Site icon PinterPolitik.com

Dampingi Anies, Andika Kalahkan AHY?

anies andika perkasa

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat bertemu dengan Jenderal TNI Andika Perkasa saat masih menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri), Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono di Balai Kota Selasa 18 Agustus 2020 silam. (Foto: Dokumentasi Humas Pemprov DKI Jakarta)

Jelang purna tugas, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa semakin santer disebut menjadi kandidat ideal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan. Itu secara tidak langsung agaknya menenggelamkan ambisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sebelumnya juga dikabarkan  akan menemani Anies. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kembali memanaskan bursa kandidat di pemilihan presiden (Pilpres) 2024 sebagai pendamping Anies Baswedan. Sayangnya, itu tampak akan menjadi buruk bagi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Ya, elemen masyarakat yang menamakan diri sebagai relawan Anies-Andika For 2024 (AK24) mendeklarasikan dukungan agar Jenderal Andika menemani Anies yang sebelumnya telah diusung Partai NasDem sebagai calon presiden (capres).

Bukan tanpa alasan, selain dari segi kinerja selama berkarier di TNI, Andika juga akan purna tugas pada akhir tahun ini dan seolah jadi momentum tepat untuk melanjutkan pengabdian ke Istana.

Merespons hal itu, Jenderal Andika tak banyak berkomentar saat ditanya awak media setelah menghadiri pelantikan putrinya sebagai dokter di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu 12 Oktober kemarin. Dia menyatakan selama ini tidak ada komunikasi yang mengarah pada konteks tersebut dengan pihak manapun.

Secara profesional, Komandan Paspampres ke-21 itu menekankan dirinya ingin fokus menyelesaikan tugas sebagai Panglima TNI.

Akan tetapi, kabar sokongan sejumlah pihak agar Jenderal Andika menjadi cawapres Anies bisa jadi akan membuat harapan AHY bertepuk sebelah tangan.

Meskipun nama Ridwan Kamil (RK) juga muncul untuk mendampingi Anies, Andika dan AHY tampaknya lebih memiliki kans sebagai kombinasi sipil-militer yang ideal.

Kembali, selama ini AHY telah beberapa kali tersorot kamera wartawan beriringan langkah dengan Anies dalam sejumlah kesempatan. Selain ditafsirkan para analis politik tanah air sebagai gestur pendekatan dan membangun chemistry, AHY sendiri telah berharap agar komunikasinya dengan Anies bisa semakin intensif.

Sayangnya, respons elite politik dan presumsi sejauh ini lebih mengarah pada Jenderal Andika, bukan AHY. Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali menjelaskan nama Jenderal Andika memang masuk ke dalam bursa cawapres pendamping Anies.

Tak hanya Partai NasDem, calon partai politik pengusung Anies, PKS juga menyiratkan sambutan positif. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai duet Anies-Andika sebagai pasangan menarik serta dapat saling melengkapi.

Lantas, mengapa respons positif lebih mengarah pada Jenderal Andika dibanding AHY untuk mendampingi Anies?

AHY Punya “Dosa”?

Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, melakukan komparasi berdasarkan “modal” yang dimiliki oleh Jenderal Andika dan AHY kiranya dapat dijadikan titik tolak pertama.

Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu mendeskripsikan modal sebagai sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat diutilisasi. Artinya, istilah “modal” digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Ada beberapa jenis modal yang dipaparkan Bourdieu dalam bukunya yang berjudul The Forms of Capital, salah satunya adalah yang menjadi pisau bedah komparasi Andika-AHY, yakni modal sosial.

Dalam pemikirannya, modal sosial adalah properti individual yang bersumber dari status sosial seseorang. Modal sosial kemudian dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang atau individu yang menguasai sumber daya.

Bourdieu juga mengatakan bahwa modal sosial tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang, dan hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memperolehnya dengan mencapai posisi kekuasaan dan status dengan mengembangkan niat baik.

Modal sosial antara Andika dan AHY agaknya dapat dibandingkan berdasarkan impresi kinerja keduanya saat menjabat di militer. Dalam hal ini, secara kasat mata hasil akhir komparasi agaknya dapat dengan mudah dilihat saat mengacu pada pencapaian dan prestasi hingga pangkat terakhir masing-masing.

Selain persoalan usia, AHY yang tampak “terpaksa” pensiun dini dengan pangkat Mayor boleh jadi memang telah tertinggal dari Jenderal Andika sejak awal.

Secara kemampuan komunikasi publik, keduanya memang memiliki karakteristik yang hampir serupa, yakni memiliki keluwesan dan mengutamakan etika berbicara terbaik di hadapan insan pers.

Akan tetapi, pencapaian profesional Jenderal Andika di bidang keprajuritan lagi-lagi menjadi tolok ukur yang agaknya sulit untuk disamakan AHY.

Sebut saja keberanian Jenderal Andika menelurkan kebijakan progresif setelah memiliki empat bintang di pundaknya, seperti menghapus tes renang, menghapus tes keperawanan bagi calon prajurit perempuan, memperbolehkan keturunan PKI untuk mendaftar TNI, hingga mengubah syarat tinggi badan minimal calon taruna Akademi TNI.

Itu bahkan belum termasuk pengalaman komplit di aspek tempur, intelijen, teritorial, doktrin dan pendidikan, hingga memimpin pasukan tiga divisi saat menjabat Pangkostrad.

Terlebih, AHY langsung terjun ke dunia politik saat pensiun dini. Sebuah realitas yang membuat setiap manuvernya hampir pasti memantik tanggapan kontra saat Partai Demokrat yang dipimpinnya kerap mengkritik pemerintah di tengah koalisi parpol pemerintah yang begitu besar.

Atas rekam jejak tersebut, impresi pemilih kelak boleh jadi akan lebih positif menaungi Jenderal Andika dibandingkan AHY.

Keunggulan modal sosial Jenderal Andika itu pun dapat dikonversi menjadi modal politik sebagaimana dijelaskan Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital. Persis seperti frasa “memperoleh kekuasaan” yang dikemukakan Bourdieu.

Selain itu, kiprah AHY di politik belakangan juga tercoreng dengan dua pernyataan kontroversial plus satu kasus rasuah yang menjerat kader Partai Demokrat.

Setelah menyebut pemerintahan saat ini hanya “menggunting pita” proyek infrastruktur karena sebagian besar telah dikerjakan sejak era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), AHY kembali memantik reaksi keras koalisi parpol penguasa saat menyebut kondisi masyarakat saat ini lebih sulit dibanding tahun 2004-2014 saat SBY dan Partai Demokrat berkuasa.

Kasus korupsi yang menjerat Lukas Enembe plus riwayat kasus rasuah lain di era pemerintahan sang ayah kiranya juga akan menjadikan AHY sasaran empuk rival politik di kontestasi elektoral 2024.

Fr Amado Picardal dalam publikasi yang berjudul Corruption is a social sins menyebut korupsi sebagai sebuah dosa di hadapan khalayak, baik secara harfiah maupun secara sosial.

Oleh karena itu, memasangkan Anies dan AHY tampaknya lebih berisiko untuk dihujani sentimen minor dibandingkan memasangkan Anies dan Jenderal Andika.

Selain itu, duet Anies-Andika juga kiranya dapat memicu sokongan politik luar biasa jia mengacu karakteristik personal politik keduanya. Mengapa demikian?

“Boneka” Ideal Oligarki?

Meskipun eksistensinya seolah abstrak, oligarki yang terdiri dari para pemegang pengaruh ekonomi-politik kerap disebut dapat memengaruhi signifikan hasil akhir sebuah pilpres.

Pada edisi 2014, misalnya, Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, tanpa adanya oligarki, potensi Jokowi untuk menjadi kandidat capres tidak mungkin teraktualisasi.

Indonesianis lainnya, yakni Vedi Hadiz dan Richard Robison, juga menyebutkan bahwa Jokowi pada akhirnya bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki kawakan era Orde Baru (Orba) agar dapat menang menjadi RI-1.

Karakteristik yang ditampilkan Jokowi itu dengan seolah “dikendalikan” dan berkompromi itu kerap disebut sebagai puppet leader atau pemimpin boneka. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan puppet leader memiliki dua elemen fundamental.

Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Entitas itu kerap disebut sebagai oligarki.

Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi politik sedemikian rupa jika nantinya terpilih.

Pada konteks wacana duet Anies-Andika yang notabene bukan kader parpol manapun, menjadikan keduanya kemungkinan tampak ideal bagi akomodasi dan kompromi berbagai kepentingan plus oligarki, serta karakteristik puppet leader.

Meski di atas kertas tidak diharapkan, itu kemudian yang membuat peluang Anies-Andika untuk memenangkan Pilpres 2024 tampak cukup positif.

Berbeda halnya apabila AHY mendampingi Anies. Dengan posisi sebagai ketum parpol yang selama ini berada di luar pemerintahan, AHY bisa saja dianggap kurang kooperatif dan cenderung akan mematok konsesi politik besar di pemerintahan andai kata menang.

Oleh karena itu, jalan tengah menjadi mastermind bersama Ketum Partai NasDem Surya Paloh untuk menyokong pasangan Anies-Andika kiranya akan lebih tepat bagi AHY.

Selain untuk menghindari sentimen minor dan memperbesar peluang kemenangan koalisi, AHY bisa saja ditarik ke pemerintahan sebagai menteri yang membidangi pertahanan sebelum meniti karier politik lebih tinggi di edisi 2029.

Kendati demikian, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi berdasarkan variabel komprehensif kasat mata. Secara praktik, tentu politik akan berjalan sangat dinamis serta bisa saja menelurkan kejutan. (J61)

Exit mobile version