Site icon PinterPolitik.com

Dagelan Drama Sidang Setnov

Kemarin, Rabu (13/12) Setya Novanto menghadapi dua persidangan sekaligus, yaitu Praperadilan dan Peradilan Tipikor. Ada banyak drama dari dua peradilan yang digelar tersebut, apakah ini akhir drama Papa?


PinterPolitik.com

“Adalah urusan semua orang untuk melihat keadilan ditegakkan.” ~ Sir Arthur Conan Doyle, The Memoirs of Sherlock Holmes

[dropcap]B[/dropcap]ukan Setya Novanto (Setnov) namanya kalau tidak bisa membuat drama sekaligus sensasi – atau bahkan komedi – dalam setiap sepak terjangnya. Saat sudah dijadikan pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja, ia masih bisa membuat banyak orang ternganga-nganga.

Kali ini yang kebingungan dan bertanya-tanya adalah para ahli dan praktisi hukum Indonesia. Pasalnya, Rabu (13/12) kemarin, Sidang Peradilan Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor) Setnov di mulai. Pada hari yang sama pula, Sidang Praperadilan Setnov masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sebenarnya ketika KPK menyatakan telah melimpahkan semua berkas perkara ke Jaksa Penuntut Umum, Hakim Kusno sebagai hakim tunggal dalam praperadilan Setnov sudah mempertanyakan keberlangsungan sidang yang ia pimpin. Namun tim pengacara Setnov berkeras untuk melanjutkan sidang praperadilan hingga mendapatkan keputusan.

Padahal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor 102/PUU-XIII/2015, bila pokok perkara telah dilimpahkan, maka praperadilan gugur terhitung sejak persidangan pertama dilakukan atau diselenggarakan. Jadi apapun hasil dari sidang praperadilan tersebut, sudah tidak memiliki kekuatan hukum bagi Setnov.

Bila memang demikian, mengapa tim pengacara maupun Setnov sendiri masih berkeras untuk melanjutkan sidang? Di sisi lain, sebagai penegak hukum, Hakim Kusno tentu memahami kalau persidangan yang dipimpinnya sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum, namun mengapa ia masih mengikuti keinginan pemohon?

Menang Kalah, Tetap Gugur

“Kami yakin seluruh prosedur hukum acara sudah kita terapkan dalam proses penetapan tersangka sampai dengan hari ini dan ke depan, kita akan terus mematuhi secara aturan.”

Pernyataan di atas diungkapkan oleh Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah, terkait sidang dakwaan Tipikor yang diselenggarakan tanpa menunggu keputusan sidang praperadilan Setnov. Dimulainya sidang dakwaan di Peradilan Tipikor sebelum adanya keputusan sidang praperadilan yang dilakukan Setnov, membuat masyarakat awam kebingungan. Siapakah yang menyalahi prosedur sehingga bisa terjadi kasus seperti ini?

Apalagi di sidang praperadilan, para saksi ahli dari kubu Setnov mempersalahkan KPK yang terkesan sengaja mempercepat sidang dakwaan dan tidak menghormati hak mendapatkan keadilan Setnov. Benarkah begitu? Bila iya, apakah tim pembela Setnov dapat membatalkan sidang dakwaan berdasarkan keputusan praperadilan?

Menurut Peneliti ICW Emerson Yuntho, sebenarnya ketika sidang perdana Setnov sudah dibuka hakim dan telah memasuki pokok perkara di mana dakwaan atas Setnov dibacakan, maka sidang praperadilan Setnov tetap gugur. Sebab pada saat itupun, status Setnov sudah bukan lagi tersangka, tapi sudah terdakwa.

Bila sidang praperadilannya saja sudah dianggap gugur, maka apapun keputusan yang dihasilkan oleh sidang tersebut, otomatis tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Artinya, kalaupun pada Kamis (14/12), Hakim Kusno mengeluarkan keputusan memenangkan gugatan Setnov, sidang dakwaan dirinya akan tetap berlanjut.

Perlu diketahui bahwa sidang praperadilan merupakan sidang yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, berbeda dengan sidang Pengadilan Tipikor. Masing-masing memiliki mekanismenya sendiri, sehingga bila KPK sudah meminta jadwal sidang dan berkas perkara sudah dianggap lengkap, Sidang Tipikor dapat dilangsungkan tanpa harus menunggu Sidang Praperadilan.

Sidang dakwaan sebenarnya dapat ditunda, apabila terdakwa meminta permohonan penundaan sidang. Bila penundaan tersebut disetujui hakim, maka keputusan sidang praperadilan tersebut memiliki kekuatan hukum. Artinya, jika Hakim Kusno memenangkan Setnov, maka sidang dakwaan di Peradilan Tipikor gugur atas nama hukum, persis seperti sidang praperadilan pertama Setnov lalu.

Nah pertanyaannya, mengapa para pengacara Setnov tidak melakukan pemohonan penundaan, sehingga Sidang Tipikor dapat dilaksanakan berbarengan?

Seribu Satu Strategi Setnov

“Setiap ketidakadilan merupakan ancaman bagi keadilan di mana saja.” ~ Martin Luther King, Jr.

Dalam penanganan suatu perkara, strategi dan kelihaian pengacara maupun jaksa penuntut memang menjadi pemegang kunci dari ‘nasib’ sang terdakwa. Dalam hal ini, kelihaian antara tim pengacara Setnov dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK terlihat dari dua sidang yang digelar kemarin. Namun dalam hal ini, sepertinya KPK berada di atas angin melalui persiapannya yang matang.

Dalam sidang praperadilan misalnya, KPK sengaja “menggunakan” peran media untuk merekam dibukanya Sidang Tipikor. Apalagi sidang dakwaan Setnov yang memang terbuka untuk umum ini, sangat diminati dan dinanti oleh para jurnalis. Bahkan kabarnya, bangku yang tersedia di ruang sidang pun tak mampu menampung semua.

Sehingga tuntutan Hakim Kusno saat itu, dapat dengan mudah dituruti oleh KPK melalui tayangan video. Jangankan rekamannya, siaran langsungnya pun dapat mereka berikan saat itu juga. Jadi ketika Hakim Kusno melihat persidangan telah dimulai, logikanya persidangan yang ia pimpin langsung dinyatakan gugur, bukannya malah ditunda.

Kemungkinan, keputusan hakim untuk menunda adalah karena Setnov yang hadir di Persidangan Tipikor tengah terlihat ‘sakit’. Seperti dalam banyak pemberitaan, Setnov memang terlihat lemah, wajahnya pucat, bahkan untuk menjawab pertanyaan Hakim Yanto pun tak mampu. Papa mendadak sakit lagi. Semua masyarakat yang menyaksikan pun tahu, kalau semua itu hanyalah drama lanjutan yang dimainkan Setnov.

Ibarat film klise yang jalannya mudah ditebak, KPK mampu mengantisipasi permohonan pengacara Setnov untuk menunda sidang atas alasan sakit. Caranya, JPU sengaja mengundang empat dokter ahli dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), untuk memantau kesehatan Setnov. Sebelum persidangan, pihak pengadilan juga sebenarnya telah menawarkan pemeriksaan atas kesehatan Setnov, namun ditolak oleh pengacaranya.

Akibatnya, sidang dakwaan pun terpaksa ditunda selama tujuh jam untuk memastikan kesehatan Setnov. Kondisi saat itu sebenarnya termasuk kritis bagi KPK, karena persidangan dakwaan belum masuk dalam tahap pembacaan dakwaan, sehingga secara hukum, persidangan tidak dapat dikatakan telah dimulai. Artinya, sidang praperadilan Setnov pun belum dapat dinyatakan gugur.

Namun berkat keterangan Tim IDI yang telah memastikan kalau kesehatan Setnov baik dan dinyatakan mampu mengikuti persidangan, JPU KPK pun pada akhirnya dapat membacakan surat dakwaan. Momen ini adalah kemenangan bagi KPK, karena secara otomatis sidang praperadilan Setnov gugur dan tidak lagi harus dilanjutkan.

Walau sidang praperadilan Setnov telah gugur dan KPK dapat bernapas lega, karena sang Papa akan tetap berada di penjaranya lebih lama. Namun bukan berarti perjuangan KPK untuk membuktikan kalau Setnov terlibat dan bersalah dalam kasus mega korupsi KTP Elektronik telah berakhir. Jalan masih sangat panjang, karena bisa jadi pada akhirnya Setnov pun bisa lolos dari dakwaan.

Bayangkan kalau hanya untuk menggeret Setnov ke kursi terdakwa saja, KPK harus melalui jalan panjang penuh intrik dan drama, apalagi nantinya? Kira-kira, dagelan apa lagi yang akan ia perankan berikutnya? Apakah ia akan tetap mempertahankan strategi pura-pura sakitnya lagi? Sampai kapan?

Namun intinya, dari kemenangan ini KPK mampu memperlihatkan pada masyarakat akan kegigihannya memperangkap Setnov yang dikenal licin laksana ular ini. Karena seperti kata Sir Arthur Conan Doyle di awal tulisan, melihat keadilan ditegakkan adalah urusan semua orang. (R24)

Exit mobile version