Bagi Indonesia, dampak dari konflik Qatar ini cukup signifikan. Mulai dari sektor pariwisata, investasi hingga persoalan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sana pun akan dapat merasakan dampaknya.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]anasnya perseteruan yang terjadi di Timur Tengah antara Qatar dan empat negara Arab belum mendapatkan titik temu. Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Bahrain PUN secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Qatar, keputusan itu pun diikuti oleh Yaman, Libya, dan Maladewa. Kini, negara yang mempunyai luas wilayah yang tak lebih dari sepertiga luas Provinsi Jawa Barat ini pun resmi dikucilkan oleh negara-negara di Timur Tengah.
Pengamat Politik Timur Tengah UIN Syarif Hidayatullah, Ali Munhanif, menilai alasan utama Qatar dikucilkan oleh Arab Saudi dan negara lain yaitu karena Qatar gencar sekali menyuarakan reformasi pemerintahan negara-negara Arab. Selain itu, Ali juga melihat sikap politik internasional Qatar yang kerap berbeda dengan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Karena sikap politiknya yang kerap mendorong reformasi sistem monarki di negara-negara Arab tersebut, Ali berpendapat pengaruh Qatar dikhawatirkan mengancam eksistensi sistem monarki konservatif di negara-negara Arab.
“Qatar diperhatikan secara utama. Ada kekhawatiran rezim konservatif di teluk, kalau dibiarkan Qatar akan mendorong adanya Arab Spring jilid dua,” papar Ali.
Efek dari pengucilan yang dilakukan negara-negara Arab membuat Qatar terancam lumpuh tanpa bantuan yang selama ini memutar roda ekonomi. Menurut World Economic Forum, Qatar mempunyai ketergantungan ekonomi pada sumber daya alam negara-negara lain di sekitar wilayahnya. Karena selama ini negara-negara disekitar Qatar inilah yang menjadi tiang ekonomi penyangga Qatar.
Bukti kerontokan ekonomi Qatar telah tampak dalam hitungan jam sejak negara-negara Arab ini mengumumkan memutus hubungan diplomatik. Indeks benchmark Qatar jatuh 7,9 persen dan angka ini adalah salah satu angka paling tragis sejak 2009.
Salah satu sektor yang paling terluka ialah industri penerbangan, karena semua jalur udara di blokade. Qatar kini terkunci dan ruang geraknya pun menjadi terbatasi. Mimpi Qatar menyongsong masa depan sebagai negara maju di Timur Tengah dibikin pupus dengan pemutusan hubungan diplomatik massal ini.
Bahkan persiapan penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar terancam hancur. Padahal sejak diumumkan sebagai tuan rumah Piala Dunia, Qatar mencanangkan megaproyek infrastruktur 150 miliar dolar AS. Sebanyak 10 juta dolar AS di antaranya dialokasikan untuk kebutuhan infastruktur Piala Dunia.
Pengucilan terhadap Qatar ini pun membawa dampak bagi Indonesia,
Dampak Konflik Qatar Bagi Indonesia
Bagi Indonesia, dampak dari konflik Qatar ini cukup signifikan. Di sektor pariwisata, menurut Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, Indonesia diperkirakan akan kehilangan ribuan wisatawan mancanegara dari Timur Tengah terutama para pengguna maskapai Qatar Airways.
“Sekitar 100.000 orang yang naik itu, 70 persennya wisman, lainnya wisnus dan nonwisman. Itu setahun. Ini sama dengan tahun lalu cara menghitungnya. Impact-nya kalau tujuh bulan untuk tahun ini ya 70 persennya lagi. Jadi sekitar 49.000 sampai 50.000 orang,” katanya.
Hal tersebut berbeda di sektor investasi Qatar di Indonesia. Saat ini Qatar termasuk salah satu investor terbesar di Indonesia, Qatar memiliki sejumlah investasi di Indonesia meliputi bidang keuangan perbankan dan komunikasi, antara lain melalui Qatar National Bank QNB dan kepemilikan saham Indosat Ooredoo.
Bahkan menurut data dari Kementerian Perindustrian, dalam lima tahun terakhir tercatat perdagangan Indonesia dan Qatar meningkat dengan rata-rata 3,87 persen. Di tahun 2011 nilai perdagangan kedua negara mencapai US$683 juta dan hingga September 2016 meningkat menjadi US$828 juta.
Menurut Pengamat Timur Tengah, Smith Al Hadar, dengan adanya konflik ini, maka rusak pula hubungan Qatar dengan anggota Dewan Kerja Sama Teluk termasuk dengan negara Arab yang lain seperti Mesir dan Yaman. Dengan keadaan seperti itu, Qatar bisa saja mengalokasikan dana investasinya ke Asia. Jadi Krisis Qatar ini menurutnya akan berdampak positif terhadap Indonesia.
Di sektor tenaga kerja, walaupun secara resmi pemerintah Indonesia memberlakukan penghentian pengiriman tenaga kerja untuk sektor domestik ke sejumlah negara Arab termasuk Qatar sejak 2015 lalu, namun menurut Data Migrant Care yang menyebutkan bahwa ada 75.000 orang buruh migran Indonesia di Qatar. Hal tersebut menunjukan bahwa Qatar masih menjadi salah satu tujuan para buruh migran Indonesia untuk mengadu nasib.
Akibat konflik Qatar ini, Wahyu Susilo dari Migrant Care meminta pemerintah memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia tersebut. Dengan ditutupnya jalur udara Qatar, para buruh migran ini takut tidak bisa kembali pulang ke Indonesia pada saat hari raya Idul Fitri nanti.
Sementara untuk remitansi dari para buruh migran, menurut Wahyu tidak akan terlalu terpengaruh oleh krisis politik ini, karena memang jumlahnya terus menurun setiap tahun, terutama sejak diberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja sektor domestik.
Peran Indonesia Dalam Konflik Timur Tengah
Majelis Ulama Indonesia pun mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif guna menyelesaikan konflik ini antara Qatar dan sejumlah negara-negara Arab ini. Menurut pengamat Timur Tengah dari Universitas Gajah Mada, Siti Mutia, untuk menyelesaikan masalah di Timur Tengah ini Indonesia dapat menggunakan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau Liga Arab sebagai fasilitator perundingan perdamaian.
Sementara itu Kementerian Luar Negeri membuat keterangan tertulis yang diwakili oleh Menlu Retno Marsudi. Ia mengatakan kepada Menlu Arab Saudi, Qatar, Turki, Iran melalui sambungan telepon bahwa Indonesia siap berkontribusi untuk penyelesaian Timur Tengah. Ia juga menekankan untuk mendepankan dialog dan rekonsiliasi dalam penyelesaian masalah ini.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin saat menghadiri buka bersama di rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat (12/6) pun mendukung pemerintah Indonesia untuk segera melakukan rekonsiliasi atau “islah” kepada para negara-negara Arab ini. Indonesia pun diminta untuk mendesak OKI untuk melakukan sidang darurat guna mencegah perpecahan yang mungkin terjadi di wilayah Timur Tengah ini jika tidak ada tindakan yang berarti untuk penyelesaian konfliknya.
Menurut Din peristiwa konflik ini bukanlah peristiwa kecil yang bisa dianggap remeh, krisis itu akan membawa dampak berantai terhadap negara-negara Islam lainnya, termasuk Indonesia. Din mengatakan Indonesia dapat menampilkan peran sebagai penengah yang baik. Indonesia menurutnya harus segera mengirim utusan yang dikenal baik di Timur Tengah.
“Indonesia mengambil prakarsa mungkin (melangsungkan pertemuan) bukan di kawasan sana, (tapi) di Jakarta atau di tempat lain. Atau, kita mengusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pertemuan sidang darurat OKI atas undangan Indonesia. Atau mungkin sidang darurat negara-negara Islam atau tokoh-tokoh Islam, yang tak hanya melibatkan pemimpin pemerintahan tetapi pemimpin umat atau masyarakat, saya tidak tahu mekanismenya,” tambah Din.
Ia pun merekomendasikan Wapres Jusuf Kalla (JK) sebagai utusan Indonesia untuk menengahi konflik di Timur Tengah. Din mengungkapkan dirinya mengusulkan nama JK bukan tanpa alasan, melainkan karena pria nomor dua di Indonesia itu dikenal oleh pejabat-pejabat tinggi di negara-negara Timur Tengah. Namun begitu Din juga mengakui bahwa bantuan JK ini masih belum cukup untuk meredam konflik Qatar dan negara-negara di Timur Tengah.
Din juga menilai Indonesia harus memanfaatkan organisasi OKI yang mayoritas berisi negara Islam di kawasan. Meski meminta bantuan OKI melalui sidang darurat akan sulit dilakukan karena markas besarnya ada di Jeddah dan sekjennya berasal dari Arab Saudi, Din masih negara-negara anggota OKI yang tak terlibat konflik bisa meredakan perseteruan tersebut, seperti Kuwait atau Turki yang hingga kini tetap ambil sikap netral dalam kasus tersebut.
Mampukah Indonesia berpartisipasi dalam konflik Internasional sebagai wujud pengaplikasian politik luar negeri bebas aktif Indonesia? (A15).