Selentingan yang beredar di beberapa surat kabar menyebut kubu Prabowo-Sandi belum mencairkan dana operasional untuk timsesnya – membuat beberapa kerja kampanye politik belum dijalankan. Faktanya, uang masih memainkan peran sentral dalam kontestasi elektoral sekelas Pilpres. Di beberapa negara demokrasi, dana yang digunakan untuk lobi-lobi politik mencapai 13 kali lipat dana operasional kampanye Pemilu itu sendiri.
PinterPolitik.com
“In today’s world, money is like oxygen – lack of oxygen can kill you, so can too much of it.”
:: Abhijit Naskar, penulis ::
[dropcap]S[/dropcap]ekalipun grup musik ABBA menyebut “money must be funny in the rich man’s world”, tampaknya it is not funny at all ketika membicarakan lembaran merah bergambar Soekarno dan Hatta itu dalam konteks politik Indonesia.
Di tengah kondisi domestik yang diwarnai bencana alam, perbenturan politik yang mengiringi pertemuan IMF dan World Bank di Bali, serta perseteruan politik akibat hoaks dengan tajuk “operasi plastik” yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet, muncul selentingan dan rumor di beberapa media nasional yang menyebut tim kampanye Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tengah mengalami masalah cukup pelik terkait pencairan dana operasional.
Rubrik Rumor Politik di harian Suara Pembaruan beberapa hari lalu menyebutkan bahwa tim kampanye Prabowo-Sandi yang jumlahnya mencapai 800 orang masih enggan bekerja. Alasannya adalah hingga saat itu, dana operasional belum dicairkan – entah hal tersebut sudah berubah saat ini atau belum.
Yang jelas, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa banyak dari simpatisan yang berebut masuk ke tim kampanye Prabowo justru karena berkaca pada Pilpres 2014 lalu. Saat itu, sang jenderal cukup jor-joran mengucurkan dana untuk proses pemenangannya.
Hal tersebut memang beralasan, mengingat saat itu Prabowo masih memiliki modal politik yang cukup besar. Apalagi, saudaranya Hashim Djojohadikusumo juga masih kuat memodalinya.
Namun, sekalipun kini Prabowo mendapatkan sokongan dana dari Sandiaga Uno – kini orang terkaya ke-85 di Indonesia dengan total kekayaan US$ 300 juta – yang adalah seorang pengusaha dengan sokongan bisnis dari beberapa konglomerasi, namun diperkirakan aksi jor-joran serupa tidak akan terjadi lagi.
Prabowo disebut-sebut sudah tidak punya modal yang tebal, dan Hashim diperkirakan juga tidak akan lagi total mendukung pencalonannya saat ini seperti pada 2014 lalu.
Satu kandidat capres setidaknya akan menghabiskan Rp 1,38 triliun untuk biaya saksi di seluruh Indonesia. Share on XTentu saja kondisi ini diperkirakan akan membuat kecewa beberapa pendukung Prabowo. Persoalan dana kampanye ini memang telah tampak dengan sangat jelas sejak beberapa waktu lalu ketika sang jenderal membuka penggalangan dana, termasuk hingga tarik ulur pencalonannya sebagai presiden yang disebut-sebut karena alasan finansial. Semua persoalan tersebut seolah berdiri di atas kaki yang sama: sokongan finansial.
John McBeth dalam salah satu tulisannya di Asia Times juga pernah menyinggung persoalan pendanaan ini di seputaran penentuan nama cawapres Prabowo. Kala itu, koalisi yang tengah dibangun bersama Partai Demokrat juga diwarnai oleh isu jaminan pendanaan, serta kasus “jenderal kardus” yang semuanya berputar di persoalan isi kantong.
Pertanyaannya adalah apakah benar isu inilah yang kembali menjadi kendala kubu Prabowo, atau ada isu lain yang berhubungan dengan manajemen kampanye berbasis teknologi yang belum selesai digodok?
Money Matters, Prabowo!
Seberapa besar kekuatan elektoral uang? Faktanya, uang masih punya posisi yang sangat sentral untuk menentukan hasil akhir sebuah Pemilu.
Lee Druntman dalam tulisannya di The Washington Post pada 2014 lalu menyebut bahwa uang masih berperan besar untuk meningkatkan tingkat keterpilihan seseorang. Uang juga yang menggerakan mesin partai untuk berkampanye, mengingat biaya kampanye tidaklah murah.
Selain itu, dalam studi kasus Druntman terhadap beberapa pemilihan anggota Kongres Amerika Serikat (AS) pada tahun 2012, juga menyebut mayoritas uang yang berputar saat Pemilu digunakan untuk aktivitas lobi-lobi politik.
Tidak tanggung-tanggung, Druntman menyebut rasio antara spending atau penggunaan anggaran untuk lobi politik dengan aktivitas kampanye itu sendiri mencapai 13 berbanding 1. Dengan kata lain, lobi politik saat masa-masa kampanye menghabiskan anggaran 13 kali lipat dibandingkan dana yang dihabiskan untuk kampanye itu sendiri.
Rasio tersebut tentu saja mencengangkan dan menunjukkan bahwa lobi-lobi politik – yang punya kecenderungan kolusif dan nepotisme – menghabiskan dana yang sangat besar dalam proses politik elektoral. Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Faktanya, hal yang terjadi di AS tersebut sepertinya tidak jauh berbeda dengan kondisi di negara ini. Pada 2013 lalu, Forbes Asia menyebut untuk menjadi presiden di Indonesia seseorang minimal menghabiskan dana hingga US$ 600 juta.
Jumlah yang setara dengan Rp 7 triliun kurs saat itu atau Rp 9 triliun kurs saat ini, bukanlah angka yang sedikit, bahkan tergolong sangat mahal. Saat itu, pencalonan presiden memang tengah ramai diperbincangkan karena melibatkan kalangan pebisnis, mulai dari Hary Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie, hingga Chairul Tanjung.
Nama terakhir muncul ke permukaan, sekalipun menolak terlibat dalam politik. Adapun Prabowo Subianto saat itu muncul dengan bekingan saudaranya, Hashim Djojohadikusumo yang kini menjadi orang terkaya ke-51 di Indonesia dengan kekayaan mencapai US$ 915 juta.
Lalu, dari mana angka Rp 7 triliun yang disebut Forbes itu? Nyatanya, perhitungan biaya tersebut muncul melalui kalkulasi harga Rp 100 ribu yang dihabiskan per suara – untuk sembako dan kampanye – dengan syarat untuk memenangkan pertarungan adalah memperoleh 70 juta pemilih. Tapi, apakah jumlah tersebut tidak terlalu besar?
Tentu saja besar, namun boleh jadi demikianlah yang terjadi. Jika ditelusuri, pengeluaran yang umumnya dilakukan saat masa kampanye adalah untuk iklan (baliho dan televisi), pembiayaan konsultan politik dan survei elektabilitas, biaya operasional tim sukses, biaya operasional event kampanye, serta pembiayaan lain-lain yang berhubungan dengan money politics (serangan fajar dan sejenisnya) atau bagi-bagi sembako.
Biaya itu belum ditambah dengan pengeluaran untuk saksi di hari pemungutan suara berlangsung. Bahkan item terakhir ini menyedot biaya yang tidak sedikit.
Pada Pilkada Jawa Timur (Jatim) beberapa waktu lalu misalnya, Ketua MPR sekaligus Ketum PAN, Zulkifli Hasan menyebut biaya yang dihabiskan oleh satu kandidat untuk membayar saksi mencapai Rp 200 miliar, yang digunakan untuk transportasi, makan, dan uang saku.
Dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Jatim yang total berjumlah 68.511, maka dari total dana tersebut, satu TPS setidaknya menghabiskan Rp 2,9 juta untuk pembiayaan saksi.
Dengan menggunakan asumsi biaya saksi di Jatim tersebut, jika jumlah TPS nasional pada Pilpres 2019 dianggap tidak jauh berbeda dengan Pilpres 2014 – total 478.339 TPS – maka satu kandidat setidaknya menghabiskan Rp 1,38 triliun untuk biaya saksi di seluruh Indonesia.
Jumlah tersebut telah mencapai sepersembilan dari biaya kandidat yang disebut oleh Forbes pada 2013 lalu. Bahkan jika menggunakan rasio 13 berbanding 1 yang dibuat Druntman, maka jumlah keseluruhan anggaran yang harus dihabiskan satu kandidat bisa jauh lebih besar lagi. Maka, wajar jika Prabowo sampai harus meminta sumbangan masyarakat untuk pencalonannya karena jumlah dana untuk pencapresan tidaklah kecil.
Sebagai catatan, untuk biaya saksi di atas, setelah infografis PinterPolitik dipublikasikan di media sosial, muncul tanggapan dari orang-orang yang pernah menjadi saksi di Pilkada Jatim dan menyebut mereka “hanya” dibayar Rp 150-Rp200 ribu saat itu. Artinya, dengan mempertimbangkan Zulkifli Hasan tidak mungkin keliru tentang biaya Rp 200 miliar tersebut, boleh jadi penganggaran biaya saksi ini pun telah “dipangkas sana-sini” – kata lain untuk proses KKN dana elektoral.
Oleh karena itu, jika isu belum cairnya dana operasional itu benar, apa mungkin alasan Prabowo-Sandi melakukan hal tersebut adalah karena mekanisme penggunaan dana untuk mencegah penyalahgunaan belum selesai dikerjakan?
Demokrat tidak dukung Prabowo. PKS keliatan jalan sendiri dengan isu ganti presiden. PAN hanya akan memanfaatkan dana operasional untuk caleg. Prabowo-Sandi juga ga peduli menang atau kalah. Mereka semua cuma fokus untuk legislatif. Trust me. Jokowi akan melenggang
— Aku (@SiegerAnwalt) August 28, 2018
Duit atau Manajemen Kampanye?
Dalam bukunya yeng berjudul The Philosophy of Money yang terbit tahun 1900, Georg Simmel (1858-1918) menyebutkan bahwa uang memiliki hubungan dengan entitas politik, evolusi sosial, keadilan dan kebebasan, serta seringkali berhubungan dengan moral dan etika. Bahkan uang seringkali menjadi bukti “kepercayaan” atau trust.
Artinya, selain punya nilai yang melekat pada dirinya sebagai alat pembayaran dan ukuran terhadap nilai, uang dapat menjadi alat untuk memastikan kepercayaan atau ide tertentu dilakukan. Dalam konteks politik dan kampanye elektoral, uang adalah modal penggerak mesin partai sekaligus penjamin kepercayaan bahwa kerja-kerja politik telah dijalankan dengan baik.
Dalam konteks tersebut, tanpa modal yang mengalir, sulit membayangkan Prabowo akan sanggup memainkan pertarungan politik melawan Jokowi. Jika dana operasional kampanye politiknya macet, maka tentu saja kerja-kerja politik dan pembentukan citra serta sosialisasi visi-misi menjadi terhambat.
Namun, ada dugaan lain terkait penyebab belum cairnya dana tersebut, yaitu mengenai isu manajemen pengelolaan keuangan yang masih dalam proses penggodokan. Selentingan yang muncul menyebut Prabowo-Sandi sedang membangun sistem manajemen kampanye dan keuangan yang berbasis teknologi.
Belum ada informasi yang pasti seperti apa model teknologi tersebut, namun hal ini disebut-sebut efektif untuk mencegah penyalahgunaan dana dan mengefisienkan pengeluaran.
Sistem ini memungkinkan pengeluaran tim bisa dikontrol dan dimaksimalkan secara efektif untuk mengurangi pemborosan dan memaksimalkan dana yang ada. Setelah gagal pada 2014, Prabowo sepertinya tidak lagi bisa mendapatkan sokongan finansial yang leluasa. Apalagi, yang dihadapi lagi saat ini adalah Jokowi yang sangat populer dan kuat di hadapan masyarakat.
Apa pun alasannya, yang jelas jika isu belum cairnya dana operasional ini benar, maka bisa dipastikan mesin politik Prabowo-Sandi akan terhambat. Situasi ini juga diperberat dengan kondisi koalisi yang mulai goyah dengan berbagai isu hoaks, kritik salah tempat – misalnya kritik terhadap pertemuan IMF-World Bank yang nyatanya diinisiasi oleh SBY yang kini jadi bagian koalisi Prabowo-Sandi – serta kampanye yang belum maksimal, bukan tidak mungkin mimpi Prabowo untuk kursi RI-1 akan kembali pupus.
Pada akhirnya, memang benar kata Abhijit Naskar di awal tulisan, bahwa uang itu seperti oksigen. Nyatanya, kekurangan uang boleh jadi akan membunuhmu dan ambisimu. (S13)