Site icon PinterPolitik.com

Cyber Army, Kemunduran MUI DKI?

Cyber Army, Kemunduran MUI DKI?

Ketua MUI DKI Jakarta Munahar Muchtar (tengah) (Foto: Kompas.com)

Wacana MUI DKI Jakarta untuk membentuk cyber army sebagai upaya melindungi ulama dan Gubernur DKI Jakarta mendapat respons negatif. Berbagai pihak menilai MUI DKI Jakarta seharusnya tidak terlibat politik untuk menjaga marwah lembaga. Apakah ini sebuah kemunduran dalam lembaga umat Islam?


PinterPolitik.com

Wacana Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta membuat cyber army alias tim siber untuk membentengi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadirkan polemik. Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta menentang keras rencana ini. PWNU bahkan menilai tindakan tersebut dilarang dalam agama Islam.

Samsul Ma’arif, Ketua PWNU DKI, mengatakan, citra seseorang akan dianggap bagus jika memang kinerjanya baik. Tidak perlu sampai membuat cyber army untuk menghalau pemberitaan yang buruk.

Sesuai tugas MUI, seharusnya MUI DKI menjalankan prinsip amar ma’ruf nahi munkar atau menjalankan yang baik dan melarang yang salah. Caranya dengan mendukung program yang memang sekiranya berguna bagi masyarakat.

Dedek Prayudi, Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research (CYPR), mengatakan, langkah MUI dapat menimbulkan bahaya dari stigma politisasi agama. Dedek menjelaskan dalam prosesnya, politisasi agama akan memberi batasan nyata tidak adanya toleransi.

Wacana pembuatan tim siber tidak hanya akan mengatribusi MUI DKI menjadi lembaga Islam yang ikut terlibat dalam politik, melainkan juga akan mengkritik raison d’etre MUI yang harusnya mempromosikan nilai-nilai moralitas, seperti toleransi dan pluralitas (keberagaman).

Terkait kritik-kritik terhadap MUI DKI, kita sebenarnya dapat menarik akarnya pada fundamentalisme Islam. Secara sederhana, fundamentalisme digambarkan sebagai sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham maupun agama yang ingin kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar ajarannya, fundamental secara bahasa berarti mendasar.

Baca Juga: Narasi Pembubaran MUI, Islamofobia?

M Khamdan dan Wiharyani, dalam tulisannya Mobilisasi Politik Identitas dan Kontestasi Gerakan Fundamentalisme, mengatakan, dalam kontestasi politik yang mengandaikan politik identitas tumbuh dalam pertarungan politik. Kekuatan fundamentalisme juga akan terlibat masuk, sebagai daya dorong kekuatan politik seorang tokoh. Di sinilah kelompok fundamentalisme mendapatkan ruang, termasuk ikut menyelundupkan diri pada lembaga-lembaga Islam.

Seperti yang kita ketahui, dalam narasi politik identitas, kaum fundamentalis juga ikut melibatkan diri, hal ini dikarenakan nilai-nilai identitas yang dipromosikan dalam politik identitas juga sejalan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kaum fundamentalis.

Hal ini perlu dicegah. Mengutip Ahdar dalam tulisannya Tinjuan Kritis dan Menyeluruh Terhadap Fundamentalisme dan Radikalisme Islam Masa Kini, fundamentalisme berseberangan dengan modernisme. Jika Islam modern dianggap sebuah  kemajuan, maka Islam fundamentalis sebaliknya, yaitu sebuah kemunduran. Dan jika melihat sejarah politik Islam, tidak bisa dipungkiri kemunduran peradaban Islam disebabkan oleh pemahaman fundamentalisme Islam.

Lantas, seperti apa karakteristik fundamentalisme dalam Islam?

Meraba Nalar Fundamentalisme

Nalar fundamentalisme Islam sejatinya sebuah restropeksi (kenangan kembali) dan refleksi (renungan) terhadap perjalanan intelektualisme dalam Islam. Hal ini, secara langsung maupun tidak, akan berkaitan dengan kritik terhadap pemikiran atau pendekatan kaum fundamentalis terhadap berbagai persoalan religio-politik.

M Syafi’I Anwar dalam tulisannya Kritik Cak Nur atas Nalar Fundamentalisme Islam, menyebutkan, dalam memahami fundamentalisme Islam, terdapat sejumlah ciri penting yang melekat pada kelompok ini. Setidaknya terdapat lima karakteristik yang dapat ditangkap untuk memahami fundamentalisme Islam.

Pertama, berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigid (kaku) dan literalis (bersandar pada literasi). Kecenderungan yang bersandar pada kedua pemahaman itu, menurut kaum fundamentalis, sangat perlu untuk menjaga kemurnian doktrin-doktrin Islam secara utuh (kaffah).

Kedua, kaum fundamentalis memberikan perhatian terhadap suatu orientasi yang mempunyai kecenderungan untuk menopang bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagine Islamic polity); seperti terwujudnya negara Islam, kejayaan partai Islam, kemasyarakatan dan budaya Islam sebagai bagian dari eksperimentasi  suatu sistem ketatanegaraan Islam.

Ketiga, kaum fundamentalis akan menekankan penggunaan terminologi politik yang menurut anggapan mereka “Islami”, kemudian doktrin keagamaan seperti tauhid, diterjemahkan bukan hanya sekadar rumusan teologis, melainkan juga sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif.

Keempat, kaum fundamentalis meyakini sebuah paradigma bahwa Islam tidak hanya sekadar agama, melainkan pula sebuah sistem hukum yang lengkap dan sistem yang sempurna, yang mampu mengatasi semua permasalahan kehidupan manusia.

Dalam praktik politik, paradigma seperti itu menafsirkan syari’ah sebagai ruh dan fondasi dari tiga pilar utama, yaitu agama, dunia, dan negara. Syari’ah dianggap sebagai hukum Tuhan yang ditafsirkan secara ketat dan diejawantahkan (diwujudkan) dalam sistem kehidupan. Secara sederhana kaum fundamentalis ini bisa disebut syari’ah minded.

Baca Juga: MUI Kritik SKB, Manuver Tersirat Ma’ruf Amin?

Kelima, kaum fudamentalis umumnya tidak mempunyai apresiasi, bahkan antipati terhadap pluralisme. Kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara literal dan legal-eksklusif akan menyebabkan mereka menarik garis demarkasi yang tegas antara Muslim dan non-Muslim, bahkan kepada Muslim sekalipun, jika  dianggap tidak sesuai dengan tafsir subyektif tentang kebenaran yang mereka yakini.

Melihat ekses dari fundamentalisme di atas, maka akan maklum dengan pernyataan Dedek Prayudi, pada bagian pertama tulisan, yaitu langkah MUI dapat menimbulkan bahaya dari politisasi agama. Bahkan politisasi agama bukan hanya berbahaya tapi juga dapat menempatkan umat Islam pada kemunduran dan keterbelakangan.

Ahmet T. Kuru dalam bukunya Islam Authoritarianism and Underdevelopment, menjelaskan bahwa kemunduran dan keterbelakangan umat Islam diakibatkan bersatunya kaum intelektual dengan politik. Tesis ini ingin membantah anggapan bahwa kemunduran Islam diakibatkan oleh kolonialisme Barat.

Kaum Intelektual, menurut T. Kuru adalah ulama (plural) dari kata alim (singular) yang harusnya mengambil jarak dari politik. Sehingga pengetahuan akan tetap objektif dan berkembang, tidak terikat oleh penguasa politik yang ingin melegalisasi kepentingan dengan dalil yang berdasarkan pada argumentasi para intelektual.

Jika, kita tarik benang merah pernyataan K. Turu di atas dan direlevansikan dengan peran MUI. Maka akan terang pemahaman bahwa MUI bukan hanya lembaga yang berbicara tentang hal-hal religius tentang Islam, MUI sejatinya juga adalah lembaga para intelektual muslim.

Mengutip K. Turu, sebagai kaum intelektual, MUI harusnya melepaskan diri dari stigma fundamentalisme. MUI seharusnya menjadi agen perubahan yang mempromosikan nilai-nilai universal Islam dalam rangka mencapai perdamaian di Indonesia.

Muncul pertanyaan, seperti apa peran intelektualisme MUI bagi Indonesia?

Menghidupkan Kosmopolitanisme Islam

Antonio Gramsci dalam  bukunya  Selections from the Prison Notebooks membagi kaum intelektual dalam dua kategori, pertama, intelektual tradisional, yaitu para intelektual yang melihat realitas secara terpisah. Mereka bertugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk mengarahkan masyarakat agar menyepakati ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah. Kaum intelektual ini memberikan pengaruhnya dengan memanfaatkan pengetahuan untuk mendukung kelas penguasa.

Sedangkan, yang kedua adalahintelektual organik, yaitu mereka yang dengan kesadaran dan pengetahuannya mengambil langkah untuk membangkitkan kesadaran perlawanan terhadap agenda-agenda penguasa. Kaum intelektual ini menggunakan sumber-sumber kekuatan yang dimiliki, yaitu ilmu pengetahuan dan basis massa untuk melakukan empowerment atau membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah sosial.

Nah, dapat dikatakan, seharusnya MUI DKI Jakarta memainkan perannya sebagai intelektual organik. Status intelektual organik yang diperankan MUI juga harus selaras dengan nilai nilai keislaman yang modern. Hal ini sebagai upaya untuk menolak fundamentalisme Islam yang telah deskripsikan pada bagian kedua tulisan.

Nurcholish Madjid dalam tulisannya Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam, mengurai pemikiran sekitar tema-tema kosmopolitanisme dalam Islam. Hal ini berangkat dari konsepsi nilai kemanusiaan universal. Jika peradaban modern begitu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, maka Islam juga memenuhi persyaratan sebagai agama modern. Pemenuhan ini bersandar pada nilai-nilai Islam yang bagi Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) begitu kosmopolit.

Setidaknya, terdapat tiga nilai-nilai utama dari kosmopolitanisme Islam. Pertama, semangat keterbukaan masyarakat Islam yang dapat ditampilkan dalam tiga varian: (1) dapat dilihat dari semangat mencari ilmu pengetahuan atau kebebasan ilmiah;  (2) pada masa keemasan Islam, peradaban lain selain Islam diberikan ruang dan dapat mencapai puncak peradabannya di bawah payung besar kekuasaan Islam, ini bukti keterbukaan Islam; (3) sikap keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, ditandai dengan para intelektual Muslim yang belajar dari siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Akibat keterbukaan inilah, ilmu pengetahuan dapat keluar dari kunkungan lokalitas.

Baca Juga: Manuver Jokowi di Balik Wajah Baru MUI?

Nilai kosmopolitanisme yang kedua adalah semangat egalitarianisme. Masyarakat Muslim mengembangkan suatu paham persamaan (egalitarianisme) sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai dari konsep ajaran Islam tentang fitrah atau kesucian yang merupakan esensi semua manusia. Egalitarisnisme Cak Nur dikaitkan dengan kesadaran hukum, yaitu sebuah kesadaran bahwa tidak seorang pun dibenarkan berada di atas hukum, contohnya Piagam Madinah.

Nilai kosmopolitanisme yang ketiga, yaitu semangat toleransi yang membicarakan tentang toleransi islam terhadap kaum lain. Umat Islam hendaknya mengedepankan kebenaran fakta bahwa Islam adalah kelanjutan dari tradisi keagamaan sebelumnya, dan agama-agama lain juga datang dari Allah. Hal ini bagi  Cak Nur, merupakan sebuah pembelajaran tentang sikap kepasrahan diri kepada Allah.

Dari ketiga nilai-nilai kosmopolitanisme Islam, MUI DKI Jakarta sebagai sebuah lembaga yang hadir di tengah masyarakat diharapkan sejalan dengan nilai nilai kosmopolitanisme tersebut. Alih-alih menjaga nilai-nilai tersebut, tindakan MUI DKI Jakarta dalam wacana membuat cyber army untuk memproteksi Gubernur DKI dikhawatirkan akan mendekonstruksi integritas yang luhur pada diri MUI DKI.

Harapannya, MUI DKI sebagai lembaga yang di dalamnya terkumpul para intelektual Muslim, seharusnya menjadi ladang subur untuk menghidupkan kosmopolitanisme Islam yang digambarkan oleh Nurcholish Madjid. (I76)

Exit mobile version