melihat bahwa tanpa pengelolaan yang kuat, aset negara hanya akan menjadi beban, bukan keuntungan bagi rakyat.

Kenny pun kembali bertanya dalam pikirannya. โ€œMengapa lembaga-lembaga seperti ini menjadi krusial bagi pembangunan negara, khususnya Indonesia? Negara mana yang sukses menerapkan pendekatan serupa?โ€

State Capitalism ala Deng Xiaoping?

Di tengah rasa penasarannya, Kenny mengambil sebuah buku dari raknya: The Wealth of Nations karya Adam Smith. Ia membuka halaman yang membahas peran negara dalam ekonomi dan menemukan konsep laissez-faire, di mana pasar seharusnya dibiarkan bekerja tanpa terlalu banyak intervensi pemerintah. Kenny berpikir, โ€œJika Smith hidup di zaman sekarang, apakah ia akan mendukung atau menolak konsep seperti Danantara?โ€

State capitalism ala Deng Xiaoping menjadi contoh sukses bagaimana negara bisa berperan aktif dalam ekonomi tanpa meninggalkan mekanisme pasar. Seperti yang dikatakan Yasheng Huang dalam bukunya Capitalism with Chinese Characteristics, Deng mengizinkan negara untuk tetap mengendalikan sektor strategis tetapi memberi ruang bagi sektor swasta untuk berkembang. Model ini memungkinkan Tiongkok untuk melakukan modernisasi ekonomi tanpa kehilangan kendali atas industri kunci seperti energi, telekomunikasi, dan keuangan.

Perbedaan utama antara state capitalism ala Deng dan liberalisme Barat terletak pada peran negara dalam ekonomi. Dalam model liberalisme Barat, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat (AS) dan sebagian besar negara Eropa, negara hanya berperan sebagai regulator dan membiarkan pasar bekerja secara bebas. Adam Smith dalam The Wealth of Nations menekankan pentingnya mekanisme pasar yang diatur oleh prinsip invisible hand untuk mencapai efisiensi ekonomi.

Baca juga :  Twitter Scare Bayangi Prabowo?

Sebaliknya, dalam model Tiongkok, negara bertindak sebagai investor utama dan pengarah strategi ekonomi nasional. Perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) mendapatkan dukungan besar dari pemerintah, baik dalam bentuk subsidi maupun kebijakan proteksionis, yang memungkinkan mereka mendominasi pasar domestik dan berkembang ke tingkat global. Hal ini berbeda dengan pendekatan di negara-negara liberal, di mana perusahaan berkembang berdasarkan daya saing tanpa dukungan langsung dari negara.

Danantara, di sisi lain, masih berada dalam tahap awal, tetapi memiliki potensi untuk menjadi perpaduan antara model Tiongkok dan model liberal. Jika dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi instrumen penting untuk menyeimbangkan kepentingan negara dan efisiensi ekonomi. Namun, jika terlalu banyak intervensi politik, maka risiko inefisiensi dan korupsi akan meningkat.

Kesimpulannya, Danantara adalah langkah awal bagi pemerintahan Prabowo dalam memperkuat arah kebijakan ekonomi Indonesia. Namun, semua kembali pada bagaimana Danantara dikelolaโ€”apakah menjadi alat untuk memperkuat ekonomi nasional atau justru menjadi beban baru bagi negara. 

Kenny menutup bukunya dan menatap ke luar jendela. Di balik berbagai teori ekonomi yang ia baca, realitasnya tetap sulit diprediksi. Ia bertanya-tanya, โ€œApakah ekonomi benar-benar bisa dirancang seperti dalam teori, atau justru selalu dipengaruhi oleh kekuatan yang lebih besar dari sekadar kebijakan?โ€ (A43)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Siasat Ahok โ€œBongkarโ€ Korupsi Pertamina

Ahok tiba-tiba angkat bicara soal korupsi Pertamina. Mengacu pada konsep blame avoidance dan UU PT, mungkinkah ini upaya penghindaran?

Andai Indonesia Jadi Negara Federasi

Bagaimana jika Indonesia seperti Majapahit, tanpa batas tegas? Apakah itu membawa kejayaan atau justru kehancuran di era global ini?