Saat ini tengah ada tren penurunan kepercayaan terhadap pers di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dengan adanya konglomerasi media serta adanya preferensi politik tertentu, apakah pers atau media masih bisa dipercaya?
“Kini ada sumber berita untuk setiap selera dan pandangan politik, dengan batas antara jurnalisme dan hiburan yang sengaja dikaburkan untuk mendapatkan rating dan klik.” – Tom Nichols, dalam buku The Death of Expertise
Di berbagai kolom komentar media sosial, termasuk di akun PinterPolitik, lumrah kita baca komentar sinis yang mempertanyakan kredibilitas media. Berbagai asumsi dilempar. Mulai dari hanya mencari sensasi, punya agenda politik untuk mendiskreditkan pihak tertentu, hingga klaim media tidak mungkin independen.
Bukannya tanpa alasan, komentar-komentar semacam itu adalah buah dari penurunan kepercayaan publik terhadap media massa. Pada Agustus 2019, misalnya, Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis survei yang menunjukkan pers sebagai lembaga demokrasi dengan tingkat kepercayaan publik terendah selama Pemilu 2019.
Menariknya, DPR yang selama ini dipersepsikan minor bahkan memiliki persentase kepercayaan 76 persen, jauh dari pers yang hanya memperoleh 66,3 persen. Menurut Ketua Tim Survei Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Wawan Ichwanuddin, kepercayaan terhadap pers rendah karena maraknya berita hoaks yang beredar selama pemilu dilaksanakan.
Baca Juga: Covid-19 dan Propaganda Media
Dalam keterangannya pada 4 Februari 2021, Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun menjelaskan bagaimana buruknya dampak dari penurunan kepercayaan tersebut. Menurutnya, runtuhnya kepercayaan publik membuat media akan semakin sulit untuk bertahan.
Tidak heran kemudian, dengan model bisnis yang masih belum jelas, untuk bertahan hidup berbagai media kemudian mengandalkan investor yang tentunya memiliki kepentingan untuk disuarakan. Ada pula persoalan konglomerasi media, di mana media dimiliki oleh pengusaha atau politisi. Persoalan tersebut misalnya dibahas Anggia Valerisha dalam tulisannya Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia.
Narasi berita juga sengaja dibingkai untuk memberikan kesan bombastis untuk meraih rating dan klik. Ini kemudian berkonsekuensi pada berbagai media tidak memperhatikan kualitas berita, melainkan mengejar pemberitaan yang isunya bisa dijual. Tidak heran kemudian dikenal adagium, bad news is good news. Berita buruk adalah pemberitaan yang bagus.
Dengan adanya persoalan-persoalan ini, satu pertanyaan kemudian mencuat, apakah media massa atau pers masih bisa dipercaya?
Transformasi Media
Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise memberikan penjelasan penting mengapa terjadi penurunan kualitas media saat ini. Menurutnya, telah terjadi transformasi bentuk berita seiring dengan hadirnya gelombang internet dan komunikasi digital.
Berbeda dengan saat ini, dulunya jumlah media mungkin bisa dihitung jari. Di satu sisi, ini mungkin ditafsirkan membatasi kebebasan berpendapat. Namun di sisi lain, hal tersebut justru menjaga kualitas dari pemberitaan.
Pasalnya, dengan durasi tayangan yang terbatas, media akan berpikir dua kali untuk memberitakan pernikahan ataupun gosip perselingkuhan artis daripada invasi Jerman Nazi ke Prancis dan Inggris. Karena jumlah yang terbatas pula, media menjadi berlomba menyajikan berita berkualitas dan investigasi mendalam.
Namun saat ini, ketika media begitu banyak, persaingannya tidak lagi berpusat pada kualitas pemberitaan ataupun investigasi, melainkan pada sebesar apa rating dan klik yang didapatkan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, dengan model bisnis yang masih belum jelas, saat ini media mengandalkan investor dan iklan untuk bertahan hidup. Untuk kepentingan itu, mencari rating dan klik sebesar mungkin tentu harus dilakukan.
Seperti kutipan pernyataan Tom Nichols di awal tulisan, persoalan ini kemudian membuat media mengaburkan antara berita dengan hiburan agar dapat mendulang klik sebanyak mungkin.
Selain perlombaan mencari klik, banyaknya jumlah media juga dilihat telah menurunkan kualitas dari para jurnalis. Menurut Nichols, dahulunya jurnalis merupakan suatu profesi yang menantang, mereka melakukan investigasi panjang dan mendalam.
Namun sekarang, semua orang dapat menjadi jurnalis. Saat ini, profesi jurnalis dipandang dapat dilakukan oleh semua orang karena tugasnya hanya menyadur pernyataan pejabat, ataupun mencari isu yang hangat untuk diberitakan.
Baca Juga: Gaduh Medsos dan Perlunya Literasi Media
Nichols misalnya menyebutkan jurnalis Slate.com, Will Slate yang menghabiskan waktu satu tahun untuk mempelajari keamanan makanan dari organisme rekayasa genetik. Namun saat ini, cara kerja jurnalis seperti itu benar-benar tidak populer. Jurnalis dituntut serba cepat karena harus berlomba dengan begitu banyak media.
Tentu pertanyaannya, bagaimana mungkin memberikan kualitas berita yang baik apabila selalu dikejar-kejar waktu seperti itu? Selain itu, ada pula tuntutan jumlah berita harian kepada setiap jurnalis.
Charlenne Kayla Roeslie dalam tulisannya Mengapa Mereka Pergi?: Eksodus Jurnalis Asumsi dan Kegagalan Kita Menciptakan Sistem Media yang Sehat juga memaparkan persoalan ini. Terangnya, saat ini jurnalis dituntut memiliki keterampilan multimedia, beban kerja dan kecepatan kerja yang tinggi.
Mengutip laporan Burnout among journalist, a symptom of discontent in newsrooms, tuntutan tersebut berdampak pada kesehatan mental jurnalis. Imbasnya, kita dapat menebak itu akan berkonsekuensi pada kualitas produk berita yang dihasilkan.
Selain itu, Roeslie juga menyinggung soal sulitnya indepedensi media di tengah kebutuhan mendapatkan pendanaan dan iklan.
Dari sekelumit penjelasan ini, sebenarnya kita dapat menarik satu kesimpulan terkait mengapa media sulit menjaga indepedensi dan kualitas beritanya, yakni kemandirian finansial.
Lantas, dengan belum ditemukannya bisnis model yang jelas, apakah persoalan tersebut dapat dijawab?
AI Solusi Media?
Profesor Inovasi Jurnalisme di University of London, Jane B. Singer dalam tulisannya Are micropayments a viable way to support the news business?, juga memaparkan bahwa pendapatan yang turun drastis dalam dua dekade terakhir dan belum adanya model bisnis yang jelas telah membuat jurnalisme berada dalam krisis eksistensial.
Untuk menyiasatinya, berbagai media kemudian menghadirkan konten berbayar, di mana pembaca harus membayar di awal untuk membaca konten berita tertentu. Namun, seperti pertanyaan Singer, berapa banyak dari kita yang mau membayar untuk membaca berita?
Saat ini, banyak pihak bertolak pada asumsi bahwa informasi harus didapatkan secara gratis. Tidak hanya itu, dituntut pula kualitas berita yang akurat dan berbobot. Namun, seperti yang telah dibahas, bagaimana mungkin tuntutan tinggi seperti itu dapat dipenuhi apabila media memiliki keuangan yang tidak stabil.
Profesor Jurnalisme di Université du Québec à Montréal (UQAM), Patrick White dalam tulisannya How artificial intelligence can save journalism memberikan pendapat menarik yang mungkin dapat menjawab masalah media saat ini.
Menurutnya, masa depan jurnalisme dapat terletak pada kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Mengutip Profesor Jurnalisme di Columbia University, Francesco Marconi, ruang redaksi media perlu memanfaatkan AI dan membuat model bisnis baru.
White misalnya menyebutkan The Canadian Press di Kanada yang menggunakan AI untuk mempercepat penerjemahan dan mendeteksi foto yang dipalsukan.
Lanjutnya, AI dapat ditugaskan untuk menulis dua hingga enam paragraf tentang skor olahraga, laporan pendapatan, ataupun berita singkat berbasis data lainnya. AI juga dapat menghemat waktu jurnalis dalam menyalin wawancara audio maupun video.
Seperti yang disinggung Charlenne Kayla Roeslie sebelumnya, penggunaan AI untuk kepentingan tersebut sekiranya dapat mengurangi beban kerja dan lebih menjaga kesehatan mental jurnalis.
Baca Juga: Kebisingan Politik, Salah Jokowi atau Media?
Namun, White menegaskan bahwa AI tidak dapat menggantikan peran jurnalis. Seperti penegasan Francesco Marconi, mungkin hanya delapan sampai dua belas persen pekerjaan jurnalis yang dapat dilakukan AI. Tugas berat seperti membuat berita investigasi atau analisis mendalam hanya dapat dilakukan oleh jurnalis.
Kendati demikian, penggunaan AI sekiranya dapat menjadi jawaban. Pasalnya, konten-konten mengejar rating dan klik sebagian besar didapatkan melalui berita cepat dan singkat, di mana itu dapat dilakukan oleh AI. Dengan demikian, jurnalis dapat dikonsentrasikan di berita mendalam yang mengejar kualitas.
Namun, seperti penjelasan Nichols, sekalipun berbagai media nantinya menggunakan AI untuk mempermudah pekerjaan mereka, dengan banyaknya media saat ini, berita mencari klik dan sensasi tampaknya akan tetap menjadi primadona. Ke depannya, AI mungkin digunakan untuk mencari isu hangat secepat mungkin.
Atas persoalan ini, mungkin kita perlu memikirkan solusi yang radikal, yakni media harus dibatasi atau negara harus menjamin keuangannya.
Terkait pembiayaan dari negara, solusi ini mungkin riskan karena negara dapat memberikan intervensi atas produk berita. Sementara solusi pembatasan media, persoalannya mungkin hanya berkutat pada narasi kebebasan berpendapat.
Well, pada akhirnya kita mungkin harus memilih. Apakah kita harus mempertahankan banyaknya jumlah media dengan dalih kebebasan berpendapat, namun rentan melahirkan berita-berita pencari klik. Atau justru harus membatasi media agar lebih fokus menjaga kualitas produk beritanya. (R53)