Ketika media mainstream menjadi terlalu partisan ke kubu petahana, maka menggunakan media sosial sebagai platform kampanye dan propaganda menjadi sebuah konsekuensi logis bagi oposisi.
PinterPolitik.com
[dropcap]F[/dropcap]enomena cyber troops memang tengah mengglobal akhir-akhir ini. Mulai dari benua Eropa hingga Amerika Latin, bahkan Asia, kehadiran teknologi propaganda ala komputer ini telah merubah secara signifikan lanskap politik baik nasional maupun internasional.
Dalam konteks politik Indonesia, pada Minggu kemarin, perusahaan analisis big data GDILab (Generasi Digital Indonesia) merilis hasil survei yang cukup menghebohkan. Survei ini menyebut bahwa pendukung Prabowo-Sandi di media sosial diduga adalah pasukan siber dengan komando terpusat.
Seperti di lansir CNN, survei tersebut didasarkan atas tiga hal. Pertama, perbandingan jumlah konten unggahan orisinal dan bukan unggahan ulang atau retweet.
Dari hasil analisis, pendukung Prabowo-Sandi hanya memiliki 1,3 persen konten asli alias hasil postingan sendiri. Sementara, konten retweet mencapai 89,7 persen, dan hanya 8,9 persen membalas, misalnya, dalam hal isu reuni 212.
Kedua, koordinasi yang baik dalam isu tertentu. Konten yang dihasilkan kubu Prabowo-Sandi lebih terkoordinasi dengan baik.
Ketiga, jumlah akun dengan perilaku mencurigakan atau suspicious behaviour lebih besar di miliki kubu Prabowo.
Hal ini diindikasikan dengan cukup banyaknya partisipan alias pendukung yang berasal dari akun-akun dengan jumlah follower di bawah 50 dan usia akun di bawah 6 bulan. Hal tersebut terindikasi dari banyaknya akun yang baru lahir di bulan Desember ini.
Jika dibandingkan dengan kubu petahana, 4,9 persen akun terindikasi terlibat di klaster Prabowo-Sandi, sementara 3,8 persen akun terindikasi terlibat di kluster Jokowi-Ma’ruf.
Tak pelak, kubu Prabowo membantah temuan survei tersebut dengan menuding hasil tersebut sebagai bentuk kebohongan dan upaya menjatuhkan citra Prabowo selama ini.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Siane Indriyani menilai analisis GDILab ini cenderung tendensius. Tak hanya itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad bahkan menantang GDILab untuk membuka hasil analisisnya.
Tentu tuduhan tersebut sangat serius. Lalu bagaimana sesungguhnya fenomena cyber troops Prabowo ini dapat dijelaskan dalam perspektif politik? Mungkinkah hasil survei ini mengindikasikan penggunaan pasukan siber ini masih menjadi senjata ampuh di Pilpres 2019?
Sebuah Fenomena Global
Dalam laporan Universitas Oxford yang berjudul Troops, Trolls and Troublemakers: A Global Inventory of Organized Social Media Manipulation, fenomena pasukan siber memang tengah menjadi tren politik di berbagai belahan dunia.
"Cyber-troops" (aka trolls) and bots are enlisted/used by states, militaries, and political parties to pollute social media, helping them secure power and undermine opponents.
Occurring in a growing number of countries around the world, including the US. https://t.co/Ed3GRZqSC8
— Aron Roberts (@aronro) November 15, 2017
Cyber troops adalah sekelompok bot (mesin dan manusia) yang biasanya dibuat oleh pemerintah, organisasi militer atau partai politik, dan didanai oleh uang publik, untuk terlibat dalam jaringan media sosial dan memanipulasi informasi dalam media sosial.
Tentu sudah tak mengherankan tentang eksistensi pasukan siber ini. Bahkan penggunaan media sosial untuk memanipulasi opini publik online telah ditemukan di lebih dari 28 negara sejak tahun 2010 dan terbukti efektif digunakan untuk tujuan-tujuan politik.
Di Asia Tenggara, Filipina adalah negara yang menggunakan pasukan siber untuk membantu propaganda-propaganda politik Presiden Rodrigo Duterte ketika menghadapi pemilu pada tahun 2016. Ia disebut menyewa tentara media sosial yang terdiri dari sekitar 400 hingga 500 orang dalam kampanye Pilpres Filipina 2016.
Duterte pun telah mengakui bahwa ia mengerahkan “keyboard army” untuk mendukung pencalonannya sebagai kandidat presiden.
Dalam operasional kerjanya, pasukan siber ini dinahkodai oleh koordinator yang bertanggung jawab atas wilayah geografis tertentu di negara itu dan satu kelompok di khususkan untuk para pekerja Filipina di luar negeri.
Di Indonesia pasukan siber sebenarnya juga pernah menjadi isu serius ketika kelompok Saracen dan Muslim Cyber Army di tangkap karena terbukti menjadi produsen cyber troops yang menyebarkan hoaks di media sosial. Namun, dalam kasus tersebut tidak membuktikan adanya keterlibatan aktor-aktor politik.
Kini, seiring dengan dekatnya Pilpres 2019, munculnya isu cyber troops yang menjerat Prabowo tentu menjadi sebuah kerugian besar sekaligus tanda tanya.
Jika memang para bot dan buzzer bayaran ini dipekerjakan untuk kepentingan politik di Pilpres oleh Prabowo, mengapa cara ini menjadi pilihan Prabowo dan mungkinkah ini adalah bagian dari strategi yang efektif?
Konsekuensi Media Partisan
Jika belajar dari fenomena kemunculan cyber troops, terdapat diskursus menarik tentang media hari ini. Kehadiran cyber troops adalah paradoks dari adanya media partisan yang dikuasai oleh segelintir orang dan digunakan secara masif untuk kepentingan politik.
Ohhh pantas rame banget pendukung @prabowo yang maenan retweet ??https://t.co/CzbyQ42OKa?
— Denny siregar (@Dennysiregar7) December 17, 2018
Dalam konteks Indonesia, jika melihat peta partisan media tentu posisi Prabowo memang tidak diuntungkan karena tak menguasai sumber daya media. Sebut saja beberapa pemilik media mainstream yang diketahui sebagai pendukung petahana layaknya Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem dan pimpinan Media Groupatau Hary Tanoesudibjo pemilik MNC Group yang juga pemimpin Partai Perindo.
Maka, konsekuensi logisnya adalah menggunakan platform media lain, yakni sosial media untuk menyerang eksistensi media mainstream yang telah menjadi alat politik penguasa.
Rasionalitas yang sama dengan apa yang menjadi keputusan Duterte di Filipina dan fenomena di Malaysia.
Di Malaysia ketika pada pemilu 2008 ketika internet digunakan sebagai senjata politik untuk menyerang petahana.
Merujuk pada penelitian Ali Salman dan Mohd Safar Hasim dalam tulisannya berjudul New Media and Democracy: The Changing Political Landscape in Malaysia, kubu oposisi yang dikenal sebagai Barisan Rakyat menggunakan dunia maya sebagai media baru untuk berkampanye dengan, memanfaatkan teknologi baru seperti blog, SMS, dan YouTube.
Cyberspace ini digunakan untuk menentang dominasi koalisi Barisan Nasional yang dipimpin oleh partai UMNO sebagai koalisi yang berkuasa yang telah monopoli media mainstream di Malaysia selama 50 tahun terakhir.
Dalam konteks Filipina misalnya, menurut mastermind di balik strategi Duterte, mantan pemimpin eksekutif sebuah perusahaan periklanan di Filipina, Nic Gabunada, menyebut bahwa “Ketika kami menyadari bahwa kami tidak punya uang untuk berkampanye di TV, radio, media cetak, dan papan reklame, keputusan untuk memanfatkan media sosial adalah pilihan yang tepat” .
Kekuatan Baru
Jika memang demikian kondisinya, maka strategi computational propaganda melalui pasukan siber akan sangat membantu bagi seseorang dalam mencapai ambisi politiknya.
Merujuk pada pendapat Samuel Woolley dan Philip Howard Woolley dalam tulisanya Computational Propaganda Worldwide, propaganda komputasi ini mengacu pada penggunaan algoritma dan kurasi manusia yang berbentuk cyber troops untuk secara sengaja mendistribusikan informasi yang menyesatkan melalui jaringan media sosial dan pada kadar tertentu akan bekerja efektif untuk membentuk opini publik.
Ketika media mainstream terlalu partisan mendukung petahana,satu-satunya cara melawan ya pakek cyber troops Share on XComputational propaganda melalui cyber troops berpotensi menjadi the new soft power of Prabowo. Hal ini sejalan dengan temuan Rose Marie Santini dalam tulisanya berjudul Software Power As Soft Power yang menyebut bahwa perkembangan bot politik ini adala bentuk new soft power.
Dalam konsep soft power, propaganda terbaik adalah ketika ia tidak terlihat seperti propaganda. Bahkan menurut majalah The Economist, bot atau cyber troops akan lebih efektif dalam menyebarkan konten propaganda daripada orang sungguhan.
Jika memang demikian, terlepas Prabowo menggunakan pasukan siber atau tidak, wajar bagi petahana untuk semakin khawatir dengan gerakan bawah tanah kubu oposisi ini.
Selain itu, konsekuensi media partisan yang telah dijelaskan sebelumnya pada akhirnya juga berdampak pada semakin kuatnya post truth dalam masyarakat, yakni kondisi dimana orang lebih mudah percaya sesuatu yang seolah-olah benar, meski secara fakta terkadang masih perlu di pertanyakan kebenarannya.
Sehingga bisa jadi feomena yang justru menguat adalah publik akan semakin percaya terhadap berita-berita di media sosial, dan semakin menjauhi media-media tradisional layaknya TV dan koran. Dan mungkin saja, kondisi ini justru menguntungkan kubu oposisi.
Pada akhirnya, jika masyarakat telah terjebak pada stigma “media mainstream terlalu partisan ke kubu petahana”, bukan tidak mungkin strategi cyber troops bisa menjadi kekuatan penting untuk ambisi Prabowo menuju puncak kekuasaan. (M39)