Banyak pertanyaan muncul tentang siapa yang mendanai investigasi dan biaya perjalanan Allan Nairn, atau tentang tujuan berbagai investigasi yang selama ini dibuat olehnya. Bahkan tidak sedikit sebaran di media sosial yang menghubungkan Nairn dengan George Soros.
PinterPolitik.com
“There can be no higher law in journalism than to tell the truth and to shame the devil” – Walter Lippmann (1889-1974)
[dropcap size=big]B[/dropcap]eberapa hari lalu, publik dihebohkan oleh hasil investigasi jurnalis senior berkebangsaan Amerika Serikat, Allan Nairn. Bagaimana tidak, Nairn menyebutkan ada rencana kudeta terstruktur yang hendak dilakukan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam tulisannya yang dipublikasikan laman theintercept.com, Nairn secara gamblang menjelaskan keterkaitan antara berbagai aksi politik dengan tajuk ‘penistaan agama’ yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan dugaan makar (coup d’etat) yang direncanakan tersebut.
Tulisan dengan judul “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS Backed Militia Seeking to Oust Elected President” ini bahkan menyebutkan ada kaitan yang erat antara kepentingan presiden Amerika Serikat – Donald Trump, Freeport, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dan tragedi 1965. Artikel yang diterjemahkan oleh Tirto.id ini kemudian menjadi perbincangan hangat di seantero negeri. Apalagi momentum tulisan ini diterbitkan adalah di hari pemilihan gubernur DKI Jakarta putaran kedua, 19 April 2017.
Keterlibatan Fadli Zon, Hary Tanoe, SBY, hingga Gatot Nurmantyo dlm usaha menjatuhkan Jokowi. Al-Maidah cuma dalih.https://t.co/qvBEzfcipj
— tirto.id (@TirtoID) April 19, 2017
Dalam tulisannya, Nairn menyebutkan bahwa isu penistaan agama yang selama hampir 6 bulan terakhir ini menghiasi wajah politik Indonesia sebetulnya merupakan bagian dari rencana besar untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi. Jelas saja apa yang ditulisnya ini mendatangkan kehebohan besar. Bagaimana tidak, dalam tulisan tersebut Nairn menyebutkan nama-nama besar, mulai dari elit politik hingga petinggi militer.
Apalagi, tulisan ini kemudian diikuti dengan publikasi wawancara jurnalis senior Amy Goodman dengan Nairn sendiri dalam program Democracy Now – sebuah siaran talk show independen yang disiarkan melalui sekitar 1.400 jaringan radio dan televisi di seluruh dunia – yang bahkan mengupas tulisan Nairn tersebut dengan lebih dalam lagi.
Wow Allan Nairn's explanation about Indonesia is 100 percent correct! https://t.co/RsAcwexqiy
— febriana firdaus (@febrofirdaus) April 24, 2017
Menanggapi tulisan dan video wawancara tersebut, berbagai reaksi pun datang dari dalam negeri.
Kalau benar hasil investigasi @AllanNairn14 terkait kudeta, berarti didalam pemerintahan pakde @jokowi ada musuh dalam selimut.
— Syauqi Nurul A'dhom (@SyauqiNurul) April 24, 2017
Kubu militer melalui Pusat Penerangan (Puspen) TNI bahkan mengatakan akan memproses hukum tulisan Nairn tersebut. Nairn disebut menyebarkan berita bohong (hoax) dan sedang memecah belah bangsa. Terkait dugaan memecah belah bangsa, hal tersebut pernah disampaikan oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo ketika menghadiri acara Indonesia Lawyers Club yang disiarkan TVOne beberapa hari setelah aksi demonstrasi 212 pada Desember 2016 lalu.
Jenderal Gatot saat itu menyebut banyak negara yang terus berusaha mengintervensi politik Indonesia dan tidak ingin negara ini maju. Indonesia juga dianggap sebagai negara yang sangat kaya sumber alam, sehingga menjadi incaran negara-negara lain.
Kapuspen TNI : TNI akan mengambil langkah hukum terkait pemberitaan yg di muat https://t.co/EeNFfVNxfb?? https://t.co/Ew1cSQ39Gv pic.twitter.com/qocWV8OgSt
— Pusat Penerangan TNI (@Puspen_TNI) April 21, 2017
Awalnya TNI – entah karena terburu-buru atau tidak tahu – hendak melaporkan Tirto.id ke pihak kepolisian. Namun, laporan itu kemudian ditujukan ke Dewan Pers, mengingat Tirto.id adalah media online yang terdaftar di Dewan Pers. TNI juga dianggap hanya melaporkan Tirto.id, sementara Allan Nairn yang menulis artikel tersebut tidak diperkarakan. Allan Nairn sendiri bahkan menantang TNI untuk memperkarakan dirinya.
Bapak2 TNI: Kalau mau mengancam pers Indonesia yang berani, mohon mengancam saya juga. https://t.co/XET8rgyjSW
— Allan Nairn (@AllanNairn14) April 21, 2017
Bagi masyarakat banyak, tulisan Nairn ini mendatangkan kesimpangsiuran: apakah benar memang ada rencana kudeta terstruktur? Kita mungkin ingat aksi 212 yang ‘memutihkan’ Jakarta dan Nairn berpendapat aksi-aksi tersebut merupakan upaya kelompok-kelompok tertentu untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi. Apa benar? Lalu, siapa sebenarnya Allan Nairn ini?
Kiprah Allan Nairn
Terakhir kali nama Allan Nairn sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia terjadi pada akhir 2014, ketika ia merilis wawancaranya dengan mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono terkait keterlibatannya dalam tragedi Talangsari (1989) dan pembunuhan aktivis HAM, Munir (2004).
Nairn punya track record yang panjang di Indonesia – hal yang mungkin berlawanan dengan tudingan beberapa politisi yang namanya terseret dalam tulisan Nairn. Fadli Zon misalnya, menyebut Nairn tidak paham tentang Indonesia, padahal Nairn telah berkiprah lama di negara ini.
Ia juga telah lama tinggal di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia. Ia dikenal sebagai jurnalis yang menginvestigasi kasus-kasus kejahatan kemanusiaan, misalnya yang terjadi di Guatemala pada tahun 1980 dan di Timor Timur pada tahun 1991.
Ia adalah salah satu jurnalis yang menyaksikan Tragedi Santa Cruz – yakni aksi penembakan yang dilakukan oleh militer Indonesia – yang menewaskan 250 warga Timor Timur pro kemerdekaan di Dili pada November 1991.
Saat itu, Nairn ditemani oleh Amy Goodman yang saat ini menjadi presenter program Democracy Now. Nairn dan Goodman waktu itu terjepit di antara rombongan pengantar jenazah dan serdadu. Nairn mengalami cedera di kepala akibat dipukul dengan gagang senjata, sementara Amy Goodman pun tidak luput dari perlakuan kasar dari pihak militer Indonesia saat itu.
On the 25th anniversary of the Santa Cruz massacre, where Indonesian troops armed with U.S. M16s killed over 270 https://t.co/06T1RtiJ0m
— Senator Lee Rhiannon (@leerhiannon) November 13, 2016
Setelah peristiwa itu, Nairn kemudian berperan dalam pendirian ETAN (The East Timor and Indonesia Action Network) bersama Charlie Scheiner dan John Miller. Lembaga inilah yang memperjuangkan nasib warga Timor Timur untuk memerdekakan diri dari Indonesia dan berhasil mendesak kongres Amerika Serikat untuk memutus bantuan senjata pada militer Indonesia.
Nairn dikenal sebagai jurnalis investigatif independen. Berbagai investigasinya terhadap militer Indonesia membuatnya kerap diancam akan ditangkap dan diproses hukum, misalnya ketika ia mengekspos pembunuhan warga sipil di Aceh dan membocorkan hasil wawancara off the record dengan Prabowo Subianto. Investigasi Nairn memang membuatnya dikenal luas. Ia bahkan memenangkan penghargaan Robert F. Kennedy Memorial First Prize for International Radio untuk investigasinya bersama Amy Goodman di Timor Timur.
Terkait tulisannya yang dimuat di Tirto.id tersebut, Allan Nairn mendapat banyak kritik karena sumber datanya yang dianggap terbatas, sementara sisanya dianggap spekulatif. Banyak sumber data yang digunakannya hanya berasal dari wawancara dengan Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen, tokoh yang di Indonesia juga terkenal cukup kontroversial. Beberapa reporter dari media lain juga sempat menanyakan sumber-sumber Nairn lain yang dianggap bombastis. Walau mereka setuju mungkin secara garis besar Nairn benar, banyak yang mempertanyakan apakah seluruhnya benar.
Ini isi beritanya "ngeri2" gimana gitu?! Tapi paparannya hanya memgandalkan keterangan Kivlan Zein doang, selebihnya cenderung spekulatif ? https://t.co/TDNRW0cfUS
— Andri Kusandri (@koesandri) April 22, 2017
Judul tulisannya – khususnya yang dimuat di theintercept.com – juga dinilai terlalu bombastis dan seolah terlalu memaksakan untuk mengaitkan Presiden Donald Trump dengan ISIS. Sementara isi tulisannya malah lebih banyak berbicara tentang percobaan kudeta terhadap pemerintahan Jokowi.
Dari Allan Nairn ke George Soros?
Banyak pertanyaan muncul tentang siapa yang mendanai investigasi dan biaya perjalanan Nairn, atau tentang tujuan berbagai investigasi yang selama ini dibuat olehnya. Bahkan tidak sedikit sebaran di media sosial yang menghubungkan Nairn dengan konglomerat Amerika Serikat, George Soros.
Tudingannya adalah ketika mempublikasikan hasil investigasi yang dilakukan di Timor Timur misalnya, tulisan Nairn dimuat oleh majalah The Nation – sebuah jurnal liberal-progresif yang paling banyak dibaca di Amerika Serikat. The Nation merupakan media progresif yang sering dituding oleh berbagai media dan think tank konservatif Republikan Amerika sebagai media yang digerakkan oleh George Soros.
Masih ingatkah kita dengan tokoh yang satu ini? George Soros adalah seorang taipan bisnis investasi yang saat ini menduduki peringkat 29 dalam daftar orang-orang paling kaya di dunia versi majalah Forbes. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, George Soros dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap terjadinya krisis tahun 1997-1998 – di Thailand ia bahkan dijuluki ‘economic war criminal’.
George Soros adalah salah satu pendonor utama Partai Demokrat Amerika Serikat dan kerap berseberangan dengan Trump dan industri militer yang mengambil untung dari perperangan, misalnya di Suriah. Sebagai seorang Yahudi yang orang tuanya korban Nazi Jerman, ia kerap melawan segala aktivitas perang, serta berperan dalam agenda-agenda liberalisme yang dijalankan oleh Amerika Serikat – hal yang membuatnya sering dianggap sebagai musuh oleh kaum konservatif-republikan.
Nah, apa hubunganya dengan Nairn? Banyak yang menuding Soros punya hubungan dengan tulisan Nairn tentang dugaan makar di balik kasus Ahok, yang dipublikasikan oleh program siaran Democracy Now serta situs theintercept.com. Democracy Now sendiri ditengarai merupakan salah satu dari 200-an organisasi dan gerakan progresif atau kiri yang dibiayai oleh George Soros. Sementara theintercept.com sendiri merupakan situs yang didirikan oleh mantan jurnalis Democracy Now, Jeremy Scahill. Soros jelas punya kepentingan untuk menekan pemerintahan Trump dengan tulisan yang mengaitkan Trump dengan ISIS.
Walaupun demikian, tidak ada mata rantai yang jelas terkait kendali Soros atas Democracy Now, serta hubungan langsung antara Nairn dan Soros. Hanya media sayap kanan seperti discoverthenetworks.org dan Media Resource Center (MRC) yang menuding bahwa Amy Goodman – presenter dan jurnalis senior dalam program tersebut sekaligus rekan Nairn dalam investigasi Timor Timur – sebagai salah satu orang yang menerima bayaran dari lembaga-lembaga pendanaan Soros. Sementara, media-media mainstream belum ada yang mengaitkan dan meverifikasi kebenaran persoalan tersebut.
Investigasi Nairn: Pedang Bermata Dua
Investigasi yang dibuat oleh Nairn memang menyerang Presiden Trump dan kubunya di Indonesia. Tidak heran banyak yang menilai kepentingan politik dalam laporan tersebut sangat besar. Sementara, bagi Indonesia sendiri, pemberitaan ini hanya mendatangkan kecemasan di sana-sini. Bagaimana tidak, masyarakat disuguhi elaborasi investigatif mengenai upaya kudeta yang berpotensi melahirkan kekacauan dan perpecahan bangsa.
Hasil investigasi ini memang menggoyang militer Indonesia dengan tuduhan percobaan kudeta, termasuk juga mengenai back up militer terhadap gerakan radikalisme di Indonesia. Hal positif yang bisa dipetik dari persoalan ini adalah bahwa masyarakat disadarkan bahwa negara-negara barat dalam segala ketenangan politiknya selalu punya maksud terselubung terhadap negara ini.
Kebebasan pers Indonesia juga diuji dengan insiden ini. TNI yang awalnya ingin melaporkan tulisan ini ke polisi akhirnya mundur teratur dan mengikuti Undang-Undang Pers. Hal ini penting bagi demokrasi di Indonesia, mengingat pers adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Jika kita tidak ingin terpecah belah, semua lapisan masyarakat tidak boleh menganggap remeh berbagai ancaman terhadap demokrasi di negara ini.
Pada akhirnya, semuanya akan kembali pada seberapa besar pemahaman politik masyarakat Indonesia. Sejauh ini, artikel Nairn tidak mendatangkan ketegangan berarti – dalam artian tidak ada konflik besar yang pecah. Itu artinya masyarakat Indonesia sudah semakin dewasa dalam menanggapi berbagai persoalan kebangsaan.
Tuduhan kudeta bukanlah sesuatu yang main-main. Jurnalisme memang menjadi ujung tombak untuk menyalurkan kebenaran. Yang paling penting adalah tentang kedewasaan untuk menanggapi semuanya. Jika hal itu terwujud, niscaya negara ini tidak akan mudah diadu domba oleh siapa pun. (S13)