DPRD dan Pemprov DKI Jakarta sepakat untuk menaikkan dana bantuan partai politik hingga dua kali lipat. Kesepakatan ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada kepentingan politis di baliknya?
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]adan Anggaran DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepakat untuk menaikkan dana bantuan partai politik (parpol) hingga dua kali lipat. Dengan demikian, total anggaran yang dipersiapkan dalam RAPBD DKI 2019 untuk bantuan parpol menjadi Rp 10,6 miliar.
Sebelumnya, dana bantuan parpol yang diajukan hanya sebesar Rp 5,3 miliar. Angka tersebut muncul dengan perhitungan yang berubah dari Rp 1.200 menjadi Rp 2.400 per suara sah.
Berdasarkan Pasal 5 ayat 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, memang membolehkan daerah untuk menyesuaikan bantuan dana parpol sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Dana Parpol, Deal Anies-DPRD? Share on XSebelumnya, persoalan kenaikan dana parpol di DKI Jakarta ini menuai polemik. Pada tahun 2017, pada APBD-P 2018 termuat dana parpol naik 10 kali lipat, dari sebelumnya Rp 410 menjadi Rp 4.000 per suara sah. Namun hal itu berakhir dengan pencoretan karena tidak disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sementara di sisi lain, saat ini Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Anies Baswedan sebagai Gubernur, sedang gencar untuk memasukkan program-program strategisnya. Misalnya saja soal pembangunan stadion sepak bola di Taman Bersih, Manusiawi, dan Berwibawa (BMW), atau soal tempat pengolahan sampah dalam kota (intermediate treatment facility).
Tentu kembali masuknya kenaikan bantuan dana parpol dalam nomenklatur RAPBD 2019 menimbulkan pertanyaan. Apakah persetujuan antara Anies dengan DPRD merupakan sebuah konsolidasi demokrasi internal, atau hal tersebut merupakan sebuah taktik “tukar guling” agar rencana strategis Anies lewat program-program yang lain dapat disetujui?
Perlukah Menaikkan Dana Bantuan Parpol?
Sebetulnya, yang lebih mendasar untuk dijawab adalah apakah perlu bantuan dana parpol itu dinaikkan? Sebab, rencana seperti ini sering kali menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Misalnya saja rencana pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan dana parpol menjadi Rp 1.000 per suara sah sempat dianggap sebagai pemborosan oleh masyarakat. Jika diakumulasikan, Jokowi akan menyediakan Rp 111 miliar dalam APBN untuk pos tersebut. Apalagi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol di Indonesia masih sangat rendah.
Namun, dalam beberapa studi menunjukkan bahwa sebenarnya kenaikan dana parpol itu diperlukan. Doktor Ilmu Politik dari Universitas Oxford Marcin Walecki menyebutkan bahwa 80 persen negara di dunia mendanai parpol melalui APBN. Di Jerman misalnya, 30 persen dana parpolnya berasal dari uang negara, sementara di Belgia 85 persen dana parpol berasal dari uang negara.
Perlu diakui bahwa biaya demokrasi di Indonesia sangat mahal. Sehingga, dalam kadar tertentu akan memberatkan parpol. Selama ini parpol mendapat dana dari iuran anggota atau sumbangan dari pihak ketiga.
Oleh karenanya, menaikkan dana parpol adalah sebuah keniscayaan dengan tiga argumentasi.
Pertama, di banyak negara demokrasi, bantuan dana partai digunakan sebagai cara untuk memaksa partai menjadi lebih profesional dan transparan dalam mengelola keuangan.
Partai sebagai entitas publik diberi bantuan dana sekaligus diberi prioritas untuk membiayai sejumlah aktivitas politik yang beririsan dengan kepentingan publiknya. Dana yang diberikan wajib dilaporkan dan peruntukannya bisa diakses publik.
Saat ini, kondisi keuangan parpol di Indonesia seperti hutan belantara, tak jelas sumber keuangannya dari mana saja dan dari siapa saja. Partai kerap kali menjadikan jabatan publik yang dipegang politisi kadernya menjadi “ATM berjalan”, sehingga praktik seperti ini menyuburkan korupsi.
Kedua, bantuan dana partai diletakkan dalam ikhtiar mencegah penguasaan partai oleh hanya satu atau dua orang saja. Partai bukan perusahaan yang sahamnya dimiliki seseorang atau keluarga dan kroninya.
Thomas Carothers, dalam tulisannya berjudul Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi.
Situasi ini biasanya bermula dari seseorang yang merasa pemilik saham terbesar dalam partai dan menjadi sosok yang “mendanai” hampir semua aktivitas partai.
Dengan bantuan dana dari APBN/APBD atau uang rakyat, partai diharapkan menjadi lebih melembaga dan bukan “mempribadi”.
Ketiga, dana partai bisa digunakan untuk prioritas pendidikan politik dan kaderisasi di internal partai. Saat ini, kaderisasi dan pendidikan politik kerap diletakkan dalam skema rekrutmen dan persuasi jelang pemilu. Jika dana bantuan parpol dinaikkan, harus ada skema yang jelas berbentuk ketentuan yang mewajibkan prioritas alokasi dana parpol untuk pendidikan politik dan kaderisasi.
Dari ketiga argumen tersebut, “subsidi” yang notabene dari rakyat memang diperlukan. Namun, tak jarang isu kenaikan bantuan dana parpol mengandung muatan politis. Dalam konteks DKI Jakarta, bagaimana jika kenaikan dana perpol ini menjadi bagian dari strategi politik oleh pejabat – dalam hal ini Anies – untuk meloloskan beberapa rencana strategis yang sedang direncanakannya?
“Tukar Guling” DPRD-Anies?
Dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah memang disebutkan tentang eksistensi, kedudukan, wewenang dan tugas DPRD serta kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dengan bobot yang bervariasi, dengan kedudukan yang seimbang, dan setara.
Dengan kesamaan tingkatan ini terkadang menimbulkan permasalahan politik di antara dua lembaga tersebut. Apalagi, banyak kasus dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia rencana kerja seorang kepala daerah diganjal oleh DPRD yang berasal dari parpol oposisi.
Kondisi tersebut juga bisa dilihat dalam fenomena DKI Jakarta. Anies, sebagai gubernur yang diusung oleh Gerindra dan PKS harus menghadapi PDIP yang memiliki kursi terbanyak di DPRD Jakarta, termasuk ketika mengusulkan rencana program strategis.
Seperti diketahui, aroma panas antara Gerindra dan PDIP sangat terasa dengan titik kulminasi Pilkada DKI Jakarta 2017 yang mempertemukan Anies dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang didukung PDIP. Kondisi tersebut terbawa hingga hari ini, antara Pemprov DKI dengan DPRD.
Hal ini sejalan dengan pendapat Marcin Malecki bahwa kerap kali hubungan antara gubernur dengan DPRD memperlihatkan gejala masing-masing merasa lebih superior, sehingga terjadi tarik-menarik kepentingan antara kedua institusi tersebut. Mereka memiliki kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri.
Dana Bantuan Parpol di DKI Naik Dua Kali Lipat Jadi Rp10,6 M – Djamal Aziz dotcom https://t.co/UY8PrHmqVD pic.twitter.com/wkqd2MjSja
— Djamal Aziz (@DjamalAziz2) November 28, 2018
Pihak kepala daerah lebih memahami kedudukan mereka sebagai pelaksana kebijakan, sehingga mereka lebih memiliki akses politik khususnya terhadap publik. Di pihak lain, DPRD merasa sesuai dengan kewenangannya, mereka ebih kuat karena mereka adalah yang mengawasi kebijakan kepala daerah, serta memberikan persetujuan terhadap APBD dan peraturan daerah.
Oleh karena itu, agar program Anies bisa berjalan sesuai keinginannya, perlu ada “tukar guling” antara dua institusi tersebut.
Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta telah mengusulkan anggaran proyek strategis daerah senilai Rp, 6,7 triliun. Asisten Sekretaris Daerah bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusmada Faisal mengatakan pada Tempo usul tersebut sudah dikirimkan ke DPRD pada Oktober lalu.
Program tersebut diusulkan tidak melalui Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang menjadi dasar penyusunan APBD. Program tersebut sebagai tindak lanjut dari terbitnya Keputusan Gubernur Nomor 1042 Tahun 2018.
Di antaraya adalah pembangunan stadion BMW senilai Rp 900 miliar. Program ini adalah salah satu janji Anies saat kampanye yang menggiurkan banyak pendukung klub sepak bola kebanggaan ibukota, Persija Jakarta. Kemudian ada anggaran pengadaan lahan untuk tempat pengolahan sampah dalam kota atau intermediate treatment facility dengan nilai Rp 700 miliar.
Sementara bagi DPRD, diskusi perencanaan tersebut berlangsung ketat. Di akhir waktu Rapat Badan Anggaran dengan Pemprov DKI Jakarta, kader PDIP Gembong Warsono mengusulkan untuk menaikkan bantuan dana parpol. Setelah beberapa saat, rencana tersebut mendapat kesepakatan bersama.
Artinya, dalam pembicaraan RAPBD 2019 antara Pemprov DKI dan DPRD memiliki kepentingan yang sama-sama ingin ditunaikan. Melalui rapat Badan Anggaran DPRD dengan Pemprov DKI tersebut dihasilkan sebuah kesepakatan win-win solution.
Dari fakta-fakta di atas, jelas bahwa kebijakan menaikkan dana parpol memiliki nuansa politis. Ada anggapan lain bahwa hal ini juga dilakukan Anies demi menyenangkan partai pendukungnya, yakni Gerindra. Meski secara jumlah kursi Gerindra berada di posisi ke-2, berada di bawah PDIP, namun dengan langkah tersebut bisa menjadi konsolidasi politik.
Tentu masih ingat, ketika terjadi polemik kenaikkan dana parpol 10 kali lipat di DKI Jakarta pada periode sebelumnya, Gerindra adalah salah satu partai yang paling antusias mendukung rencana tersebut, meski pada akhirnya proposal itu ditolak oleh Kemendagri.
Namun, dengan disepakatinya dana parpol menjadi Rp 10, 6 miliar – naik dua kali lipat, bisa jadi merupakan “dana penyenang” bagi Gerindra sebagai partai pendukung utamanya. Selain itu, kenaikan dana parpol ini juga bisa dijadikan alat peredam bagi parpol di DPRD yang selama ini bersikap keras – misalnya dalam isu Tanah Abang atau ditolaknya Perda Becak.
Pada akhirnya, konteks menaikkan dana parpol memang penting, namun harus diletakkan secara komprehensif dan tidak hanya dijadikan kepentingan politis antara Pemprov dan DPRD. Apalagi tidak jelas mekanisme pengelolaan dana tersebut. Selain itu, jika anggaran parpol ingin dibiayai dari APBN atau APBD, adalah lebih baik jika jumlahnya pun tidak setengah-setengah dan jelas pertanggungjawabannya.
Naiknya dana parpol jangan hanya dijadikan sikap berdamai dengan menukar kepentingan politis antara partai-partai politik dengan pemimpin eksekutif. Sebab bagiamanapun, APBD adalah uang rakyat, hasil dari pajak rakyat. Tentu saja, di titik ini, rakyat harus terus mengkritisinya. (A37)